Karya :Gutamining Saida
Setelah mengajar dan membereskan segala urusan di sekolah, saya langsung bergegas pulang. Di tengah perjalanan, saya teringat sebuah janji kemarin sore untuk bertemu dengan teman lama yang sudah seperti saudara sendiri. Kami sudah lama tidak berjumpa sejak ia pensiun beberapa tahun lalu. Kesibukan saya di sekolah dan kesibukan beliau di rumah membuat pertemuan tertunda. Hari ini entah kenapa, hati saya begitu mantap untuk menepati janji.
Perjalanan menuju rumahnya terasa begitu berbeda. Ada semacam rindu yang menggelitik hati, bercampur rasa penasaran akan kabarnya. Saat tiba di depan rumahnya, suasana begitu sepi. Pintu kayu sudah terbuka seolah menyimpan banyak cerita masa lalu. Setelah motor saya berhenti, ia melongok ddekat pintu, lalu langkah kaki mendekat.
Betapa terkejutnya saya. Beliau berdiri tubuhnya tampak jauh lebih kurus dari terakhir kali saya melihatnya. Wajahnya masih memancarkan senyum hangat, sorot matanya mengandung cerita yang dalam. Seketika, ia menatap saya lekat-lekat, lalu pecah tangisnya. Air mata mengalir deras, membasahi pipinya.
"Saya… seperti mimpi bisa bertemu umi lagi," ucapnya dengan suara bergetar.
Pelukan hangat menyatukan kami, seakan jarak waktu dan ruang selama bertahun-tahun sirna begitu saja. Saya pun ikut menahan haru, mengingat semua kenangan yang pernah kami lalui bersama yaitu tawa di sela-sela istirahat kerja, saling bercerita , bahkan saling menguatkan di masa-masa sulit.
Beliau mempersilakan saya masuk. Di ruang tamu yang sederhana itu, meja telah penuh dengan berbagai sajian. Ada beberapa kue tradisional, pohon, kerupuk dan yang menarik perhatian saya adalah sepiring blondo atau ampas kelapa yang gurih dan harum. Aroma khasnya langsung membangkitkan kenangan masa kecil saya.
Di sela menikmati sajian, kami berbincang panjang lebar. Beliau menceritakan bahwa beberapa waktu terakhir kesehatannya menurun. Meskipun begitu, ia tetap berusaha kuat dan bersyukur atas segala yang Allah Subhanahu Wata'alla berikan. Saya mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali mengangguk, sesekali tertawa saat kami mengenang masa lalu yang penuh warna.
Ada momen hening ketika beliau berkata, “Umi silaturahmi itu membawa rezeki. Hari ini, Allah Subhanahu Wata'alla buktikan itu. Rezeki bukan hanya uang atau barang, tapi juga hati yang kembali hangat, persaudaraan yang kembali erat.” Saya terdiam, lalu menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Betapa benar kata-kata itu.
Saya menyadari, pertemuan ini adalah rezeki yang luar biasa. Rezeki yang datang dari arah yang sama sekali tidak saya duga. Saya datang hanya untuk menepati janji, namun pulangnya saya membawa kenangan, rasa haru, dan kehangatan yang tak ternilai.
Angin sore masuk membawa kesejukan. Saya berpikir dalam hati, inilah yang dimaksud Allah Subhanahu Wata'alla dalam Al-Qur’an, bahwa jika kita bersyukur, Allah Subhanahu Wata'alla akan menambah nikmat dari arah yang tak terduga.
Sebelum pulang, beliau menggenggam tangan saya erat. “Jangan tunggu lama-lama. Umur kita ini seperti matahari sore, sebentar lagi tenggelam.” Kata-kata itu mengingatkan bahwa waktu tidak menunggu siapa pun.
Saya pun pamit dengan hati yang penuh syukur. Rasa syukur itu mengalir tanpa henti, seperti air yang tak pernah kering. Saya belajar bahwa silaturahmi bukan hanya mempererat hubungan, tetapi juga menjadi pintu rezeki yang kadang hadir dalam bentuk yang tak kasat mata yaitu kedamaian hati, kehangatan persaudaraan, dan kebahagiaan yang sederhana.
Cepu, 12 Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar