Karya : Gutamining Saida
Pagi ini langit tampak mendung, semangat saya untuk menjalani hari tetap cerah. Setelah memarkir sepeda motor di depan perpustakaan, saya melangkah pelan menuju ruang guru. Suasana sekolah masih terasa lengang. Beberapa siswa baru terlihat mulai berdatangan. Sebagian membawa bekal dan sebagian lain tampak mengobrol riang di depan kelas.
Saya memilih masuk ke ruang guru lewat pintu belakang. Pintu ini memang sering saya lewati karena lebih dekat dengan tempat parkir. Saat saya membuka daun pintu yang berderit pelan, mata saya langsung menangkap sosok Bu Ning yang duduk di meja ujung dekat cendela. Seperti biasa, wajah beliau teduh dan hangat. Dari kejauhan ia sudah tersenyum, seolah menyambut saya dengan pelukan cahaya pagi.
Saya melangkah lebih cepat dan menghampirinya. “Assalamualaikum, Bu Ning,” sapa saya sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan. “Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,” jawabnya ramah, menggenggam tangan saya dengan lembut.
Saya mengangguk sopan, kemudian bersiap menuju kursi saya yang berada di deretan depan dekat jendela. Sebelum sempat saya berbalik, Bu Ning menunjuk ke arah mejanya di atas tampak beberapa pisang rebus yang masih mengepul hangat. “Silakan ambil gedok!” ucapnya. Saya terdiam sejenak, sedikit bingung.
‘Gedok?’ pikir saya.
Pandangan saya masih tertuju pada pisang rebus itu, tetapi pikiran saya sibuk mencari padanan dari kata yang baru saya dengar itu. Apakah maksud Bu Ning tadi itu benar-benar pisang? Kenapa tidak bilang ‘pisang rebus’ saja?
Seketika Bu Ning seolah membaca kebingungan saya. Ia tersenyum kecil dan langsung memberi penjelasan. “Gedok itu, Bu, dari dua kata bahasa daerah. ‘Gedang’ artinya pisang, dan ‘godok’ itu rebus,” katanya sambil tertawa pelan.
“Oooh…” jawab saya panjang, akhirnya mengangguk mengerti. “Jadi maksudnya gedok itu ya pisang rebus.”
“Iya,” lanjutnya. “Di daerah saya, kalau orang bilang mau makan gedok, ya berarti mau makan pisang rebus. Kadang juga bisa jadi teman minum teh sore.”
Saya tersenyum, lalu mengambil satu gedok dan meletakkannya di atas tisu. Aroma pisang rebus yang masih hangat segera memenuhi indera penciuman saya. Lembut, manis alami, dan ada kesan sederhana yang membangkitkan kenangan masa kecil.
“Terima kasih, Bu Ning,” ucap saya tulus.
“Ambil saja, jangan sungkan. Itu saya bawa dari rumah, kebetulan kemarin tetangga panen pisang,” jawab Bu Ning sambil minum es jeruk.
Saya duduk di kursi dan mulai menikmati potongan pertama gedok. Teksturnya empuk, rasa manis alaminya sangat terasa. Tidak ada tambahan gula, tidak ada balutan apapun, hanya pisang yang direbus utuh dengan kulitnya, lalu dikupas saat akan disantap. Sederhana, tapi luar biasa.
Sambil menikmati, saya melamun sejenak. Pikiran saya melayang pada masa kecil di desa. Ibu saya juga sering merebus pisang untuk camilan sore. Biasanya pisang kepok atau pisang raja nangka yang sudah matang pohon. Kami menyantapnya di teras rumah, duduk di bangku panjang, ditemani secangkir teh gula batu. Rasanya begitu akrab dan hangat.
Tak lama kemudian beberapa guru lain mulai berdatangan. Satu per satu menyalami, menyapa hangat, dan tentu tak ketinggalan menoleh ke arah pisang rebus milik Bu Ning.
“Wah, ada gedok ya, Bu?” tanya Bu Indri sambil langsung mengambil satu.
“Bawa dari rumah, Bu. Kebetulan kebanyakan,” jawab Bu Ning sambil tertawa kecil.
Topik pun berkembang. Dari gedok, kami mulai membicarakan aneka camilan tradisional yang kini mulai jarang dijumpai. Ada yang menyebut cenil, lupis, klepon, bahkan gethuk lindri yang kini sudah jarang dibuat.
Sambil tertawa dan bercerita, kami semua menikmati pagi dengan camilan hangat dan kebersamaan yang sederhana. Tak ada makanan mewah, tak ada piring berlapis emas, hanya seonggok pisang rebus yang mampu menjadi jembatan nostalgia dan pengikat keakraban antar rekan guru.
Gedok pagi itu bukan hanya pisang rebus. Ia menjadi lambang dari sesuatu yang lebih dalamyaitu keramahan, berbagi tanpa pamrih, dan cinta pada tradisi. Dalam potongan pisang yang lembut itu tersimpan cerita masa lalu, kenangan keluarga, dan semangat untuk tetap melestarikan budaya meski zaman terus berubah.
Ketika bel tanda masuk berbunyi, kami semua bersiap menuju kelas masing-masing. Saya masih membawa kehangatan dari ruang guru, bukan hanya karena sepotong gedok, tetapi karena makna yang menyertai setiap gigitan.
Cepu, 14 Juni 2025
Komentar
Posting Komentar