Jumat, 25 April 2025

Kebersamaan Dalam Suapan Di Kelas 7B




Karya: Gutamining Saida
Langit siang terasa teduh meski matahari tetap hangat menyorot atap-atap sekolah. Udara siang yang biasa menyurutkan semangat justru terasa berbeda di kelas 7B SMPN 3 Cepu. Hari ini adalah jadwal makan bergizi gratis yang akrab kami sebut dengan singkatan MBG. Suatu program yang tidak hanya menyentuh perut, tetapi juga rasa dan hati.

Jam terakhir pelajaran diisi dengan aroma makanan dan senyum-senyum riang dari para siswa. Beberapa petugas sudah menuju ruang Sasana Bakti untuk mengambil jatah MBG untuk satu kelas. Satu anak menenteng satu paket yang terdiri dari tujuh box tempat makan. Setelah sampai di kelas tali rafia dibuka dan dibagikan ke belakang. Kemudian yang sudah menerima ada sibuk mencari posisi nyaman untuk menikmati makan siang mereka.

Anak-anak laki-laki, seperti biasa, memilih duduk di bawah dibelakang bangku. Mereka berkumpul dalam barisan yang akrab, tertawa, dan sesekali saling ejek sambil membuka box nasi. Di sisi lain, para siswi perempuan lebih suka tetap di bangkunya masing-masing. Duduk anggun, tertib, dan tampak saling berbagi tanpa banyak suara. Dua suasana yang berbeda, namun sama indahnya untuk dilihat.

Tiba-tiba ada satu siswa lelaki yang menghampiri saya dengan wajah sedikit bingung. Ia lupa membawa sendok. “Bu, saya nggak bawa sendok. Boleh beli di kantin dulu?” ucapnya singkat.

Saya tersenyum dan mengangguk. Tak lama kemudian, ia kembali dengan satu sendok plastik kecil di tangannya. Saya penasaran, jadi saya tanya, “Harganya berapa?”

“Lima ratus rupiah, Bu. Satu,” jawabnya sambil tersenyum malu-malu.

Tidak jauh dari situ, saya melihat beberapa siswa lain yang air minumnya sudah habis juga bergegas ke kantin membeli. Ada yang membawa botol kecil, ada juga yang memilih air gelasan. Tak ada keluhan, hanya wajah-wajah yang tampak siap kembali bergabung dalam suasana makan yang hangat.

Yang membuat saya terharu adalah pemandangan sederhana namun bermakna: kebersamaan dalam berbagi. Seorang siswa terlihat menyodorkan potongan tahu goreng ke temannya yang baru saja menggelengkan kepala saat melihat lauk. “Aku nggak suka tahu,” katanya. Tapi sebelum sempat merasa kecewa, temannya langsung menukarnya dengan lauk lain. “Ini, ambil punyaku. Aku malah nggak suka jeruknya.”

Saling berbagi tampak begitu alami. Sayur lodeh dengan wortel dan manisa dibagi-bagikan. Tidak ada yang merasa lebih, tidak pula ada yang merasa kurang. Semua terasa cukup. Penuh keikhlasan dan senyum saling mengerti.

Suara sendok menyentuh box  nasi, suara tawa kecil, dan percakapan ringan menghiasi ruang kelas yang biasanya penuh catatan pelajaran. Beberapa siswa berbincang sambil makan, menceritakan cerita lucu, hasil ulangan, atau rencana akhir pekan mereka. Suasana ini bukan hanya soal makan bersama, tapi tentang membangun kebersamaan. Tentang bagaimana mereka belajar saling menghargai dan saling berbagi dari hal sederhana.

Saya memandangi mereka satu per satu. Ada yang lahap menyendok nasi dan sayur ke mulutnya, ada yang tersenyum melihat temannya bercanda, ada pula yang sesekali menoleh ke saya, lalu kembali menunduk melanjutkan makan. Sebagai guru yang hanya menemani, saya merasa diberi hadiah istimewa siang ini yaitu  pemandangan yang menenangkan hati.

Di tengah kesibukan dunia yang makin individualistis, saya menyaksikan nilai gotong royong tumbuh di kelas ini. Mereka tidak diajarkan secara langsung untuk berbagi, tapi suasana itu hadir karena kebersamaan yang mereka rasakan dan bentuk bersama. Ada yang mungkin belum kenyang, tapi tetap berbagi. Ada yang sebenarnya tidak suka, tapi tidak membuang melainkan memberikan kepada yang suka.

Momen makan bergizi ini ternyata lebih dari sekadar program. Ia adalah ruang belajar tanpa papan tulis. Anak-anak belajar nilai kebersamaan, belajar melihat kebutuhan orang lain, dan yang paling penting, belajar bahwa kebahagiaan bisa tumbuh dari hal sederhana seperti suapan nasi hangat yang dimakan bersama.

Ketika jam pelajaran berakhir dan mereka mulai merapikan sisa makanan serta duduk kembali ke tempat semula, saya masih terduduk sejenak di kursi paling depan. Menyimpan perasaan bahagia yang sederhana tapi mendalam. Hari ini saya tidak hanya menjadi guru pelajaran, tapi juga saksi dari nilai-nilai kehidupan yang tumbuh alami dari kebersamaan siswa-siswi saya. Saya yakin, kenangan makan siang ini akan mereka simpan, jauh lebih lama dari apa yang pernah mereka hafal di buku pelajaran.
Cepu, 25 April 2025 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar