Rabu, 30 April 2025

Ngopi Bareng Di Kelas


Karya: Gutamining Saida 
Suasana kelas 7D terasa berbeda. Mata pelajaran IPS baru saja dimulai, saya berdiri di depan kelas. Saya baru saja menjelaskan materi tentang keberagamaan sosial budaya  dan seperti biasa, ada wajah-wajah yang tampak mengantuk, ada pula yang mencatat dengan semangat, dan sebagian lainnya asyik memperhatikan saya dengan ekspresi ingin tahu.

Setelah menyelesaikan penjelasan materi, saya berkata dengan santai namun serius, “Anak-anak, habis ini kita ngopi bareng, ya.'' Mendengar kalimat itu, suasana kelas mendadak hening. Beberapa siswa saling berpandangan. Ada yang mengangkat alis, ada yang menoleh ke temannya sambil berbisik pelan, bahkan ada yang hanya bisa melongo menatap saya dengan ekspresi kebingungan. Raut wajah mereka seakan berkata, “Bu Saida kita serius mau ngopi? Masa iya di sekolah boleh minum kopi?”

Saya menahan senyum, membiarkan mereka larut dalam keheranan sejenak. Lalu dengan perlahan saya membuka tas dan mengeluarkan satu kantong plastik besar. Dari dalamnya, saya keluarkan satu per satu sachet minuman yaitu Kopi gula aren, Top Coffee hitam, GoodDay berbagai rasa, dan tak ketinggalan Energen sereal & susu bagi yang tak suka kopi.

Begitu semua sachet saya tata di atas meja guru, seisi kelas menatap saya dengan mata penuh tanya. Ada yang langsung berseru kecil, “Lho... beneran, Bu?! Kita ngopi beneran?”

Saya mengangguk sambil tersenyum. “Iya dooong. Tapi bukan hanya ngopi biasa. Ini ngopi sambil mikir. Di balik setiap sachet ini ada soal IPS. Kalian ambil satu, balikkan sachetnya, dan jawab soal yang tertulis di sana. Tulis jawabannya di buku kalian, lalu kalau sudah selesai, boleh ambil lagi sachet berikutnya.”

Sekarang ekspresi siswa berubah total. Antusiasme mulai tampak di wajah mereka. Tanpa perlu disuruh dua kali, satu deret pertama segera maju ke meja guru. Mereka memilih sachet dengan gaya masing-masing yaitu ada yang cepat mengambil, ada yang membaca dulu satu per satu seolah ingin mencari tantangan tertentu.

Begitu mereka kembali ke tempat duduk masing-masing, suasana kelas berubah jadi seperti warung kopi mini. Aroma kopi perlahan mulai tercium di seluruh ruangan. Beberapa siswa tersenyum sendiri ketika membuka dan membaca soal yang tertulis di balik sachet. Ada yang langsung menulis jawabannya dengan yakin, ada pula yang mengernyit bingung.

“Saya pilih Energen, Bu,” kata Alina sambil tersenyum. “Soalnya bukan tentang kopi, kan?”

Saya tertawa kecil. “Tenang, soal tetap sesuai materi. Nggak ada hubungan sama kopi, kok.”

Sementara itu, Orva yang duduk di bangku belakang sudah selesai menjawab soal pertama dan maju lagi ke depan. “Saya mau tantangan, Bu. Mau yang pahit, Top Coffee hitam,” katanya sambil mengambil sachet dan tertawa sendiri.

Satu demi satu siswa mengikuti. Mereka terlihat aktif, semangat, dan yang paling penting yaitu mereka belajar dengan senang. Tak ada paksaan, tak ada beban. Bahkan siswa yang biasanya pasif dan sulit diajak aktif, kali ini menunjukkan antusiasme luar biasa.

Zaman sekarang memang sudah berubah. Jika dulu kopi identik dengan bapak-bapak atau orang tua yang duduk santai di beranda rumah, sekarang anak-anak muda pun mulai akrab dengan kopi. Di media sosial, minuman kopi kekinian jadi tren. Di minimarket atau kantin sekolah, sachet kopi berbagai rasa tersedia dan sering dibeli. Anak-anak tidak lagi asing dengan kopi, bahkan sudah tahu mana kopi yang manis, mana yang pahit, dan mana yang cocok diminum sambil belajar.

Ada yang berkata sambil tertawa, “Bu, ini kopi tapi kayak kuis, ya. Seru!”

Yang lain menimpali, “Kalau setiap pelajaran IPS kayak gini, aku nggak bakal ngantuk, Bu!”

Saya hanya bisa tersenyum bahagia. Di balik gurauan dan tawa mereka, saya tahu bahwa mereka sedang berpikir, sedang mengingat materi, dan sedang melatih diri untuk memahami konsep keragaman sosial budaya dengan cara yang menyenangkan.

Setelah semua sachet habis dibagikan, dan semua soal berhasil mereka selesaikan, saya memberi kesempatan untuk bertanya jika ada yang tidak paham. Ternyata, diskusi pun mengalir lancar. Karena sudah mengalami sendiri proses “belajar sambil ngopi”, mereka jadi lebih mudah menyerap konsep-konsep yang sebelumnya terasa rumit.

Saya tutup pelajaran hari itu dengan refleksi kecil. Saya ajak mereka merenung yaitu kadang belajar tidak harus duduk diam dan mencatat. Belajar bisa dilakukan dengan cara yang kreatif, yang menyentuh rasa ingin tahu dan membuat mereka merasa dihargai.

Hari itu saya bahagia dengan senang hati . Bukan karena berhasil membuat mereka ngopi, tapi karena berhasil membuat mereka mau belajar dengan senang hati. Dalam kelas yang sederhana, saya melihat semangat besar untuk menjadi lebih baik, satu teguk ilmu dalam sesaset kopi.
Cepu, 30 April 2025 


-

4 komentar: