Selasa, 24 Juni 2025

Benteng Pendem (Van Den Bosch)

Karya :Gutamining Saida 
Langit tampak cerah, seolah menyambut kedatangan rombongan esmega yang akan menapak tilas sejarah perjuangan bangsa di sebuah tempat yang sudah lama saya impikan untuk dikunjungi  Benteng Pendem Van Den Bosch. Nama benteng ini mulai dikenal masyarakat luas sebagai situs sejarah yang menyimpan jejak penting perjuangan melawan penjajahan. Dibangun oleh Belanda dan berdiri kokoh sejak pertengahan abad ke-19, benteng ini menyimpan kisah tentang penjajahan, perlawanan, dan harapan akan kemerdekaan.

Benteng Van Den Bosch, atau yang lebih akrab disebut masyarakat sebagai Benteng Pendem, terletak strategis di wilayah Ngawi, Jawa Timur. Letaknya yang berada di pertemuan antara muara Sungai Bengawan Madiun dan Sungai Bengawan Solo menjadikannya titik strategis yang sangat penting bagi Belanda saat itu. Dengan posisi tersebut, Belanda dapat mengontrol lalu lintas sungai dan memantau pergerakan rakyat serta prajurit pribumi dari berbagai arah. Tak heran, pada masa Perang Diponegoro tahun 1825, benteng ini menjadi pusat komando yang amat vital.

Dibangun secara resmi pada tahun 1845, benteng ini kemudian dinamai sesuai nama jenderal Belanda saat itu yaitu Van Den Bosch, yang dikenal sebagai tokoh yang mencetuskan sistem tanam paksa (cultuurstelsel). Sistem ini sangat menyengsarakan rakyat pribumi karena memaksa mereka menanam komoditas yang menguntungkan penjajah, seperti kopi dan tebu, daripada menanam bahan pangan untuk kebutuhan sendiri. Maka tak hanya sebagai benteng fisik, bangunan ini pun menyimpan simbol penjajahan ekonomi yang menindas.

Ketika saya memasuki gerbang benteng, rasa takjub bercampur haru menyelimuti hati. Meskipun sebagian bangunan telah lapuk dimakan usia, jejak arsitektur khas Eropa abad ke-19 masih jelas terlihat. Dinding-dinding batu besar dan tebal masih berdiri kokoh. Sebagian area benteng memang berada di bawah permukaan tanah—oleh karena itu masyarakat menyebutnya “benteng pendem” alias benteng yang tenggelam.

Saya berjalan menyusuri lorong-lorong yang dulunya menjadi tempat pertahanan militer. Terbayang dalam benak saya bagaimana para pejuang Indonesia dahulu menyusun strategi untuk menggempur pertahanan Belanda. Benteng ini bukan sekadar bangunan tua, tetapi saksi bisu dari keteguhan para pahlawan yang memperjuangkan kebebasan negeri ini.

Di masa penjajahan, benteng ini dijaga ketat. Selain sebagai pusat militer, juga difungsikan sebagai tempat tahanan bagi para pejuang yang melawan penjajah. Banyak yang tak kembali setelah ditawan di sini. Tak sedikit yang disiksa atau dibuang ke tempat yang tak pernah terdengar lagi kabarnya. Benteng ini menyimpan luka yang dalam, namun juga menyimpan semangat tak kenal lelah dari para pejuang tanah air.

Setelah Indonesia merdeka, benteng ini tidak dibiarkan terbengkalai. Pemerintah kemudian menjadikannya aset milik TNI Angkatan Darat dan dimanfaatkan sebagai basis militer. Namun seiring berjalannya waktu, benteng ini mulai dikenal masyarakat sebagai situs sejarah yang harus dilestarikan. Selain sebagai tempat wisata sejarah, benteng ini juga menjadi lokasi edukatif bagi pelajar dan masyarakat umum yang ingin mengenal lebih dalam tentang perjuangan bangsa.

Saya duduk di salah satu sudut benteng, mengamati bangunan yang menghitam dimakan waktu. Meski diam, bangunan ini seolah berbicara. Ia menyampaikan suara para pejuang yang dulu berteriak “Merdeka!” di tengah gemuruh tembakan dan deru peluru. Ia menyampaikan duka mereka yang ditawan, dipenjara, bahkan disiksa demi mempertahankan harga diri bangsa.

Benteng ini, meski tak lagi digunakan untuk peperangan fisik, tetap menjadi medan perjuangan. Perjuangan melawan lupa. Lupa akan sejarah, akan pengorbanan, dan akan nilai-nilai luhur bangsa. Mengunjungi Benteng Pendem Van Den Bosch bukan hanya tentang menjejak tempat bersejarah, tetapi juga menyusuri kembali ingatan kolektif bangsa.

Saat matahari mulai condong ke barat, saya bersama rombongan esmega melangkah meninggalkan benteng dengan hati yang penuh syukur kepada Allah Subhanahu Wata'alla. Di tengah derasnya arus modernisasi, keberadaan benteng ini menjadi pengingat bahwa kemerdekaan tidak datang dengan mudah. Ia dibayar dengan darah, air mata, dan nyawa. Dan kini, tugas kita adalah menjaga warisan itu agar tak terkikis oleh waktu.

Benteng Pendem peringatan yang hidup, berdiri di tengah kota Ngawi untuk mengingatkan bahwa kemerdekaan adalah anugerah, dan perjuangan tak boleh dilupakan. 
Cepu, 25 Juni 2025 

1 komentar:

  1. Lho, itu fotonya koq besar banget yg depan, yg lainnya dari kejauhan 🤭🤭🤭

    BalasHapus