Karya : Gutamining Saida
Suasana kelas 7B terasa lebih segar dari biasanya. Saya masuk ke ruang kelas sambil tersenyum, membawa materi Pendidikan Pancasila. Anak-anak tampak sudah menunggu dengan rasa penasaran. Seperti biasa, sebelum memulai pelajaran, saya mengajak mereka berdoa bersama sesuai dengan keyakinan masing-masing. Inilah contoh kecil penerapan sila pertama Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa, yang bisa langsung mereka praktikkan. Anak-anak pun menundukkan kepala, suasana hening, lalu serentak mengucapkan doa dengan khusyuk.
Setelah itu, saya mulai menjelaskan materi tentang penerapan nilai sila-sila Pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Saya awali dari sila pertama sampai sila kelima. Saya memberikan contoh-contoh sederhana agar mudah mereka pahami. Misalnya, sila pertama bisa diwujudkan dengan berdoa sebelum belajar, menghormati teman yang berbeda agama, hingga menjaga sikap sopan santun. Saya sengaja menyebutkan kegiatan yang dekat dengan kehidupan mereka agar lebih mudah diingat.
Ternyata, anak-anak sangat bersemangat menanggapi. Mereka berebut mengangkat tangan, menyebutkan berbagai contoh penerapan nilai Pancasila yang mereka alami sendiri di sekolah maupun di rumah. Ada yang menyebut “saling tolong-menolong ketika ada teman jatuh”, ada juga yang mengatakan “berbagi bekal dengan teman yang lupa membawa sarapan”. Saya tersenyum puas melihat antusiasme itu.
“Ya, ada apa Raka?” tanya saya dengan lembut, mengira ia akan memberikan jawaban penting.
Sontak kelas pun pecah dengan suara riuh tawa teman-temannya. Mereka mengira Raka ingin bertanya soal Pancasila, ternyata hanya ingin ijin minum. Saya ikut tersenyum geli melihat tingkah polosnya. Saya tidak ingin semangat mereka hilang, maka saya segera menenangkan kelas, “Tidak apa-apa, ayo kembali fokus belajar. Terima kasih Raka sudah jujur.” Anak-anak pun kembali tenang, meski masih ada yang berbisik sambil tertawa kecil.
Waktu berjalan begitu cepat. Tibalah di jam terakhir, saya memberikan tugas menggambar burung Garuda sebagai lambang negara. Anak-anak terlihat serius dengan pensil, penggaris, dan penghapus di tangan mereka. Ada yang tenang menggambar, ada pula yang sesekali tertawa kecil melihat hasil gambarnya. Saya sengaja berkeliling, memperhatikan hasil karya mereka satu per satu.
Dengan wajah agak malu, ia menunjuk kakinya burung Garuda yang ternyata tidak sama panjang. Saya pun tersenyum, “Coba lihat, iya betul. Tapi tidak apa-apa, coba dihapus dan diulang. Pasti nanti bagus.”
Hanif menunduk lagi, berusaha memperbaiki gambarnya. Teman di sebelahnya ikut mengintip, lalu tertawa kecil. Akhirnya mereka berdua sama-sama tersenyum sambil bekerja. Saya merasa bangga, karena di balik canda tawa itu ada kerja keras dan kemauan belajar yang kuat.
Beberapa anak lain, seperti Kalis dan Kevin, juga sibuk menyelesaikan gambarnya. Ada yang hasilnya rapi sekali, ada juga yang masih perlu dibimbing. Saat saya mencoba mendokumentasikan hasil karya mereka dengan kamera ponsel, sebagian anak tampak malu. Hanif bahkan langsung menyembunyikan wajahnya di balik kertas bergambar Garuda, hanya menampakkan hasil gambarnya saja. Saya tertawa kecil melihat tingkahnya yang polos. Begitu juga dengan Kalis dan Kevin, mereka memilih agar yang difoto hanya gambarnya saja, bukan wajah mereka.
Di tengah aktivitas menggambar itu, saya merasa suasana kelas benar-benar hidup. Mereka tidak hanya belajar tentang simbol negara, tapi juga mempraktikkan nilai-nilai Pancasila: saling menghargai hasil karya teman, tidak mengejek, bahkan membantu ketika ada yang kesulitan menggambar. Ada suasana kebersamaan yang membuat kelas terasa hangat.
Selesai menggambar, saya ajak mereka berdiskusi sebentar tentang arti lambang Garuda dan nilai yang terkandung di dalamnya. Anak-anak menjawab dengan semangat meski sebagian sudah lelah setelah berjam-jam belajar. Saya mengakhiri pelajaran dengan motivasi, “Apa pun hasil gambar kalian hari ini, yang paling penting adalah usaha dan kerja keras. Karena itu juga termasuk penerapan nilai Pancasila belajar sungguh-sungguh, jujur, dan menghargai usaha sendiri maupun orang lain.”
Sebelum pulang, saya kembali mengingatkan untuk berdoa bersama. Lagi-lagi kelas menjadi hening, semua menunduk khidmat. Inilah bentuk nyata dari sila pertama, yang sejak pagi hingga akhir pelajaran terus mereka praktikkan tanpa sadar.
Saya merasa lega dan bahagia. Saya melihat begitu banyak potensi di kelas 7B. Dari Raka yang polos tapi jujur, Hanif yang penuh tanggung jawab meski kadang malu, hingga Kalis dan Kevin yang tekun namun rendah hati. Semua memberi warna tersendiri dalam perjalanan belajar Pendidikan Pancasila. Saya yakin, dengan bimbingan dan motivasi yang tepat, anak-anak ini akan tumbuh menjadi generasi yang benar-benar mengamalkan Pancasila dalam kehidupan mereka.
Cepu, 4 September 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar