Minggu, 20 April 2025

Gerbang Sekolah



Karya : Gutamining Saida

Sore itu matahari belum sepenuhnya tenggelam. Langit di atas Kedungtuban masih menggantungkan sisa-sisa cahaya jingga yang hangat, mengantar pulang siapa saja yang baru selesai bekerja atau sekadar melintas seperti saya. Mobil melaju pelan di jalan yang sudah saya kenal. Pintu gerbang menuju SMPN 1 Kedungtuban.

Entah kenapa, saat lewat depan sekolah itu, saya berusaha menoleh walau laju kendaraan cepat. Gerbangnya tampak kokoh seperti biasa, sederhana namun memiliki daya magis tersendiri bagi saya. Ada rasa yang tak bisa dijelaskan saat memandangnya. Di sanalah dulu saya berdiri menyapa siswa yang datang di pagi hari, menyambut wajah-wajah siswa yang kini mungkin sudah melanjutkan sekolah yang lebih tinggi, pergi merantau, atau sekadar melanjutkan kisah hidup mereka.

Iseng,  saya ambil ponsel dari tas.  Saya potret gerbang sekolah yang sunyi itu. Hanya itu. Bagi saya foto itu menyimpan ribuan kisah. Lalu saya unggah ke story media sosial dengan satu tulisan pendek, “Lewat sini.”

Tak ada niat apa-apa. Hanya sekadar berbagi momen sederhana, mungkin juga karena ada rindu yang tertinggal. Tapi tak berapa lama, layar ponsel saya menyala. Sebuah pesan masuk. "Mampir, Bu..." diikuti beberapa emoji cinta. Pesan dari salah satu siswa yang paling spesial. 

Sekejap saya terdiam. Bukan karena pesan itu panjang atau luar biasa, tapi karena yang menulisnya adalah seseorang yang pernah menjadi bagian dari kelas yang  saya ajar. Seseorang yang dulu mungkin lebih sering diam, atau justru banyak bertanya, atau mungkin salah satu dari mereka yang suka menggoda teman di kelas. Tapi satu hal yang pasti yaitu  mereka ingat.

Malam itu hati ini hangat. Rasanya seperti sedang menerima hadiah yang tak dibungkus tapi begitu berharga. Saya tersenyum sendiri. Dalam sekejap, kenangan-kenangan saat mengajar menyeruak tertawa di ruang kelas, marah karena PR tak dikerjakan, memberi nilai tambah untuk presentasi yang bagus, atau menenangkan siswa yang menangis karena bertengkar dengan temannya.

Betapa waktu berjalan tanpa bisa dihentikan, tapi jejak itu ternyata masih ada. Setidaknya, story sederhana dan satu foto mampu menjembatani kembali rasa yang pernah ada yaitu antara guru dan murid.

Pesan "Mampir, Bu" itu mungkin terdengar sederhana, namun di baliknya ada makna yang dalam. Ada perhatian, ada ikatan yang tak hilang walau tak lagi berjumpa tiap hari. Seakan ada suara lirih yang berkata, "Kami masih ingat, Bu. Kami masih mengikuti."

Saya tidak membalas pesan itu panjang. Hanya emoticon senyum dan ucapan terima kasih. Tapi percayalah, hati saya menjawab dengan kalimat-kalimat yang panjang dan penuh makna. Karena menjadi guru bukan soal mengajar di kelas saja, tapi bagaimana membekas di hati. Dan sore itu, saya merasa bahwa saya masih ada di hati mereka.

Beberapa pesan lain masuk. “Kapan ke sekolah lagi, Bu?” atau “Rindu pelajaran Ibu.” Bahkan ada yang hanya membalas story dengan stiker-stiker lucu. Diantaranya Yola kelas 8B, Setyaningsih kelas 9C. Mereka masih perhatian dengan saya. Itu bukti bahwa yang dulu pernah menjadi ‘anak-anak’ di ruang kelas, masih memanggil dengan kata yang sama yaitu Ibu.

Lewat gerbang sekolah itu, saya tak hanya lewat secara fisik. Tapi juga lewat dalam kenangan yang masih hidup, dalam hubungan yang tak putus oleh waktu. Saya tak butuh panggung besar atau ucapan terima kasih yang lantang, karena bagi seorang guru, senyum dan sapaan dari siswa bahkan dari story sederhana adalah penghargaan paling tulus.

Kini saya tahu, tak ada hal yang benar-benar kecil saat kita melakukannya dengan cinta. Foto gerbang sekolah itu mungkin sudah hilang ditelan waktu 24 jam media sosial, tapi tidak dalam hati saya. Ia abadi sebagai pengingat bahwa peran seorang guru tidak berhenti ketika jam pelajaran selesai. Ia hidup terus dalam kenangan dan perhatian yang tak terlihat, namun nyata.
Lewat gerbang SMPN 1 Kedungtuban, bukan sekadar lewat. Saya kembali, walau hanya lewat sekilas, ke tempat di mana cinta terhadap profesi ini. 
Cepu, 21 April 2025 




2 komentar: