Minggu, 16 Maret 2025

Air Mata Bahagia

Karya: Gutamining Saida

Dini hari masih sunyi. Di luar, suara angin berbisik pelan di sela-sela pepohonan. Lampu di ruang tamu menyala redup, menemani saya yang terjaga lebih awal. Seperti biasa, sebelum menyiapkan sahur, ada satu hal yang tak pernah saya lewatkan yaitu membangunkan anak-anak saya yang tinggal di Tegal dan Salatiga.
Sejak ia tinggal terpisah, setiap Ramadan saya selalu memastikan ia bangun tepat waktu. Bukan hanya karena khawatir ia kesiangan dan melewatkan sahur, tapi juga karena ada rindu yang selalu mengendap di hati. Betapa saya ingin bisa duduk bersama, menyendok nasi dan lauk sederhana, lalu berbincang ringan seperti dulu saat ia masih tinggal serumah.
Saya meraih ponsel dan mengirim pesan di grup keluarga.
"Assalamialaikum, sudah bangun? Sahur dulu biar kuat puasanya."
Pesan terkirim, tapi belum ada tanda dibaca. Saya menunggu beberapa menit, tetapi masih belum ada balasan. Perasaan cemas mulai muncul. Bagaimana kalau ia masih terlelap? Bagaimana kalau ia kecapekan setelah seharian beraktivitas?
Saya akhirnya menekan tombol panggilan. Setelah beberapa kali nada sambung, suara mengantuk terdengar di seberang.
“Assalamu'alaikum, Umi…”
“Nak, sudah sahur belum?”
“Belum, Umi… Baru bangun.”
Saya tersenyum lega.
“Ayo cepat makan sebelum imsak, jangan malas. Nanti lemas seharian.”
“Iya, Umi,” jawabnya dengan suara serak khas orang baru bangun.
Setelah panggilan berakhir, saya melanjutkan sahur sendiri di meja makan. Hati saya tenang karena tahu anak saya sudah bangun dan akan makan. Namun, tetap saja ada rasa rindu yang mengendap. Andaikan ia di sini, pasti lebih menyenangkan.
Saat tengah menikmati sahur, ponsel saya kembali bergetar. Saya mengira itu pesan dari anak saya yang memberi tahu bahwa ia sudah selesai makan. Namun, saat membuka layar, saya terkejut membaca pesannya.
"Umi, tolong carikan paspor saya."
Saya mengernyit. Paspor? Ada apa dengan paspornya? Saya pun membalas pesan itu.
"Memangnya rencana akan ke mana, Nak?"
Pikiran saya dipenuhi berbagai pertanyaan. Apakah ia akan pergi liburan? Atau ada urusan pekerjaan ke luar negeri? Apa ia akan pergi jauh?
Saya menunggu dengan jantung berdebar. Tak lama kemudian, pesannya masuk.
"Aku ingin ke Jepang, Mi."
Saat membaca kalimat itu, air mata saya langsung menetes. Hati saya mendadak penuh dengan rasa haru dan kebanggaan. Anak saya ingin pergi ke Jepang!
Tiba-tiba, kenangan masa lalu menyeruak. Saya ingat bagaimana saat masih merantau di Bali, ia selalu antusias setiap kali melihat anime atau mendengar cerita tentang budaya Jepang. Ia sering bercerita tentang keinginannya melihat bunga sakura bermekaran, mencoba makanan khas Jepang, dan mengunjungi studio film doremon. 
Dan kini, ia benar-benar ingin mewujudkan impiannya.
Saya segera membalas pesannya.
"MasyaAllah, Nak. Umi sangat bangga dan bahagia. Kapan rencananya?"
Pesan darinya kembali masuk.
"InsyaAllah bulan depan, Mi. Aku dapat kesempatan ke sana!"
Saya terisak. Rasanya baru kemarin saya mengajarinya menulis dan membaca, kini ia akan pergi ke negeri yang selama ini hanya ia impikan.
Saya segera mencari paspornya di laci tempat saya menyimpan dokumen penting. Begitu menemukannya, saya kembali mengirim pesan.
"Alhamdulillah, paspormu sudah ketemu. Umi doakan semuanya dimudahkan."
Di seberang sana, saya bisa membayangkan wajahnya yang penuh harap dan bahagia.
Malam itu, air mata saya mengalir bukan karena sedih, tetapi karena kebahagiaan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ramadan kali ini terasa lebih istimewa. Bukan hanya karena sahur bersama dalam jarak yang jauh, tetapi juga karena mengetahui bahwa anak saya akan pergi ke Jepang untuk meraih mimpinya.
Dan di dalam doa-doa saya setelah sahur, ada satu harapan yang saya panjatkan dengan penuh keikhlasan:
"Ya Allah, jaga anakku di perjalanan, lindungi langkahnya, dan izinkan aku suatu hari menyusulnya melihat dunia yang lebih luas."
Cepu, 17 Maret 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar