Minggu, 27 April 2025

Menapak Langkah Jejak Sunan Bonang




Karya: Gutamining Saida 
Mentari bersinar terik di atas langit perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah. Rombongan kecil dari berbagai wilayah, seperti Bojonegoro dan Blora, mulai bergerak mengikuti perjalanan religi bertajuk Tour Padang Mbulan. Para peserta, yang sebagian besar baru kali ini bertemu, membawa semangat yang sama yaitu menapaktilasi jejak para wali, mencari makna dalam perjalanan batin mereka masing-masing.

Kendaraan pribadi dan beberapa sepeda motor beriringan, membelah jalanan desa yang berdebu. Sesekali, pohon-pohon jati yang tinggi melambai seolah menyapa. Perjalanan terasa akrab meski banyak dari kami belum saling mengenal. Sepanjang perjalanan, ada yang saling bertukar cerita, ada pula yang memilih termenung menatap ke luar jendela, membiarkan pikiran larut dalam suasana.

Tujuan lokasi terakhir kami adalah Goa Sentono, petilasan Sunan Bonang yang penuh sejarah dan sakral. Menurut jadwal, kami seharusnya tiba di lokasi sebelum Maghrib, namun perjalanan ternyata lebih panjang dari perkiraan. Beberapa peserta meminta lanjut  untuk berwudhu dan istirahat, sementara yang lain menikmati pemandangan pedesaan sekitar goa sentono yang asri. Waktu terasa cepat berlalu.

Akhirnya, setelah perjalanan yang cukup melelahkan, kami sampai di lokasi saat adzan Maghrib berkumandang. Langit jingga mulai berganti menjadi ungu, dan angin sore membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Para panitia tampak sudah bersiap, menata segala keperluan. Walaupun sedikit mundur dari jadwal, semua tetap tersenyum, saling menyapa dan membantu menurunkan barang-barang.

Di pelataran dekat goa, ada sebuah  gasebo megah sudah disiapkan  beberapa meja, kursi tersusun rapi, penuh dengan hidangan makan malam yang menggoda antara lain nasi putih mengepul, oseng tahu gurih beraroma harum, ayam goreng yang renyah, serta mie goreng yang tampak menggoda dengan taburan irisan kol dan wortel. Di sudut, satu ceret besar berisi es teh disediakan, siap memadamkan dahaga setelah perjalanan panjang.

Sistem prasmanan yang diterapkan membuat suasana semakin santai. Satu per satu, peserta mengambil piring dan mulai mengambil makanan sesuai selera. Tawa kecil terdengar di sana-sini. Ada yang tertawa malu saat tanpa sengaja menjatuhkan sendok, ada pula yang dengan hangat menawarkan mie goreng lebih banyak kepada peserta lain yang baru dikenal. Momen ini sungguh menciptakan rasa kekeluargaan yang hangat.

Saya sendiri sempat berbincang dengan seorang panitia dari Bojonegoro yang bercerita tentang pengalamannya mengikuti jejak wali sejak dulu. Ia berbagi kisah tentang perjalanan sunyi di berbagai makam wali di pesisir utara Jawa, lengkap dengan pengalaman spiritual yang membuat bulu kuduk meremang. Di sebelah saya seorang ibu dari Blora yang mengajak putrinya masih duduk di bangku sekolah dasar  Aslinya dari Ngoken dengan ramah menyapa. Seorang wanita cantik dari Bojonegoro yang enerjik dan ramah. 

Sambil menyantap nasi hangat dengan ayam dan oseng tahu, kami berbagi cerita seputar kehidupan sehari-hari, pekerjaan, dan pengalaman rohani masing-masing. Tidak ada sekat, tidak ada perbedaan status, semua melebur menjadi satu keluarga besar dalam suasana malam itu.

Setelah makan malam, sebagian peserta menuju ke dalam Goa Sentono untuk berdoa. Goa kecil itu, yang dipercaya sebagai tempat Sunan Bonang bertafakur, terasa begitu hening dan khusyuk. Lampu-lampu temaram menambah suasana sakral. Doa-doa lirih terdengar di antara gumaman dzikir yang terpantul dari dinding goa yang dingin.

Saya duduk sejenak tidak ikut turun dekat pintu masuk goa, sebab kondisi sudah agak gelap, sang surya sudah menghilang. Saya membiarkan diri larut dalam keheningan. Ada sesuatu yang berbeda malam itu. Bukan sekadar perjalanan fisik, tetapi seakan ada perjalanan batin yang sedang berlangsung dalam diri saya sendiri. Perjalanan untuk kembali mengingat bahwa hidup ini bukan hanya tentang mengejar dunia, tetapi juga tentang mencari makna dan kedekatan dengan Sang Pencipta.

Menjelang malam semakin larut, rombongan perlahan mulai bersiap kembali pulang. Beberapa masih sempat bercanda ringan, mengambil foto bersama di gasebo menikmati makan bersama. mengabadikan momen yang mungkin akan lama terkenang. 

Dalam perjalanan pulang, jalanan terasa lebih sunyi. Lampu-lampu kendaraan berkilau seperti kunang-kunang di tengah gelapnya malam desa. Suasana di dalam mobil lebih tenang, banyak yang terdiam, merenung. Saya sendiri menyandarkan kepala di jendela, membiarkan pikiran melayang ke berbagai percakapan yang tadi mengalir, kepada sambal kampung yang pedasnya masih terasa di lidah, dan tentu saja, kepada kesan mendalam saat berdoa di Goa Sentono.

Tour Padang Mbulan ini bukan hanya perjalanan ziarah biasa. Ini adalah perjalanan jiwa. Sebuah perjalanan di mana saya menemukan kembali arti kebersamaan, keikhlasan, dan kerinduan akan hal-hal sederhana yang membawa kita lebih dekat kepada-Nya.
Cepu, 28 April 2025 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar