Rabu, 10 September 2025

Bahagia Tercipta di 8H

 


Karya: Gutamining Saida

Suasana kelas 8H terasa agak berbeda dari biasanya. Saya sudah memulai pembelajaran IPS dengan penuh semangat, menjelaskan materi pengaruh agama hindu budha yang seharusnya bisa mereka pahami dengan mudah. Saya melihat tanda-tanda yang cukup jelas. Beberapa siswa mulai melamun, sebagian lain bersandar di meja, dan ada pula yang saling berbisik pelan dengan teman sebangkunya. Semangat yang biasanya menyala di awal jam pelajaran perlahan meredup. Saya menyadari bahwa mereka mulai bosan.

Saya tahu betul bahwa ketika siswa sudah kehilangan fokus, materi pelajaran sebaik apapun tidak akan bisa masuk dengan maksimal. Saya tidak bisa membiarkan situasi ini berlarut-larut. Maka, saya mencoba mencari cara agar mereka bisa kembali bersemangat. Pikiran saya langsung tertuju pada sebuah aktivitas ringan yang tidak hanya bisa membuat mereka bergerak, tetapi juga tertawa bersama. Aktivitas itu adalah ice breaking.

Saya tersenyum kecil, kemudian berkata dengan suara yang cukup lantang, “Anak-anak, sepertinya kalian mulai lelah, ya? Bagaimana kalau kita melakukan sesuatu yang berbeda sebentar? Tidak usah tegang dulu, mari kita main sejenak.”

Seisi kelas langsung menoleh pada saya. Sebagian tampak penasaran, sebagian lain malah bersorak kecil karena merasa ada yang menyenangkan akan terjadi. Saya lalu meminta mereka untuk membentuk kelompok kecil, terdiri dari empat sampai lima orang. Dengan sedikit riuh, kursi dan meja mulai bergeser, mereka pun beranjak dan berkumpul bersama teman-teman dekatnya.

Setelah mereka terbagi, saya memberi instruksi bahwa: “Sekarang, masing-masing kelompok saling bergandengan tangan membentuk lingkaran. Tantangan kalian adalah menuliskan nama kalian di selembar kertas yang sudah saya bagikan. Ingat, tangan kalian tidak boleh lepas satu sama lain. Jadi, bagaimana caranya kalian menulis, itu terserah kalian. Tapi ingat, tidak boleh putus pegangan.”

Mendengar aturan tersebut, kelas langsung riuh dengan tawa dan teriakan kecil. Ada yang langsung berkomentar, 
“Waduh, Bu! Susah banget ini!”
“Kalau tangan nggak bisa lepas, gimana nulisnya, Bu?”

Saya hanya tersenyum dan menjawab singkat,
“Ya, itu tantangannya. Kalian harus bekerja sama. Ayo, coba dulu.”

Mereka pun mulai mencoba. Ada kelompok yang dengan cepat berstrategi. Setiap anak memegang pulpen, yang lain membantu mengarahkan kertas, sementara yang lain berusaha menahan agar lingkaran tetap rapi. Karena tangan tidak boleh terlepas, gerakan mereka menjadi kaku dan canggung. Pulpen sering terjatuh, kertas miring ke sana-sini, bahkan ada yang tidak sengaja mencoret-coret tanpa bentuk.

Suasana kelas berubah total. Gelak tawa pecah di berbagai sudut ruangan. Ada kelompok yang berteriak panik karena tulisannya berantakan, ada yang menertawakan hasil tulisan temannya yang seperti cakar ayam, ada pula yang sampai tertawa terpingkal-pingkal karena salah satu anggotanya hampir jatuh akibat terlalu bersemangat menarik tangan temannya.

Saya memperhatikan wajah-wajah mereka. Siswa yang tadi terlihat bosan kini tampak hidup kembali. Pipi mereka memerah karena tertawa, mata mereka berbinar, dan suara riang memenuhi kelas. Saya pun ikut tertawa kecil melihat tingkah polah mereka yang penuh keceriaan.

Beberapa menit kemudian, akhirnya hampir semua kelompok berhasil menyelesaikan tantangan itu. Hasil tulisan memang jauh dari sempurna ada yang miring, ada yang patah-patah, bahkan ada yang hampir tidak terbaca. Tetapi justru di situlah letak keseruan aktivitas ini. Mereka belajar untuk bekerja sama, mencoba mengatasi keterbatasan, sekaligus menemukan keceriaan di tengah kesulitan.

Setelah semua kelompok selesai, saya mengangkat tangan memberi tanda bahwa permainan sudah berakhir.
“Bagaimana, seru tidak?” saya bertanya sambil tersenyum.

Serempak mereka menjawab,
“Seruuuu, Bu!”

Saya melanjutkan, “Nah, kalian sudah merasakan sendiri kan, bagaimana susahnya menulis kalau tangan terikat dengan yang lain. Itu artinya dalam kehidupan, kita juga sering menghadapi keterbatasan. Kalau kita saling bekerja sama, kita bisa melewati kesulitan itu dengan lebih mudah. Sama halnya dengan belajar IPS, kalau kalian mau saling membantu, saling berbagi, maka materi pelajaran pun akan lebih gampang dipahami.”

Anak-anak mengangguk-angguk. Meski mereka masih tersenyum dan sesekali menahan tawa, saya tahu pesan yang saya sampaikan mulai masuk ke hati mereka. Suasana kelas yang semula lesu kini berubah menjadi lebih semangat.

Saya pun melanjutkan pembelajaran dengan suasana hati yang jauh lebih menyenangkan. Kali ini, siswa lebih fokus memperhatikan. Beberapa di antaranya bahkan lebih aktif bertanya dan menjawab. Saya bisa merasakan energi positif memenuhi kelas 8H hari itu.

Bagi saya, pengalaman ini sekali lagi menjadi pengingat bahwa mengajar bukan hanya soal menyampaikan materi, tetapi juga soal bagaimana menjaga suasana hati dan semangat belajar siswa. Kadang-kadang, hanya dengan memberi ruang untuk tertawa bersama, kita bisa membuka jalan bagi mereka untuk kembali fokus dan menikmati pelajaran.

Saya melihat anak-anak kembali ceria. Senyum dan tawa mereka seakan menjadi hadiah berharga bagi saya. Ice breaking sederhana tadi membuktikan bahwa dalam dunia pendidikan, kebahagiaan siswa adalah salah satu kunci keberhasilan belajar. Selamat membaca dan mencoba.

Cepu, 11 September 2025

Tidak ada komentar:

Posting Komentar