Kamis yang cerah di Kabupaten
Blora, sekelompok penulis, siswa, guru, dan pegiat literasi berkumpul di Dinas
Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) untuk menghadiri bimbingan teknis (bimtek)
menulis konten budaya lokal. Acara ini diadakan sebagai bagian dari upaya
melestarikan kearifan lokal melalui tulisan, agar generasi mendatang tetap
mengenal dan menghargai warisan budaya mereka.
Di antara para narasumber yang
hadir, ada satu sosok yang mencuri perhatian yaitu Bapak Sugie Rusyono. Dengan
gaya yang tenang namun penuh wibawa, beliau membawakan materi yang begitu kaya
akan wawasan dan pengalaman. Tidak mengherankan, karena beliau merupakan
seorang jurnalis yang telah lama berkecimpung dalam dunia pemberitaan dan literasi.
Selain itu, beliau juga merupakan anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Blora. Pemahamannya tentang dunia pendidikan dan
kebudayaan sangatlah mendalam.
Sejak awal sesi, beliau
menegaskan bahwa menulis tentang budaya lokal bukan sekadar menuliskan apa yang
diketahui secara sepintas, melainkan harus berdasarkan data yang valid.
“Tulisan budaya harus memiliki deskripsi yang jelas, narasi yang mengalir, serta
tulisan yang berbicara,” ujarnya dengan penuh semangat.
Menurut Sugie Rusyono, deskripsi
adalah elemen utama dalam menulis tentang budaya lokal. Deskripsi yang baik
akan membuat pembaca seolah-olah bisa melihat, merasakan, dan bahkan mengalami
langsung budaya yang ditulis. Melibatkan enam panca Indera. Misalnya, saat
menulis tentang tradisi Barongan di Blora, seorang penulis tidak cukup hanya
menyebutkan bahwa itu adalah seni tari.
“Tuliskan bagaimana warna-warni
topeng barongan yang mencolok, suara musik pengiring yang menghentak, serta
gerakan penari yang penuh tenaga. Gambarkan ekspresi wajah mereka, detail
pakaian yang mereka kenakan, dan bagaimana suasana penonton yang terhanyut
dalam pertunjukan,” jelas beliau.
Sebagai seorang jurnalis, Sugie
Rusyono terbiasa menyajikan informasi dengan cara yang menarik dan menggugah.
Itulah yang ingin beliau bagikan kepada para peserta bimtek yaitu agar budaya
lokal tidak hanya menjadi sekadar informasi, tetapi menjadi pengalaman yang
bisa dirasakan oleh siapa pun yang membacanya.
Selain deskripsi, narasi juga
memiliki peran yang sangat penting. Sugie Rusyono menjelaskan bahwa tulisan
tentang budaya lokal akan lebih menarik jika disusun dalam bentuk cerita yang
mengalir. Ia mencontohkan bagaimana menulis tentang tradisi Sedekah Bumi di
desa-desa Blora.
“Jangan hanya menulis bahwa
Sedekah Bumi adalah ritual tahunan untuk bersyukur atas hasil panen. Sebaiknya,
ceritakan bagaimana suasana desa sebelum acara berlangsung. Bagaimana ibu-ibu
menyiapkan tumpeng dengan lauk khas, bagaimana para pemuda sibuk menata
panggung hiburan, hingga bagaimana para tetua desa mengatur jalannya prosesi,”
ungkapnya.
Narasi yang kuat akan membuat
budaya yang ditulis terasa lebih hidup dan mengundang emosi pembaca. Ini adalah
teknik yang juga banyak digunakan dalam dunia jurnalistik—membawa pembaca masuk
ke dalam cerita seolah-olah mereka ada di sana.
Sebagai seorang yang juga
berperan dalam Dewan Pendidikan Kabupaten Blora, Sugie Rusyono memahami bahwa
tulisan budaya lokal tidak boleh hanya menjadi dokumentasi semata. Tulisan itu
harus memiliki "suara" yaitu mampu berbicara kepada pembaca,
menyampaikan pesan yang ingin disampaikan oleh budaya itu sendiri.
“Budaya bukan hanya tentang masa
lalu, tetapi juga tentang bagaimana kita memaknainya di masa sekarang dan masa
depan,” katanya.
Sebagai contoh, jika seseorang
menulis tentang kesenian Tayub di Blora, tulisan itu harus bisa menjawab
pertanyaan: Apa makna tradisi ini bagi masyarakat sekitar? Bagaimana
pengaruhnya terhadap kehidupan sosial dan ekonomi mereka? Dengan cara ini,
tulisan tidak hanya sekadar menggambarkan budaya, tetapi juga memberikan
refleksi bagi pembaca.
Jika menuliskan tentang keliner
ungker, hendaknya tulisan harus memuat tentang bagaimana ungker saat
mencarinya? Bagaimana cara mengolahnya? Mengapa rasanya enak? Bagaimana proses
memasaknya agar tidak gatal? Kapan bisa diperoleh dan dinikmati?. Tulisan bisa
dituliskan secara detail dan hidup.
Menulis tentang budaya lokal
bukan berarti hanya mengandalkan ingatan atau cerita turun-temurun. Sugie
Rusyono menegaskan pentingnya menggunakan data yang akurat dan terpercaya. Ia
menyarankan beberapa sumber utama yang bisa digunakan, seperti riset, buku,
internet, serta wawancara langsung dengan pelaku budaya atau tokoh masyarakat.
“Sebagai jurnalis, saya selalu
memastikan bahwa informasi yang saya tulis memiliki sumber yang jelas. Jangan
ragu untuk datang langsung ke lokasi, berbicara dengan orang-orang yang
terlibat, dan mencatat detail yang mungkin tidak bisa ditemukan di sumber
lain,” katanya.
Misalnya, saat menulis tentang pasar
Blora, seorang penulis sebaiknya tidak hanya mengandalkan artikel di internet.
Ia harus mengunjungi pasar, berbicara dengan pedagang, dan mengamati bagaimana transaksi
jual beli dan perkembangan pasar dari masa ke masa. Dengan begitu, tulisannya
akan lebih otentik dan memiliki nilai lebih dibandingkan sekadar rangkuman dari
sumber lain.
Bapak Sugie Rusyono berpesan
kepada para peserta bahwa menulis tentang budaya lokal adalah sebuah tanggung
jawab. “Jika bukan kita yang menuliskannya, siapa lagi? Jika kita membiarkan
budaya kita hilang begitu saja tanpa ada yang mendokumentasikan, bagaimana generasi
mendatang akan mengenalnya?”
Sebagai jurnalis, beliau telah
menyaksikan banyak perubahan dalam budaya lokal, baik yang bertahan maupun yang
mulai memudar. Itulah mengapa ia sangat menekankan pentingnya menulis dengan
penuh dedikasi dan tanggung jawab.
Pesan itu menginspirasi banyak
peserta, termasuk saya. Menulis tentang budaya lokal bukan hanya soal mengisi
halaman dengan kata-kata, tetapi tentang mengabadikan identitas, sejarah, dan
kearifan yang telah diwariskan turun-temurun.
Dengan bimbingan dan wawasan yang
diberikan oleh Sugie Rusyono, para peserta bimtek semakin memahami bahwa
menulis tentang budaya lokal adalah sebuah seni tersendiri. Butuh ketelitian,
riset, serta kemampuan menulis yang baik agar budaya yang kita miliki tetap
lestari, tidak hanya di hati masyarakat, tetapi juga dalam lembaran sejarah
yang tertulis.
Cepu, 22 Maret 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar