Aroma Tak Diundang


Karya : Gutamining Saida 
Hari Minggu seharusnya menjadi hari yang tenang, damai, dan penuh cinta. Tak  ada bising kendaraan, dan tak ada kewajiban mendesak untuk ke luar rumah. Minggu kali ini terasa lebih istimewa karena saya tidak menerima undangan arisan, resepsi, ataupun kegiatan sosial lainnya. Hati saya begitu lapang sebab  waktunya saya menjadi ibu rumah tangga seutuhnya.

Sejak pagi buta, saya sudah terjaga. Menyapu, mengepel, mencuci piring, memasak, dan menyetrika bergantian menjadi alur kegiatan saya. Peluh menetes di dahi, tapi ada bahagia yang menari-nari dalam dada. Putri saya sibuk dengan urusan terapi pasien dan abahnya pagi olah raga tenes di Cepu. 

Suasana damai itu tiba-tiba ternoda oleh sesuatu yang tak terlihat, namun sungguh terasa. Sebuah bau menyengat menyeruak, tajam, dan menjijikkan. Bau yang seolah memukul hidung dan mengguncang perut. Saya berhenti menyetrika, berdiri terpaku di tengah ruangan berpindah ke dapur. 

“Bau apa ini?” bisik saya pada diri sendiri, wajah meringis.

Saya berjalan pelan ke arah meja makan. Bau itu semakin kuat di sana. Lalu saya melirik dapur, siapa tahu ada bahan masakan yang basi atau terjatuh. Tapi tidak. Dapur bersih dan rapi. Naluri saya mengatakan yaitu ini bau bangkai. Dan naluri ibu jarang salah.

Saya menahan napas dan kembali ke dapur. Saya putuskan untuk tidak panik. “Nanti biar abah saja yang urus,” pikir saya, mencoba tetap fokus pada pekerjaan memasak.

Tak lama kemudian, abah datang dari tenes, hidungnya mengerut. Ia menghentikan langkahnya dan berdiri tegak, seperti sedang mendeteksi arah angin.

“Ini... ada bau bangkai ya?” tanyanya, singkat.

Saya mengangguk sambil tetap sibuk dengan wajan. “Iya, kayaknya sekitar meja makan baunya.”

Abah tidak membalas. Ia segera mengambil sapu, pengki, dan pembersih, lalu melangkah mantap ke ruang makan. Langkahnya berat dan pasti, seperti prajurit hendak menghadapi medan perang. Ia menengok ke bawah meja, membuka lemari, bahkan menyusuri kolong rak.

“Sebelah mana kau lihat bangkainya?” tanyanya, agak tinggi nadanya.

Saya menoleh sejenak. “Aku enggak lihat. Cuma cium baunya aja,” jawab saya datar.

Abah langsung memutar badan dan melengos. “Ya kalau gak lihat, gak usah bilang di sekitar meja makan.” gumamnya sambil menggerutu. Ia mulai kehilangan kesabaran, dan saya? Saya nyaris tertawa menahan geli.

Abah tak menyerah. Ia menyisir setiap sudut rumah. Putri saya  mulai panik dan menutup hidung. Dia berteriak dari dalam kamar, “Umi, rumah kita bau bangetttt!”

Saya tetap kalem, sambil tetap memasak. “Namanya juga bangkai, bau itu pasti.”

Akhirnya, abah memutuskan untuk memeriksa ke belakang rumah. Dengan langkah mantap, ia membuka pintu dapur dan menghilang di balik bayangan tumpukan kardus dan barang bekas.

Beberapa menit kemudian, terdengar suara teriakan kecil. “Ketemu! Bangkainya di sini!”

Saya setengah melongok dari dapur. “Serius? Di luar?”

Abah muncul sambil mengangkat sebuah plastik dengan sekop di tangan. “Iya, mati di belakang, di deket kardus.”

Saya menutup hidung, tapi tak bisa menahan tawa. “Ya Allah ... tikus jahat. Mati pun masih ganggu kenyamanan.”

Abah membuang bangkai itu ke tempat sampah luar. Setelah itu, ia mencuci tangan berkali-kali sambil terus mengomel soal tikus-tikus tak tahu diri.

Sore harinya, kami duduk santai di ruang tamu. Suasana kembali tenang, harum lavender dari pengharum ruangan mulai mengalahkan sisa bau pagi tadi.

Abah bersandar di kursi panjang dan melirik saya. “Umi ini, tumben penciumannya tajam”

Kami semua tertawa. Di balik kejengkelan dan kehebohan tadi, ada satu pelajaran yang selalu hadir di hari Minggu yaitu  rumah tangga bukan soal rapi dan bersih, tapi soal bagaimana kita menghadapi hal-hal tak terduga bersama, dengan sabar, dan kalau bisa... dengan sedikit tawa.
Cepu, 25 Mei 2025 

Komentar

  1. Apresiasi settingg-tingginya akan konsistensi menulisnya. Bu Saida keren

    BalasHapus

Posting Komentar