Karya : Gutamining Saida
Jam pembelajaran ke-5 samapi ke-6 selalu terasa berbeda bagi saya, terutama ketika berhadapan dengan kelas 8H. Suasana yang biasanya mulai lelah setelah beberapa jam belajar, hari itu justru berubah menjadi penuh antusiasme. Agenda pembelajaran kali ini adalah praktik membuat pop up book IPS, sebuah kegiatan yang menggabungkan kreativitas dengan pemahaman materi. Sejak awal, saya sudah merasakan energi semangat yang luar biasa dari mereka.
Begitu memasuki kelas, saya melihat meja-meja sudah dipenuhi alat dan bahan. Ada kertas manila warna-warni, lem, gunting, kertas origami, penggaris, hingga potongan gambar yang dipersiapkan dari rumah. Anak-anak tampak tidak sabar untuk memulai. Saya pun memberikan sedikit arahan, bagaimana langkah-langkah membuat pop up book, lalu mempersilakan mereka bekerja sesuai imajinasi dan tema yang dipilih.
Tak butuh waktu lama, suasana kelas seakan berubah menjadi bengkel seni. Ada yang serius mengukur lipatan kertas, ada yang sibuk menggunting gambar, ada pula yang berdiskusi dengan teman sebangku. Lantai kelas penuh dengan sisa potongan kertas, tangan mereka belepotan lem, tetapi wajah-wajah itu memancarkan kebahagiaan. Saya berjalan mengitari kelas, memperhatikan satu per satu, kadang memberi masukan kecil, kadang hanya tersenyum melihat kreativitas mereka.
Tiba-tiba, suara Vano memecah konsentrasi seluruh kelas. Dengan nada heboh ia berteriak, “Bu… Bu… sini, tombol ini tolong pencet!” Saya pun mendekat dengan penasaran. Ternyata, pada karya pop up book yang sedang ia buat, Vano menempelkan sebuah kertas berbentuk seperti tombol. Ia ingin saya ikut serta merasakan efek kejutan yang ia siapkan.
Saya menunduk, lalu menaruh jari telunjuk di atas “tombol” itu. Dengan gaya bercanda, saya ucapkan, “Theng… thong…” sambil pura-pura menekan tombol tersebut. Anak-anak di sekitar Vano langsung tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi saya. Tapi momen itu justru menjadi semakin menarik ketika Vano ikut menambahkan, “Assalamu’alaikum…” sambil membuka bagian pop up yang ia rancang.
Ternyata di balik lipatan kertas itu muncul tampilan pop up dengan beberapa gambar dan keterangan tema yang ia pilih. Sungguh kreatif! Vano bukan hanya sekadar membuat pop up book, tetapi juga menyisipkan unsur interaktif seolah bukunya memiliki tombol ajaib yang bisa “dibuka” dengan salam. Saya pun ikut kagum dan tak segan memberikan apresiasi. “MasyaAllah, bagus sekali, Vano! Ide kamu keren, bisa bikin orang penasaran dulu baru terbuka isinya.”
Momen itu membuat saya merasa bangga sekaligus bahagia. Anak-anak tidak hanya menjalankan instruksi, tetapi benar-benar berusaha berkreasi sesuai kemampuan dan imajinasi mereka. Pop up book yang dihasilkan pun menjadi lebih hidup, penuh variasi, dan tidak monoton.
Saya kembali berkeliling kelas. Beberapa siswa sedang sibuk menempel gambar pahlawan, ada yang menampilkan peta interaktif, bahkan ada yang mencoba membuat efek tiga dimensi sederhana dengan lipatan kertas. Kreativitas mereka sungguh luar biasa, walaupun belum sempurna. Ada yang kertasnya miring, ada yang lemnya menetes terlalu banyak, ada pula yang salah menempel sehingga harus diulang. Tapi di balik itu semua, saya melihat kegigihan. Tidak ada yang mengeluh atau berhenti. Mereka mencoba lagi dan lagi sampai berhasil.
Di sisi lain kelas, beberapa siswa asyik berdiskusi, saling memberi ide. Saya mendengar ada yang berkata, “Kalau ditempel di sini jadi kurang jelas, coba pindah ke bagian ini aja.” Yang lain menimpali, “Iya, biar nanti pas dibuka kelihatan semua gambarnya.” Diskusi kecil itu membuat suasana kelas semakin hidup. Ada semangat kerja sama yang tumbuh secara alami.
Saya menyadari bahwa kegiatan sederhana ini memberikan banyak manfaat. Anak-anak belajar menggabungkan teori IPS dengan praktik seni, mereka belajar bertanggung jawab menyelesaikan tugas, belajar sabar menghadapi kesulitan, sekaligus belajar menghargai karya teman.
Menjelang akhir jam pelajaran, sebagian karya mulai terlihat utuh. Saya meminta mereka untuk memperlihatkan hasil sementara. Satu per satu mereka mengangkat pop up book masing-masing dengan wajah bangga. Ada yang karyanya penuh warna, ada yang rapi dan sederhana, ada juga yang unik karena menambahkan ide-ide kreatif seperti “tombol” buatan Vano tadi.
Saya merasa haru melihat itu semua. Betapa luar biasanya perjuangan anak-anak ini. Mereka bukan hanya mengerjakan tugas karena kewajiban, tetapi benar-benar menaruh hati dalam prosesnya. Sebagai guru, momen seperti ini membuat saya menyadari betapa berharganya setiap usaha siswa, sekecil apa pun itu.
Sebelum bel berbunyi, saya sempat menyampaikan pesan singkat, “Anak-anak, hari ini Ibu sangat bangga dengan kalian. Pop up book yang kalian buat bukan hanya karya seni, tapi juga bukti bahwa kalian bisa belajar dengan cara menyenangkan. Ingat, kesalahan bukanlah hal yang harus ditakuti. Justru dari kesalahan itu kita bisa belajar lebih baik. Teruslah semangat, karena orang sukses lahir dari proses panjang, bukan dari hasil instan.”
Anak-anak pun menyambut dengan tepuk tangan meriah. Wajah mereka ceria, meski tangan masih belepotan lem dan meja penuh potongan kertas. Namun justru dari keceriaan itu terlihat nilai yang jauh lebih dalam: semangat, tanggung jawab, kreativitas, dan kebersamaan.
Jam pembelajaran 5–6 bersama kelas 8H telah menjadi salah satu momen berharga. Vano dengan tombol ajaibnya, anak-anak lain dengan karya penuh warna, dan tawa yang mengisi ruangan, semua itu menjadi kenangan indah. Saya yakin, suatu hari nanti ketika mereka sudah dewasa, pengalaman kecil membuat pop up book ini akan tetap teringat sebagai bagian dari perjalanan belajar mereka.
Bagi saya, ini adalah hadiah terindah: melihat murid-murid belajar dengan bahagia, berproses dengan semangat, dan menunjukkan bahwa ilmu bisa dirangkai dengan kreativitas serta kebersamaan.
Cepu, 16 September 2025

Tidak ada komentar:
Posting Komentar