Kyai Muhammad Nursalim


Karya : Gutamining Saida 
Di masa kelam penjajahan Belanda , ketika tanah Jawa diguncang oleh kekejaman kolonial Belanda, muncullah sosok-sosok tangguh yang memilih berdiri tegak di jalan perjuangan. Salah satunya adalah seorang ulama dan pejuang tangguh yang namanya mungkin tak tercetak tebal dalam buku sejarah resmi, namun harum dalam kenangan rakyat yaitu Kyai Muhammad Nursalim.

Kyai Muhammad Nursalim bukanlah pejuang biasa. Beliau adalah pengikut setia dari Pangeran Diponegoro, tokoh utama Perang Jawa (1825–1830), perang terbesar melawan Belanda di abad ke-19. Perjuangan Pangeran Diponegoro bukan semata soal tanah dan kekuasaan, tetapi soal harga diri, iman, dan kebebasan umat dari belenggu penjajahan.

Ketika Ngawi jatuh ke tangan Belanda, kabar itu segera sampai ke telinga Pangeran Diponegoro. Hatinya bergemuruh. Ngawi, yang memiliki posisi strategis sebagai gerbang timur Jawa Tengah, tidak boleh dibiarkan menjadi benteng kuat Belanda. Maka, Pangeran Diponegoro menunjuk Kyai Muhammad Nursalim sebagai utusan kepercayaannya untuk menyusup ke wilayah itu dan membangkitkan kembali semangat perlawanan.

Tugas Kyai tidak mudah. Ngawi telah dikepung pasukan Belanda dan diawasi ketat. Namun dengan kebijaksanaan, kecerdikan, dan terutama keikhlasan, Kyai Muhammad Nursalim menjalankan strategi yang tak biasa yaitu berdakwah sambil membangun jaringan perlawanan rakyat.

Beliau tidak datang dengan senjata, tetapi dengan ilmu dan semangat. Di masjid-masjid kecil, di surau-surau pelosok, di tengah pasar, dan di gubuk petani, beliau menyampaikan dakwah. Pesannya sederhana namun membakar semangat  bahwa melawan penjajahan adalah bagian dari iman, dan bahwa kemerdekaan adalah hak setiap insan. Dakwahnya menyentuh hati. Beliau tak hanya berbicara, tetapi hadir dalam kehidupan masyarakat membantu petani menanam, ikut serta dalam panen, membimbing anak-anak mengaji, dan menyembuhkan warga dengan obat-obatan herbal yang dikuasainya.

Lambat laun, nama Kyai Muhammad Nursalim dikenal dan dihormati. Beliau bukan hanya seorang ulama, tetapi pemimpin gerakan bawah tanah. Rakyat menyebutnya Kyai Lurung, karena sering berkeliling menyusuri desa demi desa. Sementara Belanda mulai waspada, merasakan bahwa api perlawanan yang sempat padam mulai menyala kembali.

Beliau sebagaimana api, semakin terang menyala, semakin kuat menjadi incaran. Pada suatu malam, saat Kyai Muhammad Nursalim tengah mengisi pengajian rahasia di sebuah rumah warga, pasukan Belanda datang menyergap. Beliau ditangkap, diborgol, dan dibawa ke Benteng Pendem, sebuah benteng tua yang kini dikenal sebagai situs bersejarah di wilayah Ngawi.

Di balik tembok dingin benteng itu, Kyai Muhammad Nursalim disiksa. Belanda ingin mengetahui jaringan bawah tanah yang dibangunnya. Kyai memilih diam. Bibirnya hanya menyebut nama Allah, matanya tak gentar, dan hatinya tetap tegar.

Berbagai cara penyiksaan dicoba. Tubuhnya dipukul dengan rotan, ditusuk bayonet, bahkan dilempar ke sel air beracun. Keajaiban terjadi Kyai tidak mati. Tubuhnya tetap hidup meski luka parah. Konon, senjata apapun tak mampu membunuhnya. Hal ini membuat para serdadu Belanda panik dan marah.

Merasa gagal menaklukkan iman Kyai Muhammad Nursalim, Belanda memilih cara yang kejam dan tak berperikemanusiaan. Beliau diikat dengan tali tambang, lalu dikubur hidup-hidup, tidak jauh dari sel tempat beliau ditahan, di salah satu sudut Benteng Pendem. Tanpa upacara, tanpa doa, tanpa nisan.

Kisah Kyai Muhammad Nursalim tidak mati di situ. Rakyat yang mengenalnya menyebarkan kisah keberanian dan keajaibannya. Meski tubuhnya dikubur tanpa nama, namanya tumbuh dalam ingatan kolektif. Beliau dianggap syahid mati dalam perjuangan di jalan Allah. Doa-doa disampaikan untuknya. Banyak warga yang percaya, bahwa tempat di mana beliau  dikubur hidup-hidup menjadi tanah keramat, tempat yang menyimpan getar keberanian dan keteguhan iman.

Ketika benteng Pendem hanya menjadi saksi bisu dari masa lalu, cerita tentang Kyai Muhammad Nursalim tetap hidup. Beliau menjadi simbol bahwa perjuangan tidak selalu dengan senjata, tetapi juga dengan ilmu, kesabaran, dan keberanian dalam mempertahankan kebenaran.

Generasi hari ini mungkin tak lagi melihat wajah Kyai Muhammad Nursalim. Namun semangatnya mengalir dalam darah para guru, ulama, dan anak bangsa yang terus berjuang melawan ketidakadilan. Dari sudut sunyi benteng Pendem, dari tanah yang menyimpan tubuh seorang syuhada, terdengar gema sunyi bahwa kemerdekaan adalah harga yang dibayar dengan darah, doa, dan keteguhan hati.

Semoga Allah Subhanahu Wata'alla menerima Kyai Muhammad Nursalim sebagai syuhada. Semoga surga menantinya dengan pintu-pintu yang terbuka lebar.
Cepu, 22 Juni 2025 




Komentar