Jumat, 21 Maret 2025

Dua Hati Satu Rasa

Karya: Gutamining Saida

Ada yang unik dari persaudaraan kami ini. Sesuatu yang tak direncanakan sering kali terjadi begitu saja. Seperti kebetulan yang terlalu sering muncul hingga tak lagi terasa sebagai kebetulan. Kami berdua yaitu saya dan mbak Rini (sapaan yang saya berikan untuknya). Walau dia teman guru namun dulu beliau murid saya. Sewaktu dia sekolah di SMA. Jadi saya lebih enak menyapa dengan mbak. Dia memiliki tanggal dan bulan lahir yang sama, hanya berbeda tahun. Bukan hanya itu, kami juga sering mengenakan pakaian dengan warna atau motif yang sama, tanpa pernah berjanji sebelumnya.

Hari Kamis, kami bertemu dalam sebuah acara bimtek. Biasanya tanpa sadar, ada saja hal yang kami kenakan secara serupa, entah itu jilbab, baju, atau bahkan aksesori kecil seperti bros. Namun kali ini, ada perbedaan yang mencolok. Jilbab yang saya kenakan berwarna biru polos, sedangkan dia memakai jilbab oren polos. Sekilas, tak ada kesamaan di antara kami hari ini.

Saya sempat berpikir, mungkin kali ini tidak ada hal yang "serasi" di antara kami. Tapi entah mengapa, naluri saya mengatakan pasti ada sesuatu yang tetap menyatukan kami. Saya pun mencoba mengingat barang-barang yang saya bawa hari itu. Saat dari tempat parker menuju Gedung saya berbincang dengannya. Ingatan saya tertuju pada rukuh yang saya bawa di dalam tas, saya tersenyum kecil.

"Eh, tahu nggak, hari ini saya bawa rukuh pemberian njenengan," kata saya, mencoba mencari kesamaan kecil di antara kami.

Mbak Rini menoleh dan tersenyum. Lalu, dengan nada yang tak kalah ceria, dia menjawab, "Hahaha, Saya juga bawa rukuh warna hijau dari ibu."

Kami saling menatap sejenak, lalu tertawa. Lagi-lagi ada kesamaan, meskipun kali ini bukan dalam bentuk pakaian yang kami kenakan, tetapi sesuatu yang lebih dalam yaitu benda yang kami bawa, yang punya makna bagi kami masing-masing.

Kami pernah satu tempat instansi yang sama  sebagai guru di SMPN 1 Kedungtuban. Awalnya, saya sebagai gurunya sewaktu sekolah. Saat sama-sama jadi guru baru sadar bahwa kami lahir di tanggal dan bulan yang sama. Itu menjadi titik awal keakraban kami.

Seiring waktu, persaudaraan kami semakin erat. Yang menarik, kami sering kali mengenakan pakaian yang senada tanpa pernah merencanakannya. Saat ada acara sekolah, tiba-tiba saja kami sama-sama memakai jilbab warna senada. Sering juga ketika memiliki ide, pemikiran terhadap suatu permasalahan. Kejadian-kejadian ini sering kali membuat kami tertawa dan merasa seperti ibu dan anak yang terpisah tahun lahirnya.

Ada satu momen yang masih membekas dalam ingatan saya. Suatu ketika, kami di hari Jum’at sehatdi sekolah dengan seragam olah raga bebas. Kami datang dari rumah masing-masing, tanpa berdiskusi soal pakaian yang akan dikenakan. Tapi begitu bertemu di lokasi, kami sama-sama terkejut.

"Ya Allah, kok kaos olah raga kita sama?" komentarku spontan.

Dia pun menatap seragam olah raga dan tertawa. "Iya, ya! Ini benar-benar nggak direncanakan!"

Kami berdua sama-sama mengenakan kaos berwarna merah. Jilbab yang kami kenakan pun memiliki warna yang hampir serupa, hanya beda sedikit dalam warna agak terang dan gelap. Sejak saat itu, kami tak lagi merasa heran jika tanpa sengaja memakai sesuatu yang serasi. Entah itu warna, motif, atau bahkan ide. Kami pun mulai menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar, bagian dari ikatan batin yang kuat.

Namun, bukan hanya dalam hal pakaian dan benda-benda kecil, kesamaan kami juga terasa dalam cara berpikir dan melihat kehidupan. Kami sama-sama lebih suka ketenangan dibanding keramaian. Jika menghadiri acara yang penuh sesak, biasanya kami akan mencari sudut yang tenang untuk berbincang berdua.

Kami juga sering merasakan hal yang sama dalam satu situasi. Pernah suatu kali, dalam sebuah pertemuan, kami mendengar seseorang berbicara dengan cara yang menurut kami berlebihan. Tanpa perlu berkata-kata, kami saling menoleh dan tersenyum kecil, seakan mengerti isi pikiran masing-masing. Setelah acara selesai, kami pun tertawa bersama karena tahu bahwa kami berpikir hal yang sama saat itu.

Selain itu dalam berbagai fase kehidupan, kami selalu mendukung satu sama lain. Ketika saya mengalami kesulitan, dia selalu hadir dengan nasihat yang menenangkan. Begitu pula sebaliknya, ketika dia menghadapi masalah, saya selalu berusaha menjadi tempatnya bersandar.

Meskipun kami memakai jilbab dengan warna yang berbeda, tetap ada sesuatu yang menyatukan kami yaitu rukuh yang kami bawa. Hal kecil ini kembali mengingatkan saya bahwa ikatan batin kami bukan sekadar tentang kebetulan dalam berpakaian, tetapi lebih dari itu.

Kesamaan-kesamaan ini mungkin bukan hal besar bagi orang lain. Bagi kami, ini adalah simbol dari ikatan yang sudah terjalin lama. Bahwa tanpa perlu berjanji, tanpa perlu menyusun rencana ada sesuatu yang selalu membuat kami berada di gelombang yang sama.

Persaudaraan kami bukan hanya tentang pakaian yang sering serasi, tetapi tentang hati yang selalu seirama. Ada pemahaman tanpa perlu banyak kata, ada kebersamaan tanpa perlu banyak alasan. Saya menyadari satu hal yaitu persaudaraan sejati adalah dia yang, tanpa perlu berkata atau berjanji, selalu ada dalam ritme yang sama dengan kita. Saudara sak lawase ya mbak. Aamiin

Cepu, 22 Maret 2025

 

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar