Malam Penuh Kenangan



Karya: Gutaminng Saida

Hari itu wajah ibu tampak berbeda. Tidak ada senyum hangat seperti biasa, tak terdengar canda khasnya yang sering mencairkan suasana. Seharian beliau nampak lesu. Keluar kamar, duduk sebentar di ruang tamu, lalu kembali masuk ke kamar. Saya yang memperhatikan gerak-geriknya mulai merasa khawatir. Ada yang tak beres, pikir saya.

Saya dekati beliau dengan pelan. Duduk di sampingnya dan bertanya dengan hati-hati, “Bu, sakit ya?”
Beliau menjawab pelan sambil menyentuh pundak kirinya dengan tangan kanan, “Ini lho sakit.” Suaranya datar, matanya tidak menoleh ke arah saya. Tapi dari gesturnya, saya tahu sakit itu bukan hanya soal fisik. Ada yang mengganjal di hatinya. Entah apa.

Tanpa banyak bicara lagi, saya langsung mengambil ponsel dan menghubungi adik-adik saya. Satu di Padangan, satu lagi di Bojonegoro. Saya kirim pesan dan menceritakan kondisi ibu. Saya minta mereka datang malam ini juga, bawa serta anak-anak. “Lengkap ya, jangan lupa oleh-oleh snak, masing-masing bawa sebelas biji,” tulis saya sambil berusaha menjaga agar pesan itu tetap terdengar ringan dan menyenangkan.

Tidak butuh waktu lama, jawaban mereka datang. "Siap, Mbak," kata adik saya yang di Padangan. "Oke, kami otw," balas yang di Bojonegoro. Alhamdulillah. Saya bersyukur mereka langsung setuju. Malam ini harus jadi malam yang berbeda. Saya ingin membuat ibu tersenyum, tertawa, dan melupakan sejenak rasa sakitnya.

Beberapa jam kemudian, rumah mulai terasa hangat. Suara deru motor dan langkah kaki tiga cucu yang diantar ayahnya menyapa halaman. Satu per satu masuk rumah, membawa tas-tas kecil berisi snak. Ibu yang tadinya hanya duduk diam mulai menyambut dengan mata yang berbinar. Belum tersenyum, tapi saya tahu hatinya mulai hangat. Sang ayah pamit pulang dulu, mau jemput istrinya yang biasa disapa bunda.

Menjelang maghrib yang dari Bojonegoro dan adik saya Padangan datang. Ibu saya beritahu ada tamu mencari beliau. “Bu, ada tamu!”kata saya singkat. “Siapa?”beliau balik bertanya. “Tamu jauh.”jelas saya selanjutnya. Tidak berapa lama beliau berjalan menuju ruang tamu, di situ anak cucu sudah menunggu. Senyumnya merekah. “Ada apa ini, kok rame-rame?”sambil melihat wajah anak cucunya satu persatu. Anak dan cucu segera bangkit mengajak jabat tangan sambil memeluk ibu.

Kami semua duduk di lantai ruang tengah, membentuk lingkaran besar. Ada tiga keluarga malam itu yaitu saya sebagai anak pertama, adik saya yang ketiga, dan yang keempat. Adik kedua kami tidak bisa hadir karena tinggal di Jogja. Terlalu jauh untuk datang hanya dalam waktu beberapa jam. Kami tetap menyisakan tempat untuknya, dalam hati dan lingkaran kami.

Saya buka acara kecil-kecilan dengan candaan ringan. Semua sudah tak sabar. Saya ambil tas yang berisi snak, dan mengatakan, “Permainan akan segera dimulai. Siapa yang paling cepat mengambil snak, dia yang menang!” Semua mata tertuju ke tas yang saya pegang. Tegang tapi penuh tawa.

Begitu snak akan saya keluarkan, adik saya yang ketiga tiba-tiba menyaut tas yang saya pegang dari jarak dekat. Belum sempat snaknya benar-benar keluar dari tas, tangannya sudah nyelonong lebih dulu. Semua yang hadir langsung meledak dalam tawa. Ibu saya, yang sejak sore hanya duduk diam, ikut tertawa terpingkal-pingkal. Matanya berbinar, wajahnya sumringah.

“Wah, curang! Belum aba-aba!” teriak adik yang keempat, sambil menggoda. Ulang! Ulang!" sambung yang lain. Suasana semakin meriah. Semua tertawa, bahkan ada yang sampai menahan perut saking geli melihat tingkah spontan adik saya. Istrinya hanya nyengir sambil memukul pelan pundaknya, malu tapi ikut tertawa.

Setelah semua terkekeh, kami lanjutkan giliran kedua. Kali ini adik saya yang ketiga mengeluarkan snak. Tapi bukannya diletakkan di tengah lingkaran, ia langsung menyerahkannya ke istrinya. "Lho kok buat istrimu tok?" protes yang lain. Istrinya tertawa geli, mungkin sedikit ada rasa malu.

Sekarang giliran adik yang keempat. Kali ini dia keluarkan snak di depan anak-anaknya. Malam ini peserta terbanyak adalah adik saya keempat. Dia membawa ketiga anak dan istri. Sedangkan adik ketiga datang hanya berdua karena anak-anaknya berada di pondok Nganjuk dalam posisi tidak libur. Saya ikut permainan sendiri, anak saya satu yang di rumah tapi bagian mendokumentasikan sedang suami hanya sebagai penonton. Wah, gimana nich...nakal sih! Teriak adikku yang ke tiga. Kami lanjutkan permainan hingga malam. Tak terasa, waktu berjalan cepat. Tumpukan snak habis, tapi tawa belum reda. Ibu tampak lebih segar. Ada sinar di matanya yang tadi redup. Beliau memandang ke sekeliling, menatap satu per satu anak dan cucunya. Tak ada kata yang keluar, tapi sorot matanya berkata "Terima kasih."

Malam itu menjadi malam yang penuh kenangan. Bukan karena mahalnya snak atau permainan yang luar biasa, tapi karena kebersamaan yang hangat. Karena anak cucu hadir, bukan sekadar datang. Mereka peduli, bukan sekadar melihat. Kami ingin ibu tahu, bahwa apapun kondisinya, ia tidak pernah sendiri.

Saya menatap ibu sebelum tidur. Senyumnya masih tersisa. Saya tahu sakit di pundaknya mungkin belum sepenuhnya hilang. Tapi hati yang hangat, perhatian dan tawa dari anak dan cucu-cucu telah menyembuhkan sebagian luka. Malam ini kami tidak menyembuhkan dengan obat, tapi dengan cinta.

Cepu, 13 Juni 2025

Komentar