Senin, 10 Maret 2025

Cermin Kehidupan


Karya: Gutamining Saida

Langit tampak mendung ketika saya, suami dan ibu berangkat menuju rumah duka. Suasana di sepanjang jalan terasa sunyi, seolah alam pun ikut berduka. Saya menatap ke luar jendela, memikirkan betapa hidup ini penuh misteri. Setiap manusia memiliki waktunya sendiri, dan tidak ada seorang pun yang tahu kapan ajal akan menjemput.

Sesampainya di rumah duka, suasana haru begitu terasa. Beberapa kerabat almarhum duduk di teras dengan wajah penuh kesedihan. Isak tangis terdengar samar dari dalam rumah. Kami berjalan perlahan, menyalami keluarga yang ditinggalkan, memberikan ucapan belasungkawa, dan ikut mendoakan kepergian almarhum.

Saya duduk di antara pelayat lain, mencoba merenungkan peristiwa ini. Setiap kali menghadiri takziah, ada perasaan yang selalu hadir dalam hatebuah kesadaran bahwa hidup ini hanyalah perjalanan singkat. Kita semua adalah musafir yang sedang menempuh perjalanan menuju kehidupan yang lebih abadi.

Salah satu saudara mengingatkan kami semua tentang hakikat kematian. “Saudara-saudaraku, kita semua akan mengalami kematian. Tidak ada yang bisa menghindarinya, tidak ada yang bisa menundanya. Semua sudah ditentukan oleh Allah, tanpa bisa dimajukan atau diundur.”

Kata-katanya begitu menohok. Saya teringat beberapa kejadian yang pernah saya saksikan sendiri. Ada orang yang meninggal setelah bertahun-tahun melawan penyakit, ada yang meninggal tiba-tiba dalam kecelakaan, dan ada pula yang pergi dalam kondisi sehat tanpa tanda-tanda sebelumnya. Semua itu mengingatkan saya bahwa kematian tidak memilih usia atau keadaan.

Saya teringat seorang sahabat lama yang beberapa waktu lalu berpulang. Dia adalah sosok yang selalu ceria, penuh semangat, dan tidak pernah mengeluh. Saat terakhir kali bertemu, tidak ada yang aneh darinya. Namun, beberapa hari kemudian, kabar duka itu datang begitu mengejutkan. Ia meninggal mendadak dalam tidurnya. Tidak sakit, tidak ada tanda-tanda.

Peristiwa itu benar-benar menyadarkan saya bahwa hidup ini begitu rapuh. Kita bisa merencanakan banyak hal untuk masa depan, tetapi tidak ada jaminan kita akan sampai ke sana. Yang bisa kita lakukan hanyalah memanfaatkan waktu yang tersisa dengan sebaik mungkin.

Di rumah duka, suasana semakin syahdu ketika lantunan ayat-ayat suci Al-Qur’an terdengar. Doa-doa dipanjatkan untuk almarhum, agar mendapat tempat terbaik di sisi-Nya. Saya menutup mata, membiarkan hati ini larut dalam doa, sembari mengingat diri sendiri. Sudah sejauh mana saya mempersiapkan diri untuk menghadapi kematian?

Kematian bukan akhir, melainkan gerbang menuju kehidupan yang sebenarnya. Rumah masa depan kita bukanlah rumah yang kita tinggali saat ini, melainkan tempat yang kekal di akhirat. Seberapa banyak bekal yang sudah saya kumpulkan untuk perjalanan menuju ke sana?

Saya menarik napas panjang. Dalam kehidupan yang penuh kesibukan ini, sering kali kita lupa bahwa waktu terus berjalan, usia semakin berkurang, dan kesempatan untuk berbuat baik semakin sempit. Takziah seperti ini menjadi pengingat bahwa hidup harus dijalani dengan penuh makna.

Ketika acara selesai, saya berpamitan kepada keluarga almarhum. Langkah kaki saya terasa lebih berat, bukan karena lelah, tetapi karena hati yang dipenuhi renungan. Saya sadar, setiap hari yang berlalu membawa kita semakin dekat dengan kematian.

Dalam perjalanan pulang, saya berjanji pada diri sendiri untuk lebih menghargai waktu yang tersisa. Saya ingin lebih banyak berbuat kebaikan, lebih banyak berbagi dengan sesama, dan lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu Wata'ala. Karena pada akhirnya, hanya amal yang akan menemani kita ke alam keabadian.

Takziah hari ini bukan sekadar hadir untuk mendoakan orang yang telah pergi, tetapi juga menjadi pelajaran berharga bagi saya. Kematian memang rahasia Allah Subhanahu Wata'alla, tapi bagaimana kita mengisi hidup adalah pilihan kita sendiri.
Cepu, 11 Maret 2025

1 komentar:

  1. Maut tak pernah berkabar ketika akan datang, itu sebabnya kita jarus selalu berusaha berbuat baik..

    BalasHapus