Senin, 11 Agustus 2025

Rezeki Dari Berbagai Pintu

Karya : Gutamining Saida 
Matahari sudah meninggi ketika saya akhirnya melangkah ke ruang guru. Langkah saya agak tergesa, bukan karena terburu-buru ingin bekerja, tetapi karena saya sadar sudah sedikit terlambat. Bukan karena saya bangun kesiangan, melainkan karena ada kereta yang lewat di perlintasan. Perjalanan yang seharusnya mulus terhenti di depan palang pintu kereta yang tertutup rapat. Suara lokomotif membelah udara, saya hanya bisa tersenyum pasrah sambil melihat rangkaian gerbong melintas perlahan.

Begitu palang pintu terbuka, kendaraan-kendaraan di sekitar saya langsung bergerak seperti air yang mengalir bebas. Saya pun kembali mengayuh perjalanan, berharap tidak terlalu banyak yang saya lewatkan di sekolah.

Ketika sampai di ruang guru, suasana sudah ramai. Deru obrolan para rekan kerja bercampur dengan aroma makanan kecil di beberapa meja. Saya tersenyum kecil, berusaha menghapus rasa canggung karena datang agak belakangan dari biasanya.

“Assalamualaikum Bu!” sapaan hangat terdengar dari sudut ruangan. Suara Bu Wiwik, yang sudah duduk manis di kursinya. Senyumnya merekah, dan tangannya langsung bergerak menawarkan sesuatu.
“Silakan ambil kue cucur di meja saya. Masih hangat,” katanya sambil menyodorkan kotak bekal berisi kue berwarna cokelat keemasan.

Ah, kue cucur. Bagi orang Cepu, kue ini bukan sekadar camilan. Rasanya manis legit, teksturnya kenyal di tengah, renyah di pinggir. Satu gigitan saja bisa membawa saya kembali pada kenangan masa kecil, saat nenek sering memberi. Saya menerima tawaran itu tanpa banyak pikir.

“Terima kasih, Bu. Wah, rezeki pagi-pagi,” ucap saya sambil tersenyum.

Belum habis rasa manis kue cucur di lidah saya, aroma gurih tiba-tiba tercium dari meja sebelah. Rupanya Bu Warti membawa sekotak besar mie goreng yang baru saja dimasak dari rumah. Warnanya kecokelatan, berpadu dengan potongan kol, wortel, dan taburan bawang goreng yang harum.
“Bapak Ibu, silakan ambil sendiri ya… sesuai selera,” kata Bu Warti sambil menaruh piring dan sendok di sampingnya.

Tanpa banyak basa-basi, beberapa guru langsung mendekat, mengambil porsi masing-masing. Rasanya gurih dan pas di lidah, membuat pagi ini terasa semakin lengkap.

Di dalam hati, saya merenung. Memang benar, rezeki itu misteri. Kita tidak pernah tahu dari mana datangnya, lewat siapa, atau kapan waktu yang Allah Subhanahu Wata'alla pilihkan untuk memberikannya. Kadang kita berencana mencari, tapi Allah Subhanahu Wata'alla memberikannya dari arah yang sama sekali tidak kita sangka.

Belum lama saya duduk kembali, Bu Peni yang duduk di  belakang saya. 
“Bu, ini ada pepaya, coba ambil. Pepayanya manis banget, baru kemarin membeli. ” katanya.

Saya mendekat, melihat potongan pepaya berwarna jingga cerah di kotak . Aromanya harum, menggoda siapa saja yang lewat. Tanpa ragu, saya mengambil satu potong, lalu mengucapkan, “Alhamdulillah, terima kasih, Bu.”

Syukur otomatis terucap dari bibir saya. Tidak setiap hari kita mendapatkan suguhan kue cucur, mie goreng, pepaya manis, dan senyum hangat dari teman-teman di pagi yang sama.

Saya pun berjalan menuju kursi, menaruh tas, dan mulai membuka laptop untuk mempersiapkan materi pelajaran. Mata saya kemudian tertuju pada tas yang saya bawa. Entah kenapa, ada dorongan untuk memeriksa bagian dalamnya. Saya buka ritsleting salah satu kantong, dan di sana… ada sebuah amplop putih yang sudah agak terlipat.

“Hm? Amplop kapan ini?” pikir saya. Saya mencoba mengingat-ingat, kapan saya menaruhnya di sana. Tapi memori saya kosong. Tidak ada yang terasa familiar. Rasa penasaran mendorong saya untuk membukanya.

Ketika kertas pembungkusnya terbuka, mata saya langsung menangkap isinya. Subhanallah… ada uang di dalamnya. Tidak banyak memang, cukup untuk membuat hati saya bergetar. Saya tidak ingat pernah memasukkannya, dan tidak tahu siapa yang memberikannya.

“Alhamdulillah…” ucap saya lirih.

Nikmat mana lagi yang akan saya dustakan? Pagi ini, saya datang agak terlambat, sempat terhenti karena kereta, tapi ternyata Allah Subhanahu Wata'alla mengganti waktu yang hilang itu dengan rangkaian kebaikan yang datang berturut-turut yaitu kue cucur dari Bu Wiwik, mie goreng dari Bu Warti, pepaya manis dari Bu Peni, dan amplop misterius yang entah sejak kapan ada di tas saya.

Saya duduk termenung sejenak, mencoba memahami pesan yang mungkin Allah titipkan. Rezeki tidak selalu berbentuk uang. Ia bisa berupa makanan yang mengenyangkan, senyum yang menenangkan, atau bahkan waktu yang lapang untuk kita berbagi cerita. Dan yang lebih penting lagi, rezeki itu bukan hanya apa yang kita terima, tapi juga kesempatan yang kita punya untuk memberi.

Betapa sering kita mengukur rezeki hanya dari besarnya angka, padahal sejatinya ia ada dalam setiap detik kehidupan yang diberi Allah Subhanahu Wata'alla. Bisa bernapas, bisa melangkah, bisa bertemu orang-orang baik itu pun rezeki.

Saya pun bertekad, mulai hari ini saya ingin lebih peka. Bukan hanya terhadap apa yang saya terima, tetapi juga terhadap peluang untuk memberi. Karena siapa tahu, di suatu pagi, saya bisa menjadi “pintu rezeki” bagi orang lain, sebagaimana pagi ini orang-orang di sekitar saya menjadi pintu rezeki untuk saya.

Saya yakin, pintu rezeki Allah Subhanahu Wata'alla tidak pernah tertutup. Dia hanya menunggu kita untuk mengetuknya dengan syukur, sabar, dan amal kebaikan.
Cepu, 12 Agustus 2025 

2 komentar: