Karya: Gutamining Saida
Suasana kelas 7F cukup ramai. Seperti biasa, ketika pelajaran IPS dimulai, sebagian siswa masih ada yang berceloteh dengan teman di sebelahnya, ada pula yang sibuk merapikan buku atau sekadar melamun menatap ke luar jendela. IPS bukanlah mata pelajaran favorit bagi sebagian besar siswa. Mereka sering menganggap pelajaran ini hanya sekadar hafalan nama tempat, tanggal, atau teori yang membosankan. Saya berusaha sekuat tenaga membuat IPS hadir dengan cara berbeda lebih menyenangkan, lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Di tengah suasana itu, seorang siswi bernama Aura menghampiri saya. Ia berjalan dengan langkah pelan, membawa secarik kertas yang semula saya kira hanya coretan biasa. Dengan malu-malu ia menyodorkannya ke meja saya sambil berkata lirih, “Bu, ini buat bu Saida.”
Saya terdiam sejenak. Tangan saya menerima kertas itu dengan rasa penasaran. Begitu kertas terbuka, mata saya membelalak. Di sana tergambar wajah saya sendiri. Dengan goresan pena hitam, Aura melukiskan sosok saya. Meski sederhana, hasil karya itu penuh detail garis mata, jilbab, hingga atribut yang saya kenakan yang seakan hidup di atas kertas.
Saya tertegun, antara terkejut dan haru. “Kok bisa begini bagus, Ra?” tanya saya dengan nada bercampur kagum. Aura tersenyum tipis, pipinya memerah. Ia menjawab pelan, “Saya suka sama Bu Saida. Jadi saya gambar wajah Ibu.”
Kalimat sederhana itu membuat hati saya hangat. Saya lalu bertanya iseng, “Kenapa Aura suka sama Ibu?” Dengan polos ia menjawab, “Kalau saya suka sama gurunya, saya juga akan suka sama pelajarannya. IPS itu pelajaran yang saya tunggu-tunggu, Bu.”
Jawaban itu menusuk lembut ke hati saya. Betapa berharganya perhatian seorang siswa yang bisa melihat gurunya bukan sekadar pemberi materi, melainkan sosok yang bisa disukai, dihargai, bahkan dijadikan inspirasi. Saya merasa bersyukur, di tengah stigma bahwa IPS sering dianggap mata pelajaran tidak penting, masih ada siswa yang justru berusaha mencintai mata pelajaran ini melalui rasa hormat dan sayangnya pada guru.
Saya tatap lagi karya Aura. Meski hanya coretan pena di kertas putih biasa, bagi saya lukisan itu jauh lebih mahal daripada hadiah apapun. Sebab ia lahir dari ketulusan. Anak seusia Aura mungkin bisa saja menghabiskan waktu bermain atau sekadar menggambar hal-hal lain yang ia suka, tetapi ia memilih melukiskan wajah gurunya. Itu bentuk penghargaan yang tidak ternilai.
Pelajaran IPS hari itu terasa berbeda. Aura duduk dengan mata berbinar, memperhatikan penjelasan saya dengan seksama. Sementara siswa lain kadang masih teralihkan, ia justru tampak serius, bahkan sesekali mengangguk. Saya merasa energi positifnya menular pada teman-temannya. Seolah lukisan kecil tadi menjadi pengingat bagi saya bahwa mengajar bukan hanya soal menyampaikan materi, tetapi juga soal membangun hubungan batin dengan siswa.
Sekembalinya dari kelas, saya merenung. Banyak orang menganggap remeh pelajaran IPS, bahkan ada siswa yang terang-terangan berkata, “IPS nggak sepenting Matematika atau IPA.” Tetapi hari itu, saya melihat bukti bahwa cara siswa memandang pelajaran juga dipengaruhi oleh sosok gurunya. Jika mereka merasa nyaman dengan gurunya, mereka akan berusaha mencintai pelajaran itu. Sebaliknya, bila hubungan guru dan murid kering tanpa ikatan emosional, sehebat apapun metode pembelajaran bisa terasa hambar.
Saya merasa beruntung. Aura telah mengingatkan saya bahwa menjadi guru bukan hanya profesi, melainkan juga perjalanan hati. Tugas guru bukan hanya memastikan nilai ujian siswa baik, melainkan juga menumbuhkan rasa cinta, rasa percaya diri, dan rasa hormat dalam diri mereka.
Keesokan harinya, saya sengaja memperlihatkan karya Aura kepada beberapa rekan guru. Mereka kagum dengan bakat menggambarnya. Salah satu temannya berkata, “Kalau sering diasah, banyak berlatih bisa jadi pelukis besar.” Saya hanya tersenyum sambil menahan rasa haru, karena bagi saya nilai terbesar dari karya itu bukan pada kualitas seni, melainkan pada ketulusan hati seorang murid.
Sejak saat itu, setiap kali saya masuk kelas 7F, saya merasa ada energi berbeda. Saya lebih semangat, lebih sabar, dan lebih berusaha membuat pelajaran IPS bermakna. Saya sadar, mungkin tidak semua siswa akan langsung menyukai IPS, tetapi jika ada satu saja yang mulai jatuh cinta pada pelajaran ini karena rasa hormat pada gurunya, maka itu sudah menjadi kemenangan kecil yang besar artinya.
Lukisan sederhana dari Aura kini saya simpan rapi. Sesekali saya membukanya kembali saat rasa lelah melanda. Goresan pena itu seperti berbicara, mengingatkan saya bahwa di luar sana selalu ada siswa yang diam-diam memperhatikan, menghargai, dan menaruh harapan pada saya.
Bagi saya, pengalaman itu adalah pelajaran berharga. Bahwa cinta dan perhatian tulus dari seorang murid bisa menjadi cahaya bagi seorang guru. Dan bahwa keberhasilan mengajar tidak hanya diukur dari nilai ujian, melainkan dari seberapa besar kita bisa menumbuhkan rasa suka dan cinta belajar dalam diri siswa. Lewat tangan mungil Aura dan sebuah coretan pena, saya belajar kembali arti menjadi guru yang sesungguhnya. Semoga kesuksesan selalu bersama kalian semua ya. Selamat berjuang anak-anak.
Cepu, 14 September 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar