Saya memasuki kelas 7G dengan
semangat yang sudah saya siapkan sejak pagi. Sebagai seorang guru, saya tahu
betul bahwa jam-jam terakhir adalah saat paling rawan. Siswa biasanya mulai
kehilangan fokus, rasa kantuk datang perlahan, dan semangat belajar berkurang.
Saya ingin mengubah situasi itu. Saya tidak ingin kelas 7G pulang dengan wajah
lelah, tanpa membawa kesan menyenangkan dari pembelajaran hari ini.
Mata pelajaran IPS memang tidak
selalu menjadi favorit siswa. Beberapa dari mereka menganggap IPS penuh
hafalan, terlalu banyak teori, atau bahkan membosankan. Tetapi justru tantangan
itu yang membuat saya berusaha keras. Saya ingin menghadirkan suasana berbeda,
sehingga mereka bisa merasakan bahwa belajar IPS pun bisa membuat bahagia.
Sejak awal pembelajaran, saya
mencoba menyampaikan materi dengan cara yang ringan. Saya menambahkan
cerita-cerita singkat yang relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Saat
berbicara, saya selalu memperhatikan ekspresi wajah siswa. Ada yang menyimak dengan
serius, ada yang sambil mencatat, ada pula yang sesekali melirik ke arah
jendela, mungkin pikirannya mulai melayang ke tempat lain.
Di situlah saya sadar, sudah
waktunya memberikan kejutan kecil. Saya tersenyum sambil berkata,
“Baik, anak-anak, kita istirahat sebentar dari materi. Kita coba sesuatu yang
menyenangkan.”
Suasana kelas langsung berubah.
Mereka saling menoleh, penasaran dengan apa yang akan saya lakukan. Dari tas,
saya mengeluarkan dua potongan kertas berbentuk lingkaran. Satu berwarna biru,
satu lagi berwarna oranye. Saya angkat kedua kertas itu tinggi-tinggi.
“Siapa yang tahu ini untuk apa?”
tanya saya.
Mereka mulai bersorak, ada yang
berbisik, “Pasti game, pasti game!”
Saya pun menjelaskan aturan
singkatnya. Saya akan memberikan pertanyaan seputar materi IPS yang barusan
kami bahas. Setiap kelompok siswa harus memilih jawaban dengan menunjukkan
kertas lingkaran biru atau oranye. Biru berarti “Benar”, oranye berarti “Salah”.
“Siap?” tanya saya dengan suara
agak lantang. “Siapppp, Bu!” jawab mereka kompak.
Saya pun mulai memberikan
pertanyaan pertama. “Indonesia memiliki dua musim, yaitu musim panas dan musim
salju. Benar atau salah?”
Serentak beberapa kelompok
mengangkat kertas oranye sambil tertawa. “Salah, Bu!” teriak mereka dengan
penuh keyakinan. Saya pun ikut tersenyum dan mengangguk. “Betul sekali.
Indonesia hanya punya musim kemarau dan musim hujan.”
Tepuk tangan pun terdengar.
Sorak-sorai memenuhi kelas. Anak-anak yang tadi lesu kini wajahnya berbinar. Saya
melanjutkan pertanyaan berikutnya. “Bentang alam dataran tinggi biasanya cocok
untuk bercocok tanam padi. Benar atau salah?”
Seketika ada yang bingung.
Beberapa kelompok dengan ragu mengangkat kertas biru, sementara yang lain
memilih oranye. Tegangan kecil terjadi. Semua menunggu jawaban saya. Saya
tersenyum lalu berkata, “Jawaban yang benar adalah salah. Dataran tinggi
biasanya cocok untuk tanaman teh, kopi, dan sayuran, sedangkan padi cocoknya di
dataran rendah.”
“Yaaaahhh…” beberapa anak berseru
kecewa, sementara yang lain meloncat kegirangan karena jawaban mereka benar.
Suasana kelas benar-benar hidup.
Pertanyaan demi pertanyaan saya
lontarkan, dan setiap kali siswa menunjukkan jawabannya, tawa, sorakan, dan
teriakan bahagia menggema di ruangan. Mereka yang biasanya diam kini ikut
aktif. Mereka yang sering malas mengangkat tangan sekarang justru semangat
memperlihatkan kertas biru atau oranye.
Saya memperhatikan ekspresi wajah
mereka. Ada rasa lega sekaligus gembira. Rasa lelah yang biasanya menyelimuti
jam terakhir perlahan hilang, berganti energi positif. Bahkan siswa yang
biasanya pasif kini terlihat bersemangat.
Di tengah keriuhan itu, saya
merasakan sesuatu yang berbeda. Ada kebahagiaan sederhana yang sulit
diungkapkan dengan kata-kata. Melihat senyum mereka, tawa mereka, dan bagaimana
mereka begitu menikmati proses belajar membuat hati saya ikut hangat.
Saya sadar, inilah tujuan saya.
Bukan hanya membuat mereka paham materi, tetapi juga membuat mereka pulang
dengan perasaan bahagia. Ketika siswa merasa senang belajar, mereka akan lebih
mudah mengingat apa yang dipelajari. Dan yang lebih penting, mereka akan
memiliki kenangan indah di sekolah.
Setelah beberapa putaran
pertanyaan, saya menutup kegiatan ice breaking itu. Anak-anak masih ingin
melanjutkan, tapi saya tersenyum dan berkata, “Cukup sampai di sini. Besok kita
bisa bermain lagi kalau kalian tetap semangat belajar.”
“Setujuuuu!” jawab mereka
serentak.
Kelas pun berlanjut dengan
penjelasan singkat untuk menutup materi hari itu. Saya bisa melihat jelas bahwa
suasana kelas sudah jauh berbeda. Tidak ada lagi wajah lesu atau kantuk. Yang
ada hanya wajah ceria penuh energi.
Ketika bel pulang berbunyi,
mereka keluar kelas sambil masih membicarakan permainan tadi. Beberapa siswa
mendekat dan berkata, “Bu, besok lagi ya mainnya!” Saya hanya mengangguk sambil
tersenyum, dalam hati saya ikut merasa puas.
Saya pulang dengan hati penuh
syukur. Saya merasa berhasil, meski hanya dengan dua potongan kertas lingkaran
berwarna biru dan oranye. Sesuatu yang sederhana, tetapi mampu mengubah
suasana.
Saya belajar bahwa seorang guru
memang tidak hanya dituntut menguasai materi, tetapi juga harus mampu
menghadirkan kebahagiaan dalam belajar. Ice breaking sederhana bisa menjadi
jembatan untuk mencairkan suasana, membangkitkan semangat, dan menanamkan kesan
positif pada siswa.
Saya pribadi, kebahagiaan itu
nyata ketika melihat senyum lepas siswa-siswi kelas 7G. Senyum yang akan selalu
saya ingat sebagai pengingat bahwa setiap usaha kecil seorang guru bisa berarti
besar bagi anak-anak. Semoga menginspirasi pembaca.
Cepu, 22 Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar