Sabtu, 14 Juni 2025

Menyemai Inspirasi Lewat Hati

 

Karya: Gutamining Saida

Setiap orang memiliki cara sendiri dalam mengekspresikan diri.  Bagi saya, salah satu jalan adalah melalui tulisan. Entah itu kisah sehari-hari, perjalanan yang saya lalui, kejadian lucu yang menggelitik hati, atau sekadar refleksi ringan dari buku yang saya tulis, semuanya saya tuangkan dalam bentuk narasi di media sosial pribadi saya.

Bukan, bukan untuk pamer. Bukan pula untuk mengumpulkan jumlah “likes” atau “komentar” semata. Saya menulis karena ada sesuatu yang ingin saya sampaikan. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rangkaian kata.

Saya ingin menjadi pengingat bahwa setiap pengalaman, sekecil apa pun, bisa menjadi pelajaran berharga. Saya percaya bahwa dari pengalaman pribadi yang sederhana, seseorang bisa menemukan makna yang mungkin tak disangka.

Setiap kali jari saya menari di atas papan ketik, saya selalu terbayang wajah-wajah siswa saya. Terutama mereka yang diam-diam menyimpan potensi luar biasa, namun seringkali terhimpit oleh rasa minder atau tidak percaya diri. Saya menulis untuk mereka. Untuk menyampaikan pesan bahwa guru mereka pun pernah gagal, pernah takut, pernah ragu  namun tetap memilih melangkah.

Suatu hari, saya menulis tentang perjalanan saya ke kampung halaman. Saya bercerita tentang penjual jambu di pinggir jalan. Tentang pilihan sederhana yang saya ambil untuk membeli jambu daripada pisang, dan bagaimana akhirnya pisang itu tetap datang kepada saya sebagai pemberian dari teman. Di komentar, ada salah satu siswa menulis, “Bu, saya suka tulisan ini. Jadi mikir, kadang kita nggak perlu maksa sesuatu, nanti bisa datang dengan cara yang lebih indah.” Saya terdiam cukup lama membaca komentar itu. Sebuah pesan sederhana ternyata mampu mengetuk hati seorang remaja yang sedang tumbuh, sedang mencari arah.

Di waktu lain, saya menuliskan cerita tentang pengalaman saya mengajar di jam terakhir, di mana hanya 12 dari 32 siswa yang hadir karena sisanya izin ikut jalan santai di desa. Saya menulis bukan untuk mengeluh, melainkan untuk menunjukkan bagaimana saya tetap bersemangat, bahkan mengajak mereka yang hadir untuk menulis puisi akrostik bertema IPS. Cerita itu mendapat banyak tanggapan, termasuk dari sesama guru yang merasa termotivasi untuk tetap menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati, meski dalam kondisi tidak ideal.

Saya pun sering berbagi buku yang saya tulis. Bukan karena ingin disebut “penulis”, melainkan karena ingin menunjukkan bahwa siapa pun bisa berkarya jika punya niat. Saya ingin murid-murid saya tahu bahwa menulis bukan hanya milik mereka yang pintar bahasa Indonesia. Menulis milik siapa saja yang punya kisah, yang punya semangat untuk berbagi, dan yang punya hati.

Pernah suatu kali, seorang siswa saya menghampiri setelah pelajaran usai. Ia membawa sebuah buku kecil, salah satu ada namanya di sana. “Bu, saya terinspirasi dari tulisan-tulisan. Saya senang pernah diajak menulis sehingga punya buku disitu ada nama saya,” katanya dengan mata berbinar. Saya menahan haru. Inilah yang saya cari. Inilah “like” paling berharga bukan dari media sosial, tapi dari hati yang tersentuh untuk ikut berkarya.

Ada juga teman saya yang dulunya tak pernah menulis, kini rutin membagikan pengalamannya sebagaiguru mata pelajarah IPA. Ia bilang, “Aku dulu malu menulis, takut nggak ada yang baca. Tapi pas lihat tulisan-tulisan njenengan, aku sadar bahwa kita menulis bukan karena ingin dilihat, tapi karena ingin memberi makna.”

Itulah alasan saya terus menulis. Untuk menanamkan bahwa setiap orang punya cerita yang patut dibagikan. Untuk menunjukkan bahwa menjadi “bermanfaat” bukan soal pangkat atau popularitas, tetapi tentang menyentuh hati orang lain dengan cara kita sendiri.

Tulisan adalah benih. Kita tak pernah tahu di tanah mana ia akan tumbuh, di hati siapa ia akan berakar. Tapi selama kita menanam dengan niat baik, pasti ada yang akan tumbuh menjadi pohon inspirasi. Saya tidak ingin menjadi pusat perhatian. Saya hanya ingin menjadi lentera kecil di jalan yang panjang dan kadang gelap ini. Agar siapa pun yang kebetulan lewat, bisa menemukan sedikit cahaya untuk melanjutkan langkahnya.

Jika ada siswa saya yang bisa lebih sukses daripada saya, lebih kreatif, lebih percaya diri untuk berkarya maka itulah hadiah terindah dalam perjalanan ini. Karena sejatinya, keberhasilan seorang guru adalah saat ia mampu melahirkan generasi yang jauh lebih baik darinya.

Saya akan terus menulis. Meski hanya satu cerita setiap minggu. Meski hanya disukai segelintir orang. Meski tak viral. Karena saya percaya, setiap tulisan yang lahir dari hati, pasti akan sampai ke hati. Semoga menginspirasi.

Cepu, 14 Juni 2025

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar