Sabtu, 19 April 2025

Salahkan Saya Saja.

Karya : Gutamining Saida 

Hari Sabtu sekitar pukul 10.15 WIB langit masih menggantungkan sisa mendung dari malam sebelumnya. Udara terasa berat, seakan masih membawa duka yang belum selesai. Kami, keluarga besar dari sekolah SMP 3 Cepu, baru saja menyelesaikan kegiatan PSAJ. Beberapa guru terrmasuk saya, memutuskan untuk langsung meluncur ke rumah duka. Kabar duka itu baru kami ketahui pagi saat tes PSAJ berlangsung. Mertua laki-laki Pak Eko meninggal dunia dan telah dimakamkan semalam dalam kondisi hujan.

Kami sedikit terkejut. Biasanya, kabar seperti ini cepat menyebar di antara kami yaitu keluarga besar SMPN 3 Cepu yang sudah seperti saudara. Tapi hingga pagi itu, tidak ada kabar dari Pak Eko. Beberapa sempat bertanya-tanya: “Kenapa baru tahu sekarang? Kenapa tidak ada informasi sebelumnya?”

Setibanya di rumah duka, suasana masih terasa hening. Beberapa keluarga sedang duduk didalam, sesekali terdengar suara isak yang tertahan. Kami mengucapkan bela sungkawa, memberi pelukan hangat pada anggota keluarga yang ada dan menunggu kehadiran Pak Eko yang masih di sekolah.

Beberapa menit kemudian,  Pak Eko datang dengan langkah tergesa. Wajahnya letih, mata sembab, dan ekspresinya penuh duka. Ia langsung berjalan ke arah kami, duduk berdekatan istrinya serta menenangkan diri. “Saya minta maaf, teman-teman,” katanya dengan suara berat. “Saya benar-benar minta maaf karena tidak memberi kabar lebih awal. Semalam semua terasa begitu cepat dan berat. Saat proses pemakaman hujan mendadak, dan saya bingung harus bagaimana. Tolong jangan salahkan siapa-siapa. Salahkan saya saja.”

Suasana mendadak hening. Semua mata memandang Pak Eko yang duduk tegak meski terlihat rapuh. Kata-katanya menyentuh, membuat kami yang tadinya mempertanyakan keterlambatan informasi justru merasa bersalah telah sempat berpikir macam-macam.

Sejenak, tidak ada yang bicara. Kami hanya mengangguk pelan, memahami bahwa duka memang tidak selalu datang dengan rencana. Tidak semua orang bisa mengatur bagaimana menyampaikan kehilangan di tengah kesedihan yang tiba-tiba.

Lalu, seperti sudah menjadi kebiasaan dalam setiap acara duka, perwakilan keluarga diwakili oleh bapak Wahyudi memberi sambutan.  Giliran Pak Eko menjawab sambutan dari wakil kekeluargaan. Ia duduk didampingi oleh istrinya, masih dengan nada suara yang bersahaja.

“Terima kasih atas kedatangan Bapak Ibu semua, rekan-rekan dari sekolah. Saya mohon maaf sebesar-besarnya. Jangan salahkan siapa pun. Saya yang salah.  Seketika itu, dari arah kiri tempat duduk kami, terdengar suara ringan namun lantang yaitu “Pak Eko salah!”

Suara itu berasal dari Bu Wiwik. Komentarnya spontan, terdengar sangat polos namun jenaka. Suasana yang tadinya khidmat dan sendu, berubah seketika. Tawa meledak dari para rekan guru yang hadir. Bahkan Pak Eko pun tak bisa menahan senyum sambil mengusap air mata yang baru saja mengalir.

“Bu Wiwik ini…” ucap Pak Eko sambil geleng-geleng kepala, setengah tertawa. Tawa pun pecah kembali. Kami semua tertawa bukan karena mengejek, tapi karena merasa lega. Kadang dalam duka, sedikit tawa bisa jadi penyembuh terbaik. Apalagi jika datang dari orang yang tulus dan bersahabat.

Setelah itu, suasana berubah lebih hangat. Kami tidak lagi membicarakan kabar yang telat dan proses pemakaman yang terburu-buru. Istri pak Eko justru berbagi cerita, mengenang almarhum yang katanya sangat sabar bahkan hingga usia 90 tahun.

“Almarhum sakit struk dirawat sudah ada dua tahun,  nah itu foto terbaru bersama istri, anak dan  cucu-cucunya,” cerita istrinya pak Eko “Tadi malam  hujan justru jadi pengantar terakhirnya ke peristirahatan.” Kisah itu membuat kami semua kembali diam. Tak ada yang lebih menyentuh daripada gambaran cinta seorang kakek yang kini telah tiada.

Sebelum kami pulang, Pak Eko beserta istrinya kembali berdiri dan mengantar kami satu per satu. Wajahnya sedikit lebih tenang, matanya masih sembab, tapi senyumnya mulai mengembang. Ia mengucapkan terima kasih dengan tulus.

“Saya nggak nyangka teman-teman datang setelah PSAJ. Ini lebih dari cukup buat saya.” ucap pak Eko. Kami mengangguk. “Namanya juga keluarga,” ujar salah satu guru. Dan saat kami hendak melangkah keluar, suara Bu Wiwik kembali terdengar, pelan tapi masih cukup jelas, “Tapi tetap ya… Pak Eko salah…” Tawa meledak lagi. Kali ini, bukan hanya kami yang tertawa. Keluarga Pak Eko, ikut tertawa.

Hari itu kami pulang dengan hati yang lebih ringan. Duka memang tak bisa dihindari, tapi bersama keluarga, sahabat sekantor segalanya jadi lebih bisa diterima. Satu kalimat sederhana seperti “Salahkan saya saja,” bisa membawa kita pada makna yang lebih dalam tentang tanggung jawab, penerimaan, kasih sayang sesama. Turut belasungkawa pak Eko. Semoga husnul khotimah. 
Cepu, 19 April 2025 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar