Jumat, 21 Maret 2025

Bimtek Bersama Sang Jurnalis


 

Karya: Gutamining Saida

Kamis yang cerah di Kabupaten Blora, sekelompok penulis, siswa, guru, dan pegiat literasi berkumpul di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) untuk menghadiri bimbingan teknis (bimtek) menulis konten budaya lokal. Acara ini diadakan sebagai bagian dari upaya melestarikan kearifan lokal melalui tulisan, agar generasi mendatang tetap mengenal dan menghargai warisan budaya mereka.

Di antara para narasumber yang hadir, ada satu sosok yang mencuri perhatian yaitu Bapak Sugie Rusyono. Dengan gaya yang tenang namun penuh wibawa, beliau membawakan materi yang begitu kaya akan wawasan dan pengalaman. Tidak mengherankan, karena beliau merupakan seorang jurnalis yang telah lama berkecimpung dalam dunia pemberitaan dan literasi. Selain itu, beliau juga merupakan anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Blora.  Pemahamannya tentang dunia pendidikan dan kebudayaan sangatlah mendalam.

Sejak awal sesi, beliau menegaskan bahwa menulis tentang budaya lokal bukan sekadar menuliskan apa yang diketahui secara sepintas, melainkan harus berdasarkan data yang valid. “Tulisan budaya harus memiliki deskripsi yang jelas, narasi yang mengalir, serta tulisan yang berbicara,” ujarnya dengan penuh semangat.

Menurut Sugie Rusyono, deskripsi adalah elemen utama dalam menulis tentang budaya lokal. Deskripsi yang baik akan membuat pembaca seolah-olah bisa melihat, merasakan, dan bahkan mengalami langsung budaya yang ditulis. Melibatkan enam panca Indera. Misalnya, saat menulis tentang tradisi Barongan di Blora, seorang penulis tidak cukup hanya menyebutkan bahwa itu adalah seni tari.

“Tuliskan bagaimana warna-warni topeng barongan yang mencolok, suara musik pengiring yang menghentak, serta gerakan penari yang penuh tenaga. Gambarkan ekspresi wajah mereka, detail pakaian yang mereka kenakan, dan bagaimana suasana penonton yang terhanyut dalam pertunjukan,” jelas beliau.

Sebagai seorang jurnalis, Sugie Rusyono terbiasa menyajikan informasi dengan cara yang menarik dan menggugah. Itulah yang ingin beliau bagikan kepada para peserta bimtek yaitu agar budaya lokal tidak hanya menjadi sekadar informasi, tetapi menjadi pengalaman yang bisa dirasakan oleh siapa pun yang membacanya.

Selain deskripsi, narasi juga memiliki peran yang sangat penting. Sugie Rusyono menjelaskan bahwa tulisan tentang budaya lokal akan lebih menarik jika disusun dalam bentuk cerita yang mengalir. Ia mencontohkan bagaimana menulis tentang tradisi Sedekah Bumi di desa-desa Blora.

“Jangan hanya menulis bahwa Sedekah Bumi adalah ritual tahunan untuk bersyukur atas hasil panen. Sebaiknya, ceritakan bagaimana suasana desa sebelum acara berlangsung. Bagaimana ibu-ibu menyiapkan tumpeng dengan lauk khas, bagaimana para pemuda sibuk menata panggung hiburan, hingga bagaimana para tetua desa mengatur jalannya prosesi,” ungkapnya.

Narasi yang kuat akan membuat budaya yang ditulis terasa lebih hidup dan mengundang emosi pembaca. Ini adalah teknik yang juga banyak digunakan dalam dunia jurnalistik—membawa pembaca masuk ke dalam cerita seolah-olah mereka ada di sana.

Sebagai seorang yang juga berperan dalam Dewan Pendidikan Kabupaten Blora, Sugie Rusyono memahami bahwa tulisan budaya lokal tidak boleh hanya menjadi dokumentasi semata. Tulisan itu harus memiliki "suara" yaitu mampu berbicara kepada pembaca, menyampaikan pesan yang ingin disampaikan oleh budaya itu sendiri.

“Budaya bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana kita memaknainya di masa sekarang dan masa depan,” katanya.

Sebagai contoh, jika seseorang menulis tentang kesenian Tayub di Blora, tulisan itu harus bisa menjawab pertanyaan: Apa makna tradisi ini bagi masyarakat sekitar? Bagaimana pengaruhnya terhadap kehidupan sosial dan ekonomi mereka? Dengan cara ini, tulisan tidak hanya sekadar menggambarkan budaya, tetapi juga memberikan refleksi bagi pembaca.

Jika menuliskan tentang keliner ungker, hendaknya tulisan harus memuat tentang bagaimana ungker saat mencarinya? Bagaimana cara mengolahnya? Mengapa rasanya enak? Bagaimana proses memasaknya agar tidak gatal? Kapan bisa diperoleh dan dinikmati?. Tulisan bisa dituliskan secara detail dan hidup.

Menulis tentang budaya lokal bukan berarti hanya mengandalkan ingatan atau cerita turun-temurun. Sugie Rusyono menegaskan pentingnya menggunakan data yang akurat dan terpercaya. Ia menyarankan beberapa sumber utama yang bisa digunakan, seperti riset, buku, internet, serta wawancara langsung dengan pelaku budaya atau tokoh masyarakat.

“Sebagai jurnalis, saya selalu memastikan bahwa informasi yang saya tulis memiliki sumber yang jelas. Jangan ragu untuk datang langsung ke lokasi, berbicara dengan orang-orang yang terlibat, dan mencatat detail yang mungkin tidak bisa ditemukan di sumber lain,” katanya.

Misalnya, saat menulis tentang pasar Blora, seorang penulis sebaiknya tidak hanya mengandalkan artikel di internet. Ia harus mengunjungi pasar, berbicara dengan pedagang, dan mengamati bagaimana transaksi jual beli dan perkembangan pasar dari masa ke masa. Dengan begitu, tulisannya akan lebih otentik dan memiliki nilai lebih dibandingkan sekadar rangkuman dari sumber lain.

Bapak Sugie Rusyono berpesan kepada para peserta bahwa menulis tentang budaya lokal adalah sebuah tanggung jawab. “Jika bukan kita yang menuliskannya, siapa lagi? Jika kita membiarkan budaya kita hilang begitu saja tanpa ada yang mendokumentasikan, bagaimana generasi mendatang akan mengenalnya?”

Sebagai jurnalis, beliau telah menyaksikan banyak perubahan dalam budaya lokal, baik yang bertahan maupun yang mulai memudar. Itulah mengapa ia sangat menekankan pentingnya menulis dengan penuh dedikasi dan tanggung jawab.

Pesan itu menginspirasi banyak peserta, termasuk saya. Menulis tentang budaya lokal bukan hanya soal mengisi halaman dengan kata-kata, tetapi tentang mengabadikan identitas, sejarah, dan kearifan yang telah diwariskan turun-temurun.

Dengan bimbingan dan wawasan yang diberikan oleh Sugie Rusyono, para peserta bimtek semakin memahami bahwa menulis tentang budaya lokal adalah sebuah seni tersendiri. Butuh ketelitian, riset, serta kemampuan menulis yang baik agar budaya yang kita miliki tetap lestari, tidak hanya di hati masyarakat, tetapi juga dalam lembaran sejarah yang tertulis.

Cepu, 22 Maret 2025

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar