Karya: Gutamining Saida
Setiap orang memiliki cara
sendiri dalam mengekspresikan diri. Bagi
saya, salah satu jalan adalah melalui tulisan. Entah itu kisah sehari-hari,
perjalanan yang saya lalui, kejadian lucu yang menggelitik hati, atau sekadar
refleksi ringan dari buku yang saya tulis, semuanya saya tuangkan dalam bentuk
narasi di media sosial pribadi saya.
Bukan, bukan untuk pamer. Bukan
pula untuk mengumpulkan jumlah “likes” atau “komentar” semata. Saya menulis
karena ada sesuatu yang ingin saya sampaikan. Sesuatu yang lebih dalam dari
sekadar rangkaian kata.
Saya ingin menjadi pengingat
bahwa setiap pengalaman, sekecil apa pun, bisa menjadi pelajaran berharga. Saya
percaya bahwa dari pengalaman pribadi yang sederhana, seseorang bisa menemukan
makna yang mungkin tak disangka.
Setiap kali jari saya menari di
atas papan ketik, saya selalu terbayang wajah-wajah siswa saya. Terutama mereka
yang diam-diam menyimpan potensi luar biasa, namun seringkali terhimpit oleh
rasa minder atau tidak percaya diri. Saya menulis untuk mereka. Untuk
menyampaikan pesan bahwa guru mereka pun pernah gagal, pernah takut, pernah
ragu namun tetap memilih melangkah.
Suatu hari, saya menulis tentang
perjalanan saya ke kampung halaman. Saya bercerita tentang penjual jambu di
pinggir jalan. Tentang pilihan sederhana yang saya ambil untuk membeli jambu
daripada pisang, dan bagaimana akhirnya pisang itu tetap datang kepada saya
sebagai pemberian dari teman. Di komentar, ada salah satu siswa menulis, “Bu,
saya suka tulisan ini. Jadi mikir, kadang kita nggak perlu maksa sesuatu, nanti
bisa datang dengan cara yang lebih indah.” Saya terdiam cukup lama membaca
komentar itu. Sebuah pesan sederhana ternyata mampu mengetuk hati seorang
remaja yang sedang tumbuh, sedang mencari arah.
Di waktu lain, saya menuliskan
cerita tentang pengalaman saya mengajar di jam terakhir, di mana hanya 12 dari
32 siswa yang hadir karena sisanya izin ikut jalan santai di desa. Saya menulis
bukan untuk mengeluh, melainkan untuk menunjukkan bagaimana saya tetap
bersemangat, bahkan mengajak mereka yang hadir untuk menulis puisi akrostik
bertema IPS. Cerita itu mendapat banyak tanggapan, termasuk dari sesama guru
yang merasa termotivasi untuk tetap menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati,
meski dalam kondisi tidak ideal.
Saya pun sering berbagi buku yang
saya tulis. Bukan karena ingin disebut “penulis”, melainkan karena ingin
menunjukkan bahwa siapa pun bisa berkarya jika punya niat. Saya ingin
murid-murid saya tahu bahwa menulis bukan hanya milik mereka yang pintar bahasa
Indonesia. Menulis milik siapa saja yang punya kisah, yang punya semangat untuk
berbagi, dan yang punya hati.
Pernah suatu kali, seorang siswa
saya menghampiri setelah pelajaran usai. Ia membawa sebuah buku kecil, salah
satu ada namanya di sana. “Bu, saya terinspirasi dari tulisan-tulisan. Saya senang
pernah diajak menulis sehingga punya buku disitu ada nama saya,” katanya dengan
mata berbinar. Saya menahan haru. Inilah yang saya cari. Inilah “like” paling
berharga bukan dari media sosial, tapi dari hati yang tersentuh untuk ikut
berkarya.
Ada juga teman saya yang dulunya
tak pernah menulis, kini rutin membagikan pengalamannya sebagaiguru mata
pelajarah IPA. Ia bilang, “Aku dulu malu menulis, takut nggak ada yang baca.
Tapi pas lihat tulisan-tulisan njenengan, aku sadar bahwa kita menulis bukan
karena ingin dilihat, tapi karena ingin memberi makna.”
Itulah alasan saya terus menulis.
Untuk menanamkan bahwa setiap orang punya cerita yang patut dibagikan. Untuk
menunjukkan bahwa menjadi “bermanfaat” bukan soal pangkat atau popularitas,
tetapi tentang menyentuh hati orang lain dengan cara kita sendiri.
Tulisan adalah benih. Kita tak
pernah tahu di tanah mana ia akan tumbuh, di hati siapa ia akan berakar. Tapi
selama kita menanam dengan niat baik, pasti ada yang akan tumbuh menjadi pohon
inspirasi. Saya tidak ingin menjadi pusat perhatian. Saya hanya ingin menjadi
lentera kecil di jalan yang panjang dan kadang gelap ini. Agar siapa pun yang
kebetulan lewat, bisa menemukan sedikit cahaya untuk melanjutkan langkahnya.
Jika ada siswa saya yang bisa
lebih sukses daripada saya, lebih kreatif, lebih percaya diri untuk berkarya
maka itulah hadiah terindah dalam perjalanan ini. Karena sejatinya,
keberhasilan seorang guru adalah saat ia mampu melahirkan generasi yang jauh lebih
baik darinya.
Saya akan terus menulis. Meski
hanya satu cerita setiap minggu. Meski hanya disukai segelintir orang. Meski
tak viral. Karena saya percaya, setiap tulisan yang lahir dari hati, pasti akan
sampai ke hati. Semoga menginspirasi.
Cepu, 14 Juni 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar