Ahad Wage pagi, udara sejuk. Di langit, cahaya fajar menyingsing perlahan, menandai awal hari yang penuh berkah. Di masjid Al Mujahidin, suasana tampak berbeda dari biasanya. Jamaah sudah mulai berdatangan bahkan sejak sebelum subuh. Suasana seakan menyambut setiap langkah, semangat para jamaah yang haus akan ilmu dan cahaya hati.
Selepas adzan subuh berkumandang, shalat berjamaah dilaksanakan dengan khusyuk. Imam memimpin dengan lantunan ayat-ayat suci yang lembut namun berwibawa. Selesai salam, suasana masjid tidak langsung hening seperti biasanya, melainkan bergemuruh dengan tabuhan rebana dan lantunan hadroh. Irama shalawat menggema, memenuhi setiap sudut ruangan dan menembus relung hati jamaah yang hadir.
Penari sufi mulai bergerak dengan penuh kekhusyukan. Mereka mengenakan busana serba putih, simbol kesucian, dengan topi berwarna merah marun yang kontras namun menambah khidmat penampilan. Gerakan mereka berputar perlahan, seakan menari di bawah bayang cahaya ilahi. Ada rasa damai yang meresap ketika menyaksikan tubuh-tubuh itu berputar, seolah menggambarkan perjalanan ruh manusia yang selalu mencari jalan menuju Sang Pencipta.
Kehadiran hadroh dan tari sufi membuat suasana pengajian sejak pagi terasa istimewa. Jamaah, baik tua maupun muda serta anak-anak larut dalam irama. Beberapa ada yang mengangguk-angguk mengikuti syair shalawat, ada pula yang matanya berkaca-kaca, merasakan getaran batin yang sulit dilukiskan dengan kata-kata.
Tidak lama kemudian, KH. Moh Agus Said dari Bagilan, Tuban, mulai kajian. Sosok beliau sederhana, dengan senyum yang teduh namun penuh kewibawaan. Suaranya yang tenang segera memikat perhatian jamaah. Beliau membuka tausiyahnya dengan mengingatkan bahwa niat dalam berangkat mengaji haruslah tulus, semata-mata mencari ridho Allah. Tanpa niat yang lurus, setiap langkah bisa hilang nilainya. Namun, dengan niat mencari ridho Allah, setiap gerak, setiap duduk, bahkan setiap hembusan napas bisa menjadi amal.
“Ridho Allah itu kuncinya,” ujar beliau mantap. “Kalau Allah ridho, hidup akan terasa lapang. Dari ridho Allah lahirlah rasa syukur, menerima, tawakal, dan sabar. Itulah bekal utama bagi kita dalam menghadapi kehidupan.”
Kata-kata itu seakan menyentuh hati setiap jamaah. KH. Agus Said lalu mengajak jamaah untuk melantunkan shalawat bersama. Beliau memilih syair berbahasa Jawa yang sederhana namun penuh makna
Sapa syukur..... uripe makmur
Sapa sabar...... rezekine jembar
Sapa nerima..... umure dawa
Sapa ngalah..... uripe berkah
Syair itu bergema di seluruh masjid. Jamaah melantunkan dengan penuh semangat, suara-suara mereka bersatu padu bagaikan gelombang yang mengalir. Setiap kata seolah mengingatkan kembali tentang nilai-nilai luhur yang sering terlupakan yaitu syukur, sabar, nrima, dan ngalah. Empat kunci sederhana yang bila dipraktikkan bisa menjadikan hidup penuh berkah.
KH. Agus Said melanjutkan tausiyahnya dengan menekankan pentingnya memperbanyak shalawat. “Dengan banyak bershalawat, kita memuliakan Nabi Muhammad,” tuturnya. Beliau menjelaskan bahwa Rasulullah adalah sosok yang tidak pernah hidup untuk kepentingan dirinya sendiri. Seluruh hidup beliau diabdikan untuk umat, untuk menyebarkan kasih sayang dan rahmat bagi seluruh alam.
“Bahkan setelah beliau wafat, manfaatnya masih kita rasakan,” ucap KH. Agus Said, sambil menghela napas panjang. “Kita bisa menikmati Islam, Al-Qur’an, dan syariat yang membawa keselamatan, itu semua karena beliau. Maka jangan pernah bosan membaca shalawat.”
Jamaah terdiam, ada yang menundukkan kepala, ada pula yang meneteskan air mata. Kesadaran tentang betapa besar jasa Nabi Muhammad membangkitkan rasa cinta yang mendalam di hati mereka.
Tausiyah kemudian bergeser ke tema kehidupan sehari-hari. KH. Agus Said mengingatkan agar manusia tidak memelihara rasa benci. “Hidup ini terlalu singkat jangan diisi dengan kebencian,” ujarnya. Beliau memberikan resep sederhana yang membuat jamaah tersenyum sekaligus merenung. “Kalau panjenengan membenci seseorang, datangi dia. Bawakan oleh-oleh atau buah tangan. Sekaligus mintalah maaf. Dengan cara itu, hati akan lapang, dendam sirna, dan persaudaraan kembali terjalin.”
Pesan itu terasa sederhana, namun mendalam. Banyak dari jamaah yang mungkin mengingat seseorang dalam hidupnya, kerabat, tetangga, atau teman yang pernah menoreh luka. Kata-kata sang ustadz seakan menjadi pengingat bahwa jalan menuju ridho Allah juga melewati pintu silaturahmi dan memaafkan sesama.
KH. Agus Said menutup tausiyahnya dengan ajakan untuk selalu mencari kebaikan. “Carilah kebaikan di mana saja. Kalau kita sibuk mencari kebaikan, tidak akan ada waktu untuk iri, dengki, apalagi membenci,” katanya.
Pengajian pagi itu pun berakhir dengan doa bersama. Jamaah mengangkat tangan tinggi-tinggi, memohon ampunan, rezeki yang halal, umur yang berkah, dan hati yang selalu terjaga dalam cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Suasana masjid Al Mujahidin dipenuhi rasa haru dan syukur.
Ketika jamaah mulai beranjak pulang, wajah-wajah mereka tampak lebih cerah. Ada ketenangan yang terpancar, seolah tausiyah pagi itu telah menanamkan benih-benih kebaikan dalam hati mereka. Hadroh dan tari sufi yang mengiringi sejak awal, syair shalawat berbahasa Jawa yang sarat makna, serta pesan-pesan bijak KH. Agus Said menjadi bekal berharga untuk dijalani dalam kehidupan sehari-hari.
Ahad Wage pagi itu bukan hanya sekadar pengajian, melainkan sebuah perjalanan spiritual. Perjalanan yang mengingatkan bahwa ridho Allah adalah kunci, shalawat adalah pengikat cinta, dan kebaikan adalah jalan menuju hidup yang penuh berkah. Aamiin
Cepu, 14 September 2025
Alhamdulillah
BalasHapus