Jumat, 22 Agustus 2025

Keceriaan Di Kelas 7G Esmega

 

Karya: Gutamining Saida

Saya memasuki kelas 7G dengan semangat yang sudah saya siapkan sejak pagi. Sebagai seorang guru, saya tahu betul bahwa jam-jam terakhir adalah saat paling rawan. Siswa biasanya mulai kehilangan fokus, rasa kantuk datang perlahan, dan semangat belajar berkurang. Saya ingin mengubah situasi itu. Saya tidak ingin kelas 7G pulang dengan wajah lelah, tanpa membawa kesan menyenangkan dari pembelajaran hari ini.

Mata pelajaran IPS memang tidak selalu menjadi favorit siswa. Beberapa dari mereka menganggap IPS penuh hafalan, terlalu banyak teori, atau bahkan membosankan. Tetapi justru tantangan itu yang membuat saya berusaha keras. Saya ingin menghadirkan suasana berbeda, sehingga mereka bisa merasakan bahwa belajar IPS pun bisa membuat bahagia.

Sejak awal pembelajaran, saya mencoba menyampaikan materi dengan cara yang ringan. Saya menambahkan cerita-cerita singkat yang relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Saat berbicara, saya selalu memperhatikan ekspresi wajah siswa. Ada yang menyimak dengan serius, ada yang sambil mencatat, ada pula yang sesekali melirik ke arah jendela, mungkin pikirannya mulai melayang ke tempat lain.

Di situlah saya sadar, sudah waktunya memberikan kejutan kecil. Saya tersenyum sambil berkata,
“Baik, anak-anak, kita istirahat sebentar dari materi. Kita coba sesuatu yang menyenangkan.”

Suasana kelas langsung berubah. Mereka saling menoleh, penasaran dengan apa yang akan saya lakukan. Dari tas, saya mengeluarkan dua potongan kertas berbentuk lingkaran. Satu berwarna biru, satu lagi berwarna oranye. Saya angkat kedua kertas itu tinggi-tinggi.

“Siapa yang tahu ini untuk apa?” tanya saya.

Mereka mulai bersorak, ada yang berbisik, “Pasti game, pasti game!”

Saya pun menjelaskan aturan singkatnya. Saya akan memberikan pertanyaan seputar materi IPS yang barusan kami bahas. Setiap kelompok siswa harus memilih jawaban dengan menunjukkan kertas lingkaran biru atau oranye. Biru berarti “Benar”, oranye berarti “Salah”.

“Siap?” tanya saya dengan suara agak lantang. “Siapppp, Bu!” jawab mereka kompak.

Saya pun mulai memberikan pertanyaan pertama. “Indonesia memiliki dua musim, yaitu musim panas dan musim salju. Benar atau salah?”

Serentak beberapa kelompok mengangkat kertas oranye sambil tertawa. “Salah, Bu!” teriak mereka dengan penuh keyakinan. Saya pun ikut tersenyum dan mengangguk. “Betul sekali. Indonesia hanya punya musim kemarau dan musim hujan.”

Tepuk tangan pun terdengar. Sorak-sorai memenuhi kelas. Anak-anak yang tadi lesu kini wajahnya berbinar. Saya melanjutkan pertanyaan berikutnya. “Bentang alam dataran tinggi biasanya cocok untuk bercocok tanam padi. Benar atau salah?”

Seketika ada yang bingung. Beberapa kelompok dengan ragu mengangkat kertas biru, sementara yang lain memilih oranye. Tegangan kecil terjadi. Semua menunggu jawaban saya. Saya tersenyum lalu berkata, “Jawaban yang benar adalah salah. Dataran tinggi biasanya cocok untuk tanaman teh, kopi, dan sayuran, sedangkan padi cocoknya di dataran rendah.”

“Yaaaahhh…” beberapa anak berseru kecewa, sementara yang lain meloncat kegirangan karena jawaban mereka benar. Suasana kelas benar-benar hidup.

Pertanyaan demi pertanyaan saya lontarkan, dan setiap kali siswa menunjukkan jawabannya, tawa, sorakan, dan teriakan bahagia menggema di ruangan. Mereka yang biasanya diam kini ikut aktif. Mereka yang sering malas mengangkat tangan sekarang justru semangat memperlihatkan kertas biru atau oranye.

Saya memperhatikan ekspresi wajah mereka. Ada rasa lega sekaligus gembira. Rasa lelah yang biasanya menyelimuti jam terakhir perlahan hilang, berganti energi positif. Bahkan siswa yang biasanya pasif kini terlihat bersemangat.

Di tengah keriuhan itu, saya merasakan sesuatu yang berbeda. Ada kebahagiaan sederhana yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Melihat senyum mereka, tawa mereka, dan bagaimana mereka begitu menikmati proses belajar membuat hati saya ikut hangat.

Saya sadar, inilah tujuan saya. Bukan hanya membuat mereka paham materi, tetapi juga membuat mereka pulang dengan perasaan bahagia. Ketika siswa merasa senang belajar, mereka akan lebih mudah mengingat apa yang dipelajari. Dan yang lebih penting, mereka akan memiliki kenangan indah di  sekolah.

Setelah beberapa putaran pertanyaan, saya menutup kegiatan ice breaking itu. Anak-anak masih ingin melanjutkan, tapi saya tersenyum dan berkata, “Cukup sampai di sini. Besok kita bisa bermain lagi kalau kalian tetap semangat belajar.”

“Setujuuuu!” jawab mereka serentak.

Kelas pun berlanjut dengan penjelasan singkat untuk menutup materi hari itu. Saya bisa melihat jelas bahwa suasana kelas sudah jauh berbeda. Tidak ada lagi wajah lesu atau kantuk. Yang ada hanya wajah ceria penuh energi.

Ketika bel pulang berbunyi, mereka keluar kelas sambil masih membicarakan permainan tadi. Beberapa siswa mendekat dan berkata, “Bu, besok lagi ya mainnya!” Saya hanya mengangguk sambil tersenyum, dalam hati saya ikut merasa puas.

Saya pulang dengan hati penuh syukur. Saya merasa berhasil, meski hanya dengan dua potongan kertas lingkaran berwarna biru dan oranye. Sesuatu yang sederhana, tetapi mampu mengubah suasana.

Saya belajar bahwa seorang guru memang tidak hanya dituntut menguasai materi, tetapi juga harus mampu menghadirkan kebahagiaan dalam belajar. Ice breaking sederhana bisa menjadi jembatan untuk mencairkan suasana, membangkitkan semangat, dan menanamkan kesan positif pada siswa.

Saya pribadi, kebahagiaan itu nyata ketika melihat senyum lepas siswa-siswi kelas 7G. Senyum yang akan selalu saya ingat sebagai pengingat bahwa setiap usaha kecil seorang guru bisa berarti besar bagi anak-anak. Semoga menginspirasi pembaca.

Cepu, 22 Agustus 2025

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar