Siang itu langit cerah, seperti
turut menyambut kebahagiaan yang akan saya temui. Undangan telah saya terima
beberapa hari sebelumnya bukan sekadar undangan biasa, melainkan undangan yang
diantarkan langsung oleh teman seprofesi bersama istrinya ke rumah saya. Ia
adalah sahabat lama semasa saya masih bertugas di tempat yang sama, SMPN 1
Kedungtuban. Meski kini saya tidak lagi sekantor dengannya, ternyata ia masih
menyempatkan diri untuk menjaga jalinan silaturahmi. Sebuah perhatian kecil
yang bagi saya terasa begitu hangat dan dalam maknanya.
Hari resepsi pun tiba. Sejak
pagi, saya sudah bersiap. Tidak hanya bersiap secara fisik, juga hati saya
penuh harap, harap bisa bertemu kembali dengan rekan-rekan guru yang dulu
pernah bersama saya mengajar, berbagi tawa, keluh, dan perjuangan dalam dunia
pendidikan. Sebelum berangkat, saya mengirim pesan pribadi kepada beberapa
teman guru, berharap kami bisa bertemu di sana. Mereka membalas dengan
semangat, menyampaikan bahwa mereka pun akan hadir.
Saya tiba di lokasi resepsi sesuai
waktu yang disepakati. Tempatnya begitu ramai, suasananya tetap hangat. Musik
mengalun dari panggung pelaminan, tamu-tamu datang bergiliran mengucapkan
selamat, dan para penerima tamu sibuk menyambut para tamu dengan senyum yang
tulus. Saya pun melangkah menuju deretan orang tua, sepasang mempelai. Saya
memandangi pelaminan. Sang mempelai tampak anggun dan tampan, bersanding dengan
penuh kebahagiaan. Anak dari sahabat saya itu kini telah memasuki fase
kehidupan yang baru.
Tak lama kemudian, satu per satu
wajah-wajah yang saya rindukan mulai muncul. Ada Bu Endang, bu Yulis, bu Yuli,
bu Azkia yang dulu sering duduk Bersama di ruang guru. Pak Tulas yang dikenal dengan
candaan segarnya, dan Bu Iip yang selalu mengurus kegiatan kekeluargaan. Kami saling
menyapa, berjabat tangan, berpelukan. Rasa haru tak bisa disembunyikan. Rasanya
seperti dipertemukan kembali dalam ruang yang tak hanya fisik, tapi juga
kenangan.
“Alhamdulillah, bisa ketemu lagi
ya,” ucap Bu Endang sambil memegang tangan saya erat.
“Rasanya seperti reuni kecil,”
timpal bu Yani.
Obrolan mengalir lancar, seolah
tak ada jarak yang memisahkan kami selama ini. Topik yang kami bahas pun
beragam dari kondisi sekolah saat ini, perkembangan para siswa, hingga kabar
keluarga masing-masing. Ada tawa yang pecah, ada pula keheningan sejenak saat
kami mengenang momen-momen perjuangan bersama di sekolah.
Seorang dari kami mengusulkan
untuk mengabadikan momen ini dengan berfoto bersama. Tentu saja kami setuju.
Kami berdiri berjejer, senyum mengembang, dan "klik" kamera menangkap
kebersamaan itu dalam satu bingkai. Sebuah foto yang kelak akan menjadi saksi
bahwa persahabatan dan silaturahmi itu tak mudah luntur, meski waktu dan tempat
telah memisahkan kami.
Sambil menyendok nasi dan lauk,
obrolan tetap berlanjut. Bahkan di antara kami ada yang saling membantu
membawakan minuman atau mengambilkan makanan untuk yang lain. Nuansa
kekeluargaan begitu terasa. Tidak seperti sekadar tamu undangan, tapi seperti
anggota keluarga besar yang tengah berkumpul.
Usai makan, kami menyempatkan
diri bertemu dengan sahabatyang lain, Ia menyambut dengan hangat, senyumnya
lebar.”Bagaimana sehat-sehat ya” katanya penuh tulus. Saya membalas dengan anggukan
kepala dan ucapan doa untuknya.
Momen singkat ini seakan menjadi
oase dalam rutinitas kami masing-masing. Saling bertemu, berbagi cerita, dan
mengenang masa lalu ternyata sangat berarti. Terkadang, kebahagiaan itu
sederhana bertemu kembali dengan orang-orang yang pernah berjalan bersama kita
di lorong kehidupan. Kehadiran saya hari itu bukan sekadar memenuhi undangan
resepsi, tapi juga mempererat ikatan yang sempat longgar karena waktu dan
jarak. Silaturahmi adalah harta yang tak ternilai. Dan saya bersyukur, Allah Subhanahu
Wata’alla mempertemukan kembali langkah kami dalam suasana yang penuh berkah.
Cepu, 15 Juni 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar