Kuliner bukan sekadar urusan
perut. Kuliner adalah perjalanan rasa, pengalaman batin, dan cara sederhana
merayakan hidup. Menikmati kuliner tidak selalu harus dengan menu mahal di restoran
bergengsi. Justru seringkali, kebahagiaan itu hadir di tempat yang sederhana,
dengan sajian yang biasa, tapi penuh makna.
Siang itu cukup terik. Tak ada
rencana khusus, tak ada janji temu. Obrolan yang biasanya jadi penentu langkah
juga tak hadir. Di tengah kesunyian
aktivitas, datanglah sebuah celah waktu sebuah peluang kecil untuk bernafas
sejenak dari rutinitas.
Semuanya berawal dari sebuah foto
sederhana yang dikirim oleh anak saya. Foto tersebut dari sosmed adalah gambar
es buah segar yang diletakkan di atas meja bambu, dengan latar belakang kereta
api yang sedang melintas dan hamparan sawah yang menghijau. Foto itu seolah
berbicara: "Mari rehat sejenak, nikmati hidup dari sisi yang
sederhana."
Tanpa pikir panjang, ajakan
sederhana pun tercetus, “Mau coba ke sana?”
Dan dengan satu kata ringan namun
mantap, “Yes.”
Berangkatlah kami berdua,
menelusuri jalanan yang tak terlalu jauh, tapi cukup memberi rasa petualangan.
Angin siang menampar pelan wajah, membawa aroma khas pedesaan yang jarang
ditemui di kota. Semakin dekat ke lokasi, hati pun ikut berdebar bukan karena
ingin mencicipi es buahnya semata, tapi karena rasa penasaran dan kegembiraan
kecil yang perlahan tumbuh.
Sesampainya di lokasi, motor
berhenti di depan sebuah warung sederhana yang berada di tepi sawah. Tak ada
papan besar tapi di sana terpampang gambar es buah yang menjadi daya tarik
utama. Di seberangnya, ada kursi panjang dari bambu yang menghadap langsung ke
hamparan hijau sawah, terbuka lebar di bawah langit biru yang teduh.
Kami memesan dua mangkuk es buah
dan dua mie ayam. Sementara menunggu, mata pun berselancar, menelusuri panorama
sekitar. Sebuah suara peluit dari kejauhan perlahan mendekat. Kereta api
melintas, menambah pesona pemandangan siang itu. Suara roda yang berpadu dengan
desir angin menciptakan harmoni alami yang menenangkan. Waktu menunggu jadi tak
terasa.
Sambil duduk di kursi bambu itu,
saya menatap barisan tanaman padi yang mulai meninggi. Biasanya, padi hanya
sekadar latar saat melintas. Tapi kali ini, saya memandangnya dengan lebih
seksama. Setiap helai daun hijau itu bergerak lembut tertiup angin, seolah
melambai-lambai menyapa, menyampaikan pesan bahwa “Inilah keteduhan yang selama
ini kau lewatkan.”
Es buah dan mie ayam akhirnya
datang, mangkuk putih sederhana berisi potongan pepaya, semangka, melon, nanas,
dan sirup merah menyambut dengan segar. Tidak ada topping mewah atau sentuhan
kekinian. Tapi saat sendok pertama masuk ke mulut, sensasinya langsung
menyegarkan. Manisnya pas, dinginnya menyentuh tenggorokan yang kering, dan
buah-buahnya terasa segar seperti baru dipetik dari kebun belakang rumah.
Mie diberi sayuran sawi dengan
toping potongan daging ayam dan satu cakar ayam. Kami tambahkan kecap, saos dan
sambal agar rasanya lebih mantap dan lengkap. Alhamdulillah terucap saat sendok
pertama masuk ke mulut. Rasanya nikmat sambil sesekali menikmati pemandangan di
kejauhan.
Kami menikmati sajian itu tanpa
banyak bicara. Kadang, keheningan adalah bentuk rasa syukur yang paling jujur.
Mata kembali menatap pemandangan, hati kembali menggumamkan dzikir. Nikmat
Allah Subhanahu Wata’alla tak selalu hadir dalam bentuk besar dan mencolok.
Terkadang, ia hadir dalam udara yang bersih, dalam pemandangan yang sejuk, atau
dalam semangkuk es buah di warung pinggir sawah.
Selesai makan, kami duduk
sejenak, menutup dengan percakapan ringan. Tapi hati terasa penuh. Penuh oleh
rasa damai, rasa cukup, dan terutama rasa syukur. Seperti yang sering kita
dengar: "Jika kamu bersyukur, maka Aku akan tambahkan nikmat itu."
Maka bersyukurlah kami atas setiap momen kecil yang hari itu hadir tanpa
rencana, tapi begitu memberi makna.
Sebelum pulang, saya sempat
menoleh kembali ke kursi bambu itu. Sebuah kursi biasa, tapi hari ini menjadi
tempat kami berdua menikmati karunia luar biasa. Sebuah sajian sederhana telah
menjadi pengingat, bahwa hidup tak perlu selalu mewah untuk membahagiakan hati.
Siapa sangka, dari foto sederhana
seseorang yang sedang menikmati es buah, kami menemukan sebuah pelajaran bahwa
rasa syukur membuat setiap rasa jadi lebih nikmat, setiap pemandangan jadi
lebih indah, dan setiap waktu sederhana jadi lebih berarti.
Cepu, 11 Juni 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar