Sang mentari baru saja menembus
celah-celah dedaunan di halaman sekolah. Udara segar dan suara Sepatu siswa
yang sedang berjalan menjadi penyemangat saya untuk memulai aktivitas di
sekolah. Usai mempersiapkan semuanya di ruang guru. Saya memutuskan untuk keluar sejenak, mencari
udara segar sambil menyapa siswa yang baru datang. Dengan penuh semangat, saya ucapkan
salam dan senyum tentunya. Beberapa siswa membalas dan tersenyum bahagia.
Saat langkah saya di depan pintu
ruang guru tiba-tiba dikejutkan oleh pandangan yang tidak biasa. Dua orang
siswa berjalan semakin mendekat. Namanya saya tidak kenal karena tidak pernah
mengajarnya. Yang membuat jantung saya nyaris berhenti adalah benda yang dia
bawa sebuah golok besar yang tampak warna hitam di tangannya.
Langkah saya terhenti. Napas saya
seolah tertahan di tenggorokan. "Apa-apaan ini?" pikir saya dalam
hati. Golok itu terlihat nyata, bilahnya Panjang. Saya mendadak gemetar. Pikiran buruk mulai
melintas di benak saya. Apakah ini bagian dari masalah serius? Mengapa seorang
siswa membawa golok ke sekolah? Apa yang dia rencanakan?
Dia terus melangkah mendekat.
Jarak kami semakin dekat, dan saya tidak bisa mengalihkan pandangan dari benda
tajam itu. "Bu, tenang, jangan panik," saya mencoba meyakinkan diri
sendiri sambil menggenggam erat handphone di tangan, seolah itu bisa menjadi
alat perlindungan.
Ketika dia tinggal beberapa
langkah lagi dari saya, saya memberanikan diri untuk bertanya, meskipun suara
saya terdengar sedikit gemetar. "Mbak, itu... itu apa yang kamu
bawa?" Saya melontarkan pertanyaan dengan hati-hati, mencoba tidak
menunjukkan ketakutan yang sebenarnya saya rasakan.
Alih-alih menjawab serius, dia malah
tertawa. Tawa yang renyah, seperti tidak ada beban sama sekali. "Ini,
Bu!" katanya sambil mengangkat golok itu lebih tinggi sehingga saya bisa
melihatnya lebih jelas. "Untuk ngeprank teman-teman, Bu!" Dia
menambahkan sambil tersenyum lebar.
Saya terdiam beberapa saat,
mencoba mencerna apa yang baru saja dia katakan. Ngeprank? Jadi, ini semua
hanya lelucon? Jantung saya yang tadi berdegup kencang perlahan mulai tenang.
Namun, rasa kaget saya belum sepenuhnya hilang.
"Prank? Maksudmu ngeprank
teman-temanmu dengan... golok ini?" tanya saya sambil menunjuk benda di
tangannya. Meski sudah tahu jawabannya, saya tetap merasa perlu memastikan. "Iya,
Bu! Ini golok mainan, kok. Lihat nih!" katanya sambil menggerakkan benda
itu lebih dekat ke saya. Dia bahkan mengetuk-ngetuk bilahnya untuk menunjukkan
bahwa golok itu terbuat dari kulit yang benih dalamnya sudah dibuang . Dekat
dengan saya, ternyata memang benar, golok itu hanyalah mainan yang diambil dari
jalanan yang dia lewati.
Saya menarik napas panjang,
separuh lega dan separuh masih merasa heran. "mbak, kamu tahu nggak, tadi
Ibu hampir kena serangan jantung gara-gara golok itu?" Saya mencoba
menunjukkan ekspresi serius, meskipun ada senyum kecil yang mulai tersungging
di bibir saya. Dia tertawa lagi. "Maaf ya, Bu! Tapi, teman-teman juga
bakal kaget kok, hehehe. Kan seru ngeprank mereka!" katanya dengan nada
penuh semangat. Dia mengayunkan golok itu seolah-olah sedang berakting menjadi
pendekar dalam film.
Saya hanya bisa
menggeleng-gelengkan kepala. "Mbak, ngeprank itu boleh-boleh saja, asal
nggak bikin orang lain takut atau merasa nggak nyaman. Kamu tahu nggak, tadi
Ibu sampai gemetaran melihat kamu bawa golok ini." "Eh, iya ya? Maaf,
Bu. Tapi tenang aja, teman-teman saya juga pasti bakal ketawa kok nanti,"
jawabnya sambil menggaruk kepalanya, tampak sedikit merasa bersalah. "Yah,
oke lah. Tapi lain kali, pikirkan dulu baik-baik sebelum ngeprank. Jangan
sampai orang lain salah paham," pesan saya sambil melanjutkan langkah ke
arah halaman depan ruang guru.
Dia hanya mengangguk, masih
dengan senyum di wajahnya. Setelah itu, dia berjalan menuju kumpulan
teman-temannya di pojok lapangan. Saya mengamati dari kejauhan bagaimana dia
beraksi dengan golok. Teman-temannya terlihat kaget, beberapa bahkan menjerit
kecil. Namun, begitu menyadari bahwa itu hanya lelucon, mereka semua tertawa
bersama, termasuk dia yang kelihatan puas dengan "aksi panggung"-nya.
Meski akhirnya lega mengetahui
itu hanya prank, kejadian ini membuat saya merenung. Betapa mudahnya kita
terkecoh oleh apa yang tampak di permukaan. Saya juga belajar sesuatu dari dia hari
ini. Kadang-kadang, humor bisa
mencairkan suasana tegang, asal dilakukan dengan cara yang tepat dan tidak
berlebihan. Saat tersenyum sendiri. "Bukan cuma temanmu yang kena prank."
gumam saya pelan, "ternyata Ibu juga.
Cepu, 30 November 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar