Jam pelajaran terakhir selalu
menjadi tantangan tersendiri bagi seorang guru. Termasuk aku yang mengajar IPS di kelas 7C.
Saat matahari mulai condong ke barat dan perut mulai berbunyi pelan, konsentrasi
siswa pun ikut menurun. Aku tahu ini jam rawan, jam di mana siswa mudah
mengantuk atau justru terlalu bersemangat sendiri dengan obrolan di luar
pelajaran.
Siang ini, aku harus mencari cara
agar mereka tetap fokus. Materi yang kubahas cukup menarik, tentang perkembangan
agama hindu di Indonesia. Aku sadar jika hanya menjelaskan secara teori, mereka
akan bosan. Maka, aku mencoba membuat suasana lebih hidup dengan permainan
sederhana.
“Baik, sekarang kita bermain
menyebutkan nama negara!” seruku.
Seketika, perhatian mereka mulai
tertuju padaku.
“Caranya, kita mulai dari ujung
kiri terus ke samping kanan. Setiap siswa menyebutkan satu nama negara. Huruf
terakhir dari negara itu akan menjadi huruf awal untuk siswa berikutnya dalam
menyebut negara lain. Paham?”
“Pahaammm!” seru mereka hampir
bersamaan.
Aku tersenyum. Ini pertanda baik.
Setidaknya, mereka mau terlibat.
Permainan pun dimulai. Siswa
pertama menyebutkan "Indonesia." Huruf terakhirnya adalah
"A," maka siswa berikutnya harus menyebut negara yang berawalan
"A."
“Argentina!” katanya.
Begitu seterusnya, permainan
berjalan lancar. Mereka tampak bersemangat. Ada yang berpikir keras, ada yang
spontan menjawab, dan ada pula yang terlihat khawatir jika gilirannya tiba.
Sampai akhirnya, giliran seorang
siswi yang duduk di barisan depan. Dengan percaya diri, ia mendapatkan huruf
terakhir "R" dari jawaban sebelumnya. Semua mata tertuju padanya,
menunggu jawabannya.
Ia berpikir sejenak, lalu dengan
suara lantang berkata, "Rusa!"
Kelas mendadak hening satu detik.
Lalu...
“Hahaha!” Gelak tawa langsung
pecah. Siswa-siswa lain tertawa terpingkal-pingkal. Beberapa ada yang memukul
meja sambil tertawa, ada yang sampai menutup wajah karena tak tahan menahan
tawa.
Sementara itu, siswa yang
menjawab “Rusa” hanya menoleh ke kanan dan kiri dengan ekspresi polos. Ia
tampak tak merasa bersalah sama sekali.
Aku sendiri ikut tertawa, tapi
sebagai guru, aku harus tetap menjaga suasana agar tidak terlalu gaduh. Aku
menepuk telapak tanganku beberapa kali untuk menenangkan mereka.
“Oke, oke, cukup! Sekarang, coba
pikir ulang, apakah ‘Rusa’ itu sebuah negara?” tanyaku sambil menahan senyum.
Anak itu mengerutkan kening, lalu
tampak berpikir. “Bukan ya, Bu?” katanya ragu-ragu.
“Bukan.” Aku mengangguk. “Rusa
itu hewan, bukan negara. Yang benar, kalau huruf terakhirnya ‘R,’ kamu bisa
menyebut ‘Rusia’ misalnya.”
“Oooohhh…” Ia akhirnya mengerti,
lalu ikut tertawa kecil, menyadari kesalahannya.
Kelas kembali ramai dengan suara
riuh rendah, masih ada yang tertawa kecil sambil mengulang-ulang kata
"Rusa." Beberapa siswa bahkan mulai bercanda dengan membuat kalimat
kocak seperti, “Kalau ada negara Rusa, pasti ibukotanya Hutan Raya!”
Aku menggeleng sambil tersenyum.
Momen seperti ini memang sering terjadi dalam kelas. Bagiku, ini adalah bagian
dari proses belajar yang menyenangkan.
Setelah suasana mereda, aku
melanjutkan permainan, kali ini memastikan bahwa mereka lebih berhati-hati
dalam menjawab. Meski demikian, kejadian tadi masih menjadi bahan candaan
sepanjang sisa pelajaran.
Ketika bel akhirnya berbunyi
tanda pelajaran usai, beberapa siswa masih tersenyum-senyum. Salah satu dari
mereka bahkan berkata sambil tertawa, “Bu, kalau nanti ada negara baru bernama
Rusa, saya yang pertama tahu ya!”
Aku pun hanya bisa tersenyum dan
mengangguk. Aku merasa puas. Meskipun ada sedikit insiden lucu, mereka tetap
belajar dengan semangat. Bagiku, yang terpenting adalah bagaimana menciptakan
suasana kelas yang nyaman dan menyenangkan. Ketika siswa merasa senang, mereka akan lebih
mudah memahami materi yang diajarkan. Dan tentu saja, kejadian ini akan menjadi
salah satu kenangan mengajar yang tak terlupakan bagiku. Semoga terhibur.
Cepu, 5 Februari 2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar