Karya: Gutamining Saida
Langit masih tampak mendung ketika kami berangkat menuju Bojonegoro untuk menghadiri takziah. Udara pagi terasa sejuk dan jalanan masih lengang. Perjalanan ini bukan sekadar perjalanan biasa; ada rasa duka yang menyelimuti hati karena kabar kepergian mertua adikku.
Di dalam mobil, saya duduk di dekat jendela, membiarkan pemandangan luar melintas begitu saja. Sambil merenungkan makna kehidupan, saya teringat satu hal yang ingin saya lakukan hari ini. Saya mempraktikkan ilmu yang diajarkan oleh Bu Wiwik, seorang rekan guru yang luar biasa.
Bu Wiwik adalah sosok yang penuh semangat dalam berbagi ilmu, terutama dalam dunia menulis. Ia percaya bahwa ilmu tidak akan berkurang ketika dibagikan, justru sebaliknya. Semakin banyak berbagi, semakin luas manfaat yang bisa dirasakan. Saya mengingat jelas bagaimana ia selalu mendorong teman-teman guru untuk menulis, mencatat pengalaman, dan membagikan pemikiran melalui tulisan.
Menurutnya, menulis bukan hanya tentang menuangkan kata-kata, tetapi juga tentang mengabadikan perjalanan hidup, mencatat momen-momen berharga, serta berbagi hikmah bagi orang lain. "Ilmu itu seperti cahaya," katanya suatu hari. "Jika kamu simpan sendiri, ia hanya menerangi sedikit ruang. Tapi jika kamu bagikan, cahayanya bisa menyinari lebih banyak orang."
Kata-katanya begitu membekas dalam hati saya. Sejak saat itu, saya mulai mencoba menulis, meskipun awalnya tidak mudah. Ada rasa ragu, takut tulisan saya tidak bermakna, atau tidak cukup baik untuk dibaca orang lain. Namun, Bu Wiwik selalu memberi semangat, meyakinkan bahwa yang terpenting adalah memulai.
Perjalanan menuju Bojonegoro cukup panjang dan saya berpikir ini adalah waktu yang tepat untuk praktik menulis. Saya mengeluarkan ponsel, membuka aplikasi catatan, dan mulai mengetik. Saya menulis tentang perjalanan ini tentang makna takziah, tentang perasaan kehilangan, dan tentang bagaimana setiap peristiwa bisa menjadi bahan renungan.
Menulis di perjalanan memberi saya ruang untuk berpikir lebih dalam. Saya teringat bagaimana takziah selalu menjadi pengingat bagi kita semua bahwa hidup ini sementara. Setiap orang memiliki waktunya sendiri dan kita tidak pernah tahu kapan giliran kita akan tiba.
Di sela-sela menulis, saya teringat kembali bagaimana Bu Wiwik selalu menekankan bahwa tulisan bisa menjadi warisan berharga. "Bayangkan, ketika kita sudah tiada, tulisan kita masih bisa dibaca orang lain, masih bisa menginspirasi dan memberi manfaat," katanya.
Saya semakin bersemangat. Kata demi kata mengalir dan saya merasa bahwa menulis memang seperti berbicara dengan diri sendiri. Menulis bukan hanya tentang mengabadikan cerita, tetapi juga tentang memahami makna di balik setiap kejadian.
Saat mobil memasuki kawasan Bojonegoro, saya menyimpan tulisan saya dan merasa lega. Meskipun belum selesai sepenuhnya, setidaknya saya telah memulai. Saya tersenyum kecil, mengingat pesan Bu Wiwik bahwa ilmu harus terus dibagikan. Hari ini, saya bukan hanya menghadiri takziah, tetapi juga belajar untuk terus mengasah kemampuan menulis.
Saya berjanji pada diri sendiri untuk tidak ragu berbagi ilmu seperti yang dilakukan Bu Wiwik. Jika suatu hari ada orang lain yang ingin belajar menulis, saya akan dengan senang hati membimbingnya, sebagaimana saya pernah dibimbing.
Perjalanan ini memberi saya dua pelajaran berharga: bahwa kematian adalah pengingat agar kita lebih memanfaatkan waktu dengan baik dan bahwa ilmu yang kita miliki akan semakin berkembang jika kita bersedia berbagi. Karena sejatinya, ilmu bukan untuk disimpan sendiri, melainkan untuk menerangi banyak orang.
Cepu, 11 Maret 2025
Memang salah satu tujuan saya menulis adalah untuk diwariskan pada anak cucu kita, agar mereka dapat mengenang kita, dan Alhamdulillah jika ada tulisan kita yang bermanfaat bagi mereka.
BalasHapus