Hari itu wajah ibu tampak
berbeda. Tidak ada senyum hangat seperti biasa, tak terdengar canda khasnya
yang sering mencairkan suasana. Seharian beliau nampak lesu. Keluar kamar,
duduk sebentar di ruang tamu, lalu kembali masuk ke kamar. Saya yang
memperhatikan gerak-geriknya mulai merasa khawatir. Ada yang tak beres, pikir
saya.
Saya dekati beliau dengan pelan.
Duduk di sampingnya dan bertanya dengan hati-hati, “Bu, sakit ya?”
Beliau menjawab pelan sambil menyentuh pundak kirinya dengan tangan kanan, “Ini
lho sakit.” Suaranya datar, matanya tidak menoleh ke arah saya. Tapi dari
gesturnya, saya tahu sakit itu bukan hanya soal fisik. Ada yang mengganjal di
hatinya. Entah apa.
Tanpa banyak bicara lagi, saya
langsung mengambil ponsel dan menghubungi adik-adik saya. Satu di Padangan,
satu lagi di Bojonegoro. Saya kirim pesan dan menceritakan kondisi ibu. Saya
minta mereka datang malam ini juga, bawa serta anak-anak. “Lengkap ya, jangan
lupa oleh-oleh snak, masing-masing bawa sebelas biji,” tulis saya sambil
berusaha menjaga agar pesan itu tetap terdengar ringan dan menyenangkan.
Tidak butuh waktu lama, jawaban
mereka datang. "Siap, Mbak," kata adik saya yang di Padangan.
"Oke, kami otw," balas yang di Bojonegoro. Alhamdulillah. Saya
bersyukur mereka langsung setuju. Malam ini harus jadi malam yang berbeda. Saya
ingin membuat ibu tersenyum, tertawa, dan melupakan sejenak rasa sakitnya.
Beberapa jam kemudian, rumah
mulai terasa hangat. Suara deru motor dan langkah kaki tiga cucu yang diantar
ayahnya menyapa halaman. Satu per satu masuk rumah, membawa tas-tas kecil
berisi snak. Ibu yang tadinya hanya duduk diam mulai menyambut dengan mata yang
berbinar. Belum tersenyum, tapi saya tahu hatinya mulai hangat. Sang ayah pamit
pulang dulu, mau jemput istrinya yang biasa disapa bunda.
Menjelang maghrib yang dari
Bojonegoro dan adik saya Padangan datang. Ibu saya beritahu ada tamu mencari
beliau. “Bu, ada tamu!”kata saya singkat. “Siapa?”beliau balik bertanya. “Tamu
jauh.”jelas saya selanjutnya. Tidak berapa lama beliau berjalan menuju ruang
tamu, di situ anak cucu sudah menunggu. Senyumnya merekah. “Ada apa ini, kok
rame-rame?”sambil melihat wajah anak cucunya satu persatu. Anak dan cucu segera
bangkit mengajak jabat tangan sambil memeluk ibu.
Kami semua duduk di lantai ruang
tengah, membentuk lingkaran besar. Ada tiga keluarga malam itu yaitu saya
sebagai anak pertama, adik saya yang ketiga, dan yang keempat. Adik kedua kami
tidak bisa hadir karena tinggal di Jogja. Terlalu jauh untuk datang hanya dalam
waktu beberapa jam. Kami tetap menyisakan tempat untuknya, dalam hati dan
lingkaran kami.
Saya buka acara kecil-kecilan
dengan candaan ringan. Semua sudah tak sabar. Saya ambil tas yang berisi snak,
dan mengatakan, “Permainan akan segera dimulai. Siapa yang paling cepat
mengambil snak, dia yang menang!” Semua mata tertuju ke tas yang saya pegang.
Tegang tapi penuh tawa.
Begitu snak akan saya keluarkan,
adik saya yang ketiga tiba-tiba menyaut tas yang saya pegang dari jarak dekat.
Belum sempat snaknya benar-benar keluar dari tas, tangannya sudah nyelonong
lebih dulu. Semua yang hadir langsung meledak dalam tawa. Ibu saya, yang sejak
sore hanya duduk diam, ikut tertawa terpingkal-pingkal. Matanya berbinar,
wajahnya sumringah.
“Wah, curang! Belum aba-aba!”
teriak adik yang keempat, sambil menggoda. Ulang! Ulang!" sambung yang
lain. Suasana semakin meriah. Semua tertawa, bahkan ada yang sampai menahan
perut saking geli melihat tingkah spontan adik saya. Istrinya hanya nyengir
sambil memukul pelan pundaknya, malu tapi ikut tertawa.
Setelah semua terkekeh, kami
lanjutkan giliran kedua. Kali ini adik saya yang ketiga mengeluarkan snak. Tapi
bukannya diletakkan di tengah lingkaran, ia langsung menyerahkannya ke istrinya.
"Lho kok buat istrimu tok?" protes yang lain. Istrinya tertawa geli, mungkin
sedikit ada rasa malu.
Sekarang giliran adik yang
keempat. Kali ini dia keluarkan snak di depan anak-anaknya. Malam ini peserta
terbanyak adalah adik saya keempat. Dia membawa ketiga anak dan istri. Sedangkan
adik ketiga datang hanya berdua karena anak-anaknya berada di pondok Nganjuk
dalam posisi tidak libur. Saya ikut permainan sendiri, anak saya satu yang di
rumah tapi bagian mendokumentasikan sedang suami hanya sebagai penonton. Wah,
gimana nich...nakal sih! Teriak adikku yang ke tiga. Kami lanjutkan permainan
hingga malam. Tak terasa, waktu berjalan cepat. Tumpukan snak habis, tapi tawa
belum reda. Ibu tampak lebih segar. Ada sinar di matanya yang tadi redup.
Beliau memandang ke sekeliling, menatap satu per satu anak dan cucunya. Tak ada
kata yang keluar, tapi sorot matanya berkata "Terima kasih."
Malam itu menjadi malam yang
penuh kenangan. Bukan karena mahalnya snak atau permainan yang luar biasa, tapi
karena kebersamaan yang hangat. Karena anak cucu hadir, bukan sekadar datang. Mereka
peduli, bukan sekadar melihat. Kami ingin ibu tahu, bahwa apapun kondisinya, ia
tidak pernah sendiri.
Saya menatap ibu sebelum tidur.
Senyumnya masih tersisa. Saya tahu sakit di pundaknya mungkin belum sepenuhnya
hilang. Tapi hati yang hangat, perhatian dan tawa dari anak dan cucu-cucu telah
menyembuhkan sebagian luka. Malam ini kami tidak menyembuhkan dengan obat, tapi
dengan cinta.
Cepu, 13 Juni 2025
Komentar
Posting Komentar