Senin, 15 September 2025

Semangat di Balik Pop Up Book IPS


Karya: Gutamining Saida

Suasana di kelas 8F di jam pembelajaran 3-4 berbeda dari biasanya. Bukan suara guru yang mendominasi, melainkan riuh rendah siswa yang sibuk dengan alat dan bahan yang mereka bawa. Tugas hari ini adalah membuat pop up book IPS, sebuah proyek kreatif yang menggabungkan pengetahuan dengan keterampilan seni. Sejak pagi, wajah mereka sudah memancarkan antusiasme. Ada yang membawa kertas manila warna-warni, ada pula yang menenteng kertas origami, lem, gunting, dan gambar-gambar pendukung yang diprint, dipotong rapi dari majalah.

Saya memulai kelas dengan sedikit pengarahan tentang apa itu pop up book dan bagaimana caranya menggabungkan materi IPS dengan desain menarik. Setelah itu, saya membiarkan mereka bereksperimen. Suasana kelas pun berubah menjadi bengkel kerja mini. Meja-meja penuh dengan potongan kertas, sisa lem yang menempel di tangan, dan tumpukan gambar yang siap ditempel.

Di tengah keseriusan mereka, terdengar suara Satria yang memecah keheningan. Dengan nada bingung ia berseru, “Dewa ku kemana ini?” Semua siswa yang mendengar langsung menoleh, lalu tertawa serempak. Rupanya Satria kehilangan gambar tokoh dewa yang tadi sudah ia gunting untuk ditempel di pop up book. Ia celingukan ke kiri, ke bawah meja dan ke kanan, mencari-cari dengan wajah panik, sementara teman-temannya menertawakan tingkahnya. Saya pun ikut tersenyum, karena suasana yang tadinya hening berubah hangat oleh candaan spontan.

Tak lama kemudian, giliran Afrei yang membuat kegaduhan kecil. Ia menepuk meja sambil tertawa, “Aduh, bendera saya terbalik! Seharusnya bendera di depan siswa, malah saya tempel di belakang.” Teman-temannya kembali tergelak, beberapa bahkan menirukan gayanya. Saya pun mendekat untuk melihat karyanya. Benar saja, posisi bendera yang ia tempel memang keliru. Afrei menatap saya dengan ekspresi bingung campur malu, lalu bertanya, “Gimana, Bu, caranya biar nggak terbalik?”

Saya pun memberikan arahan sambil mencontohkan, “Kalau posisinya dipindah ke depan begini, akan lebih pas. Coba lepaskan perlahan lalu tempel ulang.” Afrei menanggapi dengan cepat, “Oh iya, iya, Bu. Terima kasih banyak!” katanya sambil kembali semangat memperbaiki karyanya. Melihat kesungguhan itu, hati saya bahagia. Kesalahan kecil justru menjadi bahan belajar yang berarti bagi mereka.

Di sisi lain kelas, Motika yang duduk di tengah hanya senyum-senyum sejak tadi. Saya mendekat dan bertanya, “Kenapa senyum-senyum, Motika?” Dengan malu-malu ia menjawab, “Ini Bu, milik saya juga kebalik!” Ia menunjukkan kertas yang ditempel terbalik arahnya. Saya tertawa kecil lalu menenangkan, “Tidak apa-apa, Orang sukses itu pasti melalui proses panjang. Tetap semangat, ya. Jangan takut salah.” Wajahnya pun kembali berbinar, tampak lebih percaya diri untuk melanjutkan pekerjaannya.

Sementara itu, Mario yang biasanya pendiam justru tampil berbeda hari itu. Tanpa banyak bicara, ia fokus pada kertasnya. Gunting di tangan kirinya bekerja cekatan, sementara lem di tangan kanannya merapikan potongan gambar. Satu demi satu tempelan ia pasang dengan teliti. Saya yang mengamati dari kejauhan sampai takjub, karena Mario benar-benar larut dalam pekerjaannya. Karyanya terlihat rapi dan penuh ide. Dari balik diamnya, ia menunjukkan bahwa dirinya punya kemampuan besar yang kadang tak terlihat saat pembelajaran biasa.

Melihat seluruh kelas, saya merasa bangga. Meskipun ada tawa karena kesalahan, semua siswa tetap menunjukkan tanggung jawab. Mereka tidak menyerah meski sempat salah tempel atau kehilangan gambar. Justru dari situ, muncul keceriaan, canda, dan rasa saling membantu. Siswa yang lebih cepat selesai membantu temannya yang masih bingung. Ada yang meminjamkan lem, ada pula yang rela berbagi gambar cadangan.

Di sela kegiatan, saya sempat berkeliling dari bangku ke bangku. Saya melihat bagaimana mereka mengatur tata letak, memilih warna kertas, hingga memutuskan gambar mana yang pantas ditempel. Setiap anak punya gaya tersendiri. Ada yang rapi, ada yang penuh warna, ada juga yang sederhana tapi jelas maknanya. Dari sini saya belajar, kreativitas tidak bisa disamakan. Setiap anak punya ciri khas yang patut dihargai.

Ketika jam pelajaran hampir usai, karya mereka mulai terlihat jelas. Ada pop up book dengan tema agama hindu, ada pula yang menampilkan keberagaman alam. Walau ada yang masih setengah jadi, semangat mereka tidak padam. Saya melihat wajah mereka penuh kepuasan. Hasilnya mungkin belum sempurna, tetapi prosesnya sangat berarti. Mereka belajar bukan hanya tentang IPS, melainkan juga tentang kerja sama, tanggung jawab, dan pentingnya kesabaran.

Sebelum menutup pelajaran, saya memberi mereka pesan singkat, “Ingat ya, anak-anak. Orang yang hebat bukan berarti tidak pernah salah, tetapi orang hebat adalah yang terus mau belajar dari kesalahannya. Karya kalian hari ini adalah bukti bahwa dengan semangat dan tanggung jawab, kalian bisa menciptakan sesuatu yang membanggakan.”

Kelas pun ditutup dengan tepuk tangan riuh dari siswa. Mereka mengangkat pop up book masing-masing dengan bangga, menunjukkan hasil kerja keras mereka hari itu. Saya hanya bisa tersenyum haru, dalam hati berdoa semoga semangat ini tetap terjaga, bukan hanya dalam pelajaran IPS, tetapi juga dalam kehidupan mereka ke depan.

Selasa pagi di balik tawa dan kesalahan, selalu ada ruang untuk tumbuh, belajar, dan berproses. Kelas 8F hari itu bukan sekadar kelas biasa. Ia adalah panggung kecil tempat siswa belajar tentang arti tanggung jawab, kerja keras, dan kebersamaan dalam mencipta karya.

Cepu, 16 September 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar