Minggu, 27 April 2025

Izin Minum Di Tengah Ketegangan


Karya: Gutamining Saida 
Sinar matahari terasa garang di langit. Panasnya seakan menembus genting sekolah dan menyebar ke seluruh ruang kelas. Saat itu jam pelajaran ke-6 dan ke-7, waktu yang kerap menjadi ujian kesabaran, baik bagi guru maupun siswa. Saya mengajar di kelas 7G, kelas yang terkenal dengan keberagamaannya yaitu ada yang pendiam, ada yang jahil, ada pula yang sangat aktif bertanya.

Saya manfaatkan untuk membahas pekerjaan rumah yang sudah mereka kerjakan minggu lalu. Sebuah pekerjaan rumah yang sebenarnya cukup sederhana, namun tetap menuntut ketelitian. Saya berjalan dari deretan bangku paling depan ke belakang, mengecek satu per satu buku mereka. Suasana sempat sedikit riuh, beberapa anak bergumam, ada juga yang mencoba bertanya tentang jawaban mereka, namun saya hanya tersenyum sambil memberi isyarat agar bersabar sampai pengecekan selesai.

Setelah semua buku diperiksa, saya berdiri di depan kelas dan mengatur posisi. Dengan spidol di tangan, saya mulai membahas soal pertama. Anak-anak tampak cukup serius memperhatikan. Beberapa dari mereka bahkan memiringkan kepala, seolah berusaha memahami penjelasan saya dengan lebih baik. Saya merasa lega, mengira ini akan menjadi jam pelajaran yang produktif.

Satu soal telah selesai dibahas. Saya hendak melanjutkan ke soal kedua ketika tiba-tiba dari deretan  belakang seorang anak laki-laki mengangkat tangan tinggi-tinggi. Dia adalah Farhan anak yang dikenal ceria, kadang suka usil, tapi juga punya rasa ingin tahu yang tinggi.

Suasana kelas langsung hening. Semua mata tertuju padanya, termasuk saya. Dalam hati, saya sedikit berbunga. Mungkin Farhan akan bertanya tentang materi, atau mungkin dia akan menjawab soal berikutnya, pikir saya.

"Iya, silakan Farhan," ucap saya sambil tersenyum menyemangatinya.

Farhan berdiri dengan sedikit tergesa, tangannya masih setengah terangkat. Dengan suara cukup lantang, ia berkata, "Bu… bu… saya ijin minum!" katanya singkat.

Sekejap, harapan yang menggantung di udara seolah jatuh pecah di lantai kelas. Saya refleks mengerjap, seolah memastikan apakah saya tidak salah dengar. Teman-temannya yang semula duduk tegang, menunggu jawaban soal kedua, terlihat menghela napas panjang. Beberapa ada yang memutar bola mata, ada pula yang terkikik kecil menahan kecewa.

Saya tersenyum kecut. "Oh, iya Farhan. Silakan," jawab saya sambil menahan tawa kecil yang hampir meledak. Farhan dengan cepat  mengangkat botol minuman lantas membuka tutup sambil komat kamit dan minum, dengan santainya, seakan-akan tidak terjadi apa-apa.

Sementara itu, anak-anak yang lain mulai ribut kecil, bergumam kecewa. "Kirain mau jawab, eh malah ijin minum," bisik salah satu siswa. Yang lain ikut tertawa pelan.

Saya kembali mengetuk papan tulis dengan spidol. "Anak-anak, fokus ya. Kita lanjut ke soal kedua," seru saya mencoba mengembalikan perhatian mereka.

Namun suasana sudah sedikit berubah. Saya bisa merasakan ada tawa-tawa kecil yang masih tertahan, ada gelombang kegemasan kecil yang mengambang di udara. Seolah, Farhan telah sukses mencuri fokus satu kelas hanya dengan tiga kata sederhana.

Saya lanjutkan pembahasan soal kedua dengan sedikit lebih cepat, berharap suasana kembali normal. Meski begitu, di sela-sela penjelasan, saya beberapa kali melirik ke arah Farhan yang kini sudah duduk kembali di bangkunya, menyeruput air minum dari botol dengan wajah puas.

Setelah pembahasan soal-soal selesai, saya menutup pertemuan hari itu dengan sedikit refleksi. Saya bertanya kepada anak-anak apa yang mereka rasakan saat mengerjakan PR minggu lalu, bagian mana yang sulit, dan bagian mana yang mereka suka. Farhan, yang tampaknya sudah merasa cukup minum, kali ini dengan semangat mengacungkan tangan.

Saya memberinya kesempatan berbicara lagi, meski kali ini saya sempat berkelakar, "Mau ijin apa lagi, Farhan?"

Kelas meledak dalam tawa. Farhan pun ikut tertawa, lalu dengan polos menjawab, "Enggak, Bu. Saya mau jawab beneran. Tadi tuh saya kehausan banget, takut nggak konsen."

Jawabannya membuat saya tersenyum lebih lebar. Ada kejujuran polos di balik sikapnya yang tadi mengagetkan semua orang. Farhan menjelaskan jawabannya untuk refleksi PR dengan cukup baik, menunjukkan bahwa sebenarnya dia memang memperhatikan pelajaran, hanya saja tubuhnya lebih dulu meminta perhatian lewat rasa hausnya.

Saya belajar sesuatu yaitu di dunia anak-anak, kadang kebutuhan sederhana seperti haus, lapar, atau rasa ingin buang air bisa mengalahkan semua ketegangan intelektual. Tugas saya sebagai guru bukan hanya mengajar materi, tetapi juga memahami dunia kecil mereka yang penuh kejutan.

Di ruang guru saya tersenyum sendiri mengingat kejadian itu. Rasanya, pengalaman hari ini akan menjadi salah satu kenangan lucu yang akan saya ingat bertahun-tahun kemudian tentang seorang Farhan, yang mengangkat tangan di tengah ketegangan kelas, bukan untuk bertanya atau menjawab, tapi hanya untuk... izin minum.
Cepu, 28 April 2025 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar