Kamis, 07 Agustus 2025

Praktik Seni Budaya

Karya : Gutamining Saida 
Hari Kamis saya tidak ada jadwal mengajar. Jadwal saya tugas piket kelas karena ada guru yang izin. Guru Penjaskes yang seharusnya mengajar di kelas delapan hari itu tidak bisa hadir karena suatu keperluan. Saya pun menerima jadwal piket di jam ke empat dengan lapang dada, sambil berpikir bahwa ini mungkin bisa menjadi waktu yang tepat untuk mengenal lebih banyak siswa.  

Sambil mengecek kelas yang harus saya pantau, saya berjalan menyusuri koridor. Suasana sekolah siang itu terasa lebih tenang dari biasanya. Angin berembus pelan, membawa aroma khas bunga dari taman sekolah. Ketika saya sampai di area dekat parkiran, langkah saya terhenti sejenak.

Tampak sekelompok siswa duduk melingkar di bawah pohon, di dekat koperasi sekolah, sebagian lainnya memilih duduk di pinggir pot bunga besar yang tersebar di halaman. Mereka semua tampak sibuk dengan buku gambar dan pensil di tangan. Beberapa berjongkok, memperhatikan bunga yang tumbuh di taman sekolah, ada pula yang menggambar langsung dari imajinasi mereka.

Rasa penasaran pun muncul. Saya mendekati salah satu kelompok yang tampak serius menggambar. “Lho, kalian pelajaran apa ini?” tanya saya sambil tersenyum.

Mereka langsung menjawab dengan kompak, “Seni Budaya, Bu.”

“Oh ya? Praktik yaa?” tanya saya lagi.

"Tadi sudah dijelaskan tugasnya, kami disuruh praktik menggambar bunga yang ada di lingkungan sekolah,” jelas seorang siswa dari kelas 7G.

Saya mengangguk pelan. Ternyata mereka tidak main-main, tugas yang diberikan benar-benar dikerjakan dengan semangat. Saya pun duduk sebentar di salah satu sisi pot semen yang kosong, mencoba menikmati proses belajar yang berbeda dari biasanya.

“Coba mana hasilnya? Boleh Ibu lihat?” tanya saya dengan penuh rasa ingin tahu.

Seorang siswi menyodorkan bukunya. Gambar bunga Bogenviel tergores dengan halus di atas kertas. Meskipun masih dalam bentuk sketsa hitam-putih, saya bisa menangkap detail kelopaknya yang mengembang dan tangkai yang menjulur.

“Wah, bagus sekali ini,” puji saya.

“Sulit, Bu!” keluh siswa lain sambil menunjukkan gambarnya yang belum selesai. “Saya susah bikin kelopaknya melengkung bagus.”

Saya tersenyum dan berkata, “Memang menggambar bunga itu butuh ketelitian. Kamu sudah mencoba, itu sudah luar biasa.”

Saya pun mengamati satu per satu karya mereka. Ada yang menggambar bunga Kamboja  dari taman kecil dekat lapangan, ada juga yang membuat gambar bunga sepatu yang tumbuh dekat pagar sekolah. Saya terkagum-kagum melihat kreativitas mereka, apalagi mereka menggambar langsung dari pengamatan, bukan hanya meniru dari buku.

“Saya bingung warna daunnya, Bu. Di gambar saya kayaknya nggak pas,” ujar seorang siswa.

“Warna bisa menyusul nanti. Yang penting sekarang bentuknya dulu. Nanti setelah selesai garis dan bayangan, baru diwarnai,” jawab saya menyemangati.

Tiba-tiba seorang siswa iseng bertanya, “Bu, Ibu bisa gambar bunga nggak?”

Saya tergelak kecil, “Bisa sih, tapi nggak sebagus kalian."

Suasana jadi akrab dan hangat. Tak terasa waktu berlalu, dan halaman sekolah terasa hidup oleh kegiatan menggambar ini. Saya melihat betapa anak-anak menikmati belajar seni di luar ruang. Mereka belajar bukan hanya dari guru atau buku, tapi juga dari lingkungan sekitar yang bisa diamati langsung.

Ketika bel tanda pergantian jam berbunyi, sebagian mulai merapikan alat gambar. Beberapa masih asyik menyelesaikan goresan terakhir di halaman mereka.

“Terima kasih ya, Bu. Ibu sudah mau nemenin dan lihat gambar kami,” ucap seorang siswi sambil tersenyum.

“Sama-sama. Ibu senang sekali bisa lihat langsung semangat kalian. Terus berkarya ya,” jawab saya sambil berdiri dan melangkah ke ruang guru.

Hari Kamis itu bukan hanya menjadi hari piket biasa, tapi menjadi pengalaman menyenangkan yang menghangatkan hati. Saya menyadari bahwa di balik tugas menggambar bunga, tersimpan proses belajar yang penuh makna yaitu belajar memperhatikan, belajar bersabar, belajar mengekspresikan, dan belajar menghargai keindahan yang ada di sekitar.
Cepu, 7 Agustus 2025 

1 komentar: