Senin, 03 November 2025

Sederet Kata Pamit

 


Karya: Gutaminining Saida

Jum’at siang itu suasana sekolah sudah mulai lengang. Beberapa guru masih di ruang guru menuntaskan administrasi, sementara yang lain bersiap pulang lebih awal setelah salat Jumat. Saya menatap layar ponsel cukup lama sebelum akhirnya menekan ikon pesan di grup mata pelajaran Pendidikan Pancasila. Sudah beberapa bulan saya menggantikan guru yang purna, dan banyak kenangan yang terselip di setiap pertemuan, tawa, bahkan perbedaan pendapat yang kadang muncul dalam rapat kecil kami.

Dengan hati-hati saya mengetik pesan yaitu 
“Anak-anak semua, Bu Saida mohon maaf bila selama mengajar  Pendidikan Pancasila  ada kata yang salah, sikap yang kurang berkenan, atau marah yang tak pada tempatnya. Terima kasih atas kerja samanya selama ini.” Saya menambahkan emoji senyum kecil, lalu menekan kirim.

Pesan itu tampak sederhana, tapi entah mengapa hati saya bergetar. Seolah ada yang terangkat dari dada. Dalam hitungan detik, balasan mulai bermunculan.
“Bu Saida mau pindah ya?” tulis salah satu siswa 7A dengan cepat.
"Yaaah... kenapa ganti bu?" tanya Richi
"Gara-gara ada guru pindah bu?" lanjut Nadwa
“Kenapa bu? jadi penasaran,” sambung yang lain disertai emotikon peluk.
Saya tersenyum membaca reaksi mereka. Ada rasa haru yang tidak bisa disembunyikan. Rupanya kalimat pamit yang saya tulis dianggap sebagai pertanda perpisahan.

Saya mengetik balasan singkat, “Hehe… bukan pindah kok, cuma mau ganti guru baru yang lebih profesional.”
Beberapa siswa langsung merespons dengan tawa.
“Ah, Bu Saida ini bikin deg-degan aja.”
“Kirain mau ninggalin kami.”
Satu pesan masuk lagi, “Kalau pun ada guru baru, rasanya sulit menggantikan kehangatan Bu Saida.”

Saya terdiam membaca kalimat itu. Sesuatu yang menetes di pipi, campuran antara rasa terima kasih dan keharuan. Saya tidak pernah menyangka bahwa kehadiran saya selama ini begitu bermakna bagi mereka. Saya hanya berusaha menjalankan tugas dengan sungguh-sungguh, mengajar dengan hati, dan menjaga siswa siswi dengan baik. Sore itu saya belajar, bahwa kehangatan dan ketulusan ternyata lebih diingat daripada kesempurnaan.

Grup itu terus ramai hingga menjelang sore. Ada yang bercanda, ada yang menanyakan kabar keluarga, bahkan ada yang sekadar menulis “semangat terus Bu Saida!” meski tanpa konteks. Suasana yang hangat itu membuat saya sadar, betapa indahnya hubungan kerja yang dilandasi rasa saling menghargai.

Di luar, langit mulai redup. Suara adzan Ashar menggema dari kejauhan. Saya menutup ponsel dan menarik napas panjang. Dalam hati saya berdoa, semoga persahabatan di antara kami dengan siswa  terus terjalin erat, meski suatu hari nanti kami tidak lagi dalam satu kelas, tetap satu sekolah.

Saya tersenyum kecil. Jum’at siang itu ternyata bukan sekadar waktu untuk pamit dalam grup, tapi juga saat untuk mensyukuri perjalanan, memetik makna kebersamaan, dan memahami bahwa keikhlasan akan selalu menemukan tempatnya di hati mereka yang tulus.

SEMOGA SUKSES BERSAMA GURU PENDIDIKAN PANCASILA BARU.

Cepu, 4 November 2025

4 komentar: