Jumat, 25 April 2025

Dua Sumber Inspirasi

Karya : Gutamining Saida

Saya percaya bahwa setiap pertemuan adalah takdir, dan setiap orang yang hadir dalam hidup kita membawa pesan tersendiri dari Sang Pencipta. Saya sangat merasakannya saat menjalani hari-hari sebagai guru. Tak hanya dari ruang kelas dan interaksi dengan siswa, tapi juga dari pertemanan, dari obrolan sederhana, dan dari perjumpaan yang kadang tak disangka-sangka. Dua sosok istimewa yang begitu memberi warna dalam perjalanan menulis saya adalah Bu Endang dan Bu Wiwik.

Bu Endang saya temui ketika saya masih mengajar di Kedungtuban. Ia adalah guru mata pelajaran Bahasa Inggris. Sosoknya tenang, ramah, dan selalu punya cara tersendiri dalam melihat segala hal dari sudut pandang yang tak biasa. Setiap kali kami duduk bersama, entah di ruang guru atau hanya saling berdiri di teras sekolah sembari menikmati semilir angin, pasti ada saja percakapan yang menggugah saya untuk menulis. Obrolan kami bukanlah diskusi serius atau kajian ilmiah, melainkan percakapan ringan yang ternyata kaya makna.

Kadang ia menceritakan pengalaman mengajarnya, bagaimana ia menghadapi siswa yang kesulitan memahami grammar, atau tentang bagaimana ia mencoba menjembatani mimpi-mimpi anak desa agar mampu bersaing di dunia global. Ucapannya sering sederhana, tetapi menyentuh hati. Saya merasa seperti sedang membaca halaman demi halaman buku yang belum pernah saya temui di rak mana pun. Dari obrolan itu, saya sering menemukan ide untuk menulis catatan harian, esai pendek, hingga puisi. Nama Bu Endang pun selalu terselip dalam hati saya sebagai sosok yang membawa inspirasi dalam diam.

Kemudian, waktu membawa saya ke tempat baru. Tugas dan panggilan profesi menggiring langkah saya ke Cepu. Sebuah lingkungan baru, tantangan baru, dan tentu saja pertemanan baru. Awalnya, saya merasa ragu apakah saya bisa menemukan kenyamanan seperti saat bersama Bu Endang dulu. Namun rupanya, Allah Subhanahu Wata'alla mempertemukan saya dengan Bu Wiwik, sosok yang tidak kalah istimewa. Uniknya, beliau pun guru Bahasa Inggris.

Bu Wiwik hadir dengan semangat yang ceria, penuh energi, dan kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan sekitar. Ia seringkali menyapa dengan hangat, menyelipkan humor dalam kalimatnya, namun tak pernah kehilangan esensi. Setiap kali kami bercakap, ada semacam aliran semangat yang menular. Ia bisa bercerita tentang metode pengajaran terbaru, mengaitkannya dengan budaya lokal, bahkan kadang menyisipkan cerita kehidupan yang mengandung pesan-pesan spiritual. Obrolan dengannya tidak hanya membuat saya merasa diterima, tetapi juga memunculkan kembali semangat untuk menulis dengan lebih luas, lebih terbuka, dan lebih jujur.

Saya merasa sangat bersyukur. Dua sosok guru Bahasa Inggris ini datang di dua waktu dan tempat yang berbeda, tetapi memberikan dampak yang sama yaitu menyiram semangat menulis saya agar terus tumbuh dan berbunga. Mereka seperti dua mata air yang tak pernah kering, memberikan inspirasi tanpa mereka sadari. Dari mereka, saya belajar bahwa ide-ide itu bisa datang dari mana saja. Bahkan dari obrolan yang tampak remeh, bisa lahir tulisan yang menggugah dan bermanfaat bagi orang lain.

Menulis bagi saya bukan hanya tentang menuangkan kata, tetapi juga tentang menyampaikan makna. Dan untuk bisa menyampaikan makna, saya perlu hati yang peka, telinga yang mendengar, dan mata yang jeli. Kedua sahabat ini membantu saya untuk lebih membuka diri, melihat dunia dengan cara yang berbeda, dan meresapi setiap peristiwa sebagai pelajaran. Mereka tidak hanya teman kerja, tapi juga sahabat dalam perjalanan menulis saya.

Saya percaya bahwa tulisan yang lahir dari hati, dari pengalaman nyata, dan dari pertemuan dengan orang-orang baik, akan memiliki napas yang panjang. Ia akan sampai pada pembaca yang tepat, di waktu yang tepat. Mungkin tidak langsung hari ini, tetapi suatu saat nanti. Dan jika tulisan itu bisa menginspirasi, menyentuh hati, atau sekadar menemani pembaca dalam sunyi mereka, maka saya yakin bahwa saya tidak menulis sia-sia.

Rasa syukur saya tak terhingga kepada Allah Subhanahu Wata'alla karena mempertemukan saya dengan Bu Endang dan Bu Wiwik. Keduanya seperti jembatan yang menghubungkan saya dengan dunia kata-kata, dunia yang saya cintai. Dari mereka, saya belajar bahwa menjadi guru bukan hanya tentang menyampaikan pelajaran, tapi juga tentang saling menginspirasi, saling menguatkan, dan menebar semangat untuk terus belajar, tumbuh, dan berkarya.

Kini, setiap kali saya menulis, saya tahu bahwa saya tidak sendiri. Ada jejak cerita Bu Endang dan tawa ceria Bu Wiwik yang ikut mengalir dalam setiap kata. Saya berharap, tulisan-tulisan saya kelak bisa menjadi sahabat bagi yang membacanya, sebagaimana mereka berdua telah menjadi sahabat bagi saya. 
Cepu, 26 April 2025 

5 komentar:

  1. Itu fitnah, Bu Saida.... Hehehhe, saya tidak sebaik yang bu Saida tulis...

    BalasHapus
  2. saya menulis kenyataan, jangan lari dari kenyataan dong. Terimakasih bu Wiwik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalau lari membuat capek bu, mending naik ojek

      Hapus
    2. Naik ojek pakai ongkos, bila lari menjadi sehat.

      Hapus