Kamis, 24 April 2025

Tiga Ciri Laki-laki Menurut Pak Dwiyono


Karya : Gutamining Saida 
Saya mengikuti Bimbingan Teknis sesi kedua di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Blora. Ruangan cukup nyaman, peserta yang duduk rapi dan antusias. Suasananya cair, apalagi ketika narasumber pertama, Bapak Dwiyono, membuka sesi dengan prolog ringan namun menggelitik.

“Ciri-ciri laki-laki itu ada tiga,” katanya dengan nada santai namun penuh percaya diri. “Rokok, ngopi, dan gondrong.”

Tawa kecil langsung terdengar dari berbagai sudut ruangan. Sebagian tersenyum, sebagian lain tertawa geli sambil saling menatap. Saya pun ikut tertawa kecil, tapi dalam hati saya, kalimat itu seperti mengetuk ruang kenangan yang tak pernah benar-benar tertutup.

Ingatan saya langsung melayang kepada anak laki-laki saya. Anak kedua dari tiga bersaudara. Satu-satunya anak lelaki di antara dua saudara perempuannya. Meskipun bukan yang pertama lahir, dia memiliki tempat khusus di hati saya. Tempat yang penuh harapan, tantangan, dan doa-doa diam-diam seorang ibu (umi).

Dua dari tiga ciri yang disebutkan oleh Pak Dwiyono—gondrong dan ngopi adalah sudah lama menjadi ciri khas anak saya. Sejak masa kuliah, dia mulai memanjangkan rambut. Saat pertama kali melihat rambutnya tumbuh menutupi telinga dan bagian leher, saya sempat terkejut.

“Kenapa nggak dipotong, dik? Rapi itu lebih enak dilihat,” saya menegur sambil berharap dia mengerti maksud saya.

Tapi dia hanya tersenyum tenang. “Umi ini gaya saya. Aku nyaman begini.”

Saya hanya bisa menghela napas. Kadang saya mengerti, kadang tidak. Tapi saya belajar menerima, karena saya tahu anak saya sedang mencari dan menemukan dirinya.

Soal ngopi, dia bahkan lebih rajin menyeduh kopi daripada saya. Setiap pagi ada aroma kopi dari dapur, kadang sore juga begitu saat berada di rumah. Biji kopi, gula aren, alat seduh semuanya dia pilih dan kelola sendiri. Ada kebanggaan dalam caranya menikmati kopi, seolah itu bagian dari jati dirinya.

Saya pikir cukup dua itu. Tapi ternyata ada satu hal lagi, yang selama ini ia simpan rapat tentang rokok.

Sekitar setahun yang lalu, di saat hari raya setelah salat Idul Fitri adalah acara Sungkeman dan ajang musyawarah keluarga, kami duduk berempat di ruang tamu. Ada kesempatan untuk bertanya dan menyampaikan pendapat. Akhirnya dia berkata, “Umi, abah... saya mau ngomong sesuatu.”

Semua bertiga menoleh serta memperhatikan , menatap matanya yang terlihat sedikit ragu.

“Selama ini ada sesuatu yang saya rahasiakan sama umi dan abah serta keluarga,” katanya pelan. “Sudah lama saya menjadi perokok. Tapi saya baru bisa memberitahu sekarang.”

Hati saya terasa berat. Ada kejutan yang tidak baik.
Saya diam, lalu menarik napas panjang. 

“Saya tahu rokok itu nggak baik, mi. Tapi saya nggak bisa terus bohong. Saya tidak mau jujur, itu aja dulu,” ucapnya lagi.

Saya menatap wajah anak kedua saya itu. Anak laki-laki satu-satunya. Lelaki muda yang saya besarkan dengan cinta dan harapan. Saya tahu, saya tidak bisa mengubah segalanya dalam semalam.

Ucapan Pak Dwiyono pagi ini seolah membuka kembali halaman-halaman dalam hati saya sebagai umi. Betapa perjalanan menjadi laki-laki dewasa itu penuh warna, dengan keputusan-keputusan yang tidak selalu sesuai harapan orang tua. Tapi saya percaya, anak saya tahu jalan pulang. Dia tahu mana yang baik, dan mana yang harus dia tinggalkan suatu hari nanti.

Rokok, ngopi, gondrong mungkin hanya simbol. Tapi lebih dari itu, saya belajar melihat bahwa anak saya sedang menata jati dirinya. Dan tugas saya sebagai ibu bukan untuk mengekang, tapi menjadi tempat ia kembali ketika lelah.

Saya percaya, meski jalannya berliku, anak kedua saya itu akan menemukan versi terbaik dari dirinya sendiri.  Saya akan tetap menjadi ibu, yang tak pernah lelah menunggu dengan cinta yang utuh.
Cepu, 25 April 2025 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar