Jumat, 18 Juli 2025

Hikmah dari Status Sahabat

Karya : Gutamining Saida 
Kadang, pelajaran paling dalam tidak datang dari ruang kelas atau buku-buku tebal. Ia bisa datang dari percakapan singkat, dari sebaris status yang tak sengaja lewat di beranda media sosial, atau bahkan dari jawaban sederhana yang menyentuh sisi hati yang paling dalam.

Tadi pagi, saya melihat status sahabat saya . Ia tinggal di Kedungtuban, sahabat sejak lama yang sederhana dalam tutur, namun selalu penuh makna dalam kata. Dia  mengunggah foto dengan menawarkan barang barunya. Beberapa anak unggas berjejer rapi di kandang berwarna kuning sebagian ada hitamnya. Di bawahnya tertulis keterangan: "10K per ekor."

Saya penasaran, karena sekilas saya mengira itu adalah anak bebek. Maka  saya putuskan bertanya lewat pesan singkat.
“Itu bebek, ya?”
Jawabannya langsung, tanpa basa-basi:
“Bukan. Mentok.”
Unggas yang jarang saya lihat belakangan ini. Saya  lalu tertarik menanyakan lebih jauh. Entah karena penasaran atau karena memang sedang ingin berbincang.
“Cara memeliharanya sulit nggak?” tanya saya. 
Ia menjawab dengan ringan, seolah menyuguhkan teh hangat dalam obrolan:
“Nggak. Seperti memelihara ayam saja. Malah kalau diberi makan yang dicampur hijau-hijau, cepat besar.”

Obrolan ini awalnya hanya tentang ternak. Tentang hewan kecil yang dijual dengan harga sepuluh ribu. Namun kemudian saya tergoda untuk bertanya satu hal lagi. Sebuah pertanyaan yang tampaknya biasa, namun ternyata menyentuh bagian dalam diri saya sendiri.
“Kira-kira, bisa disembelih dalam jangka waktu berapa bulan?”

Lalu, datanglah jawaban yang tak terduga. Sebuah kalimat pendek yang menampar pelan hati saya. Kalimat yang mengguncang keangkuhan kecil dalam pikiran manusia yang terbiasa menghitung segalanya secara logika.

“Hanya Tuhan yang tahu.”

Saya terdiam. Tangan ini  menggenggam ponsel tapi tak segera membalas. Kalimat itu begitu kuat, begitu jujur, dan begitu menohok pemahaman aqidah yang selama ini terlalu mengandalkan nalar. Seketika saya merasa bodoh. Terasa benar, betapa dangkalnya aqidah saya dalam menanggapi sesuatu yang sebenarnya hanya Allah yang Maha Mengetahui.

Saya hanya bertanya soal waktu potong unggas. Tapi sahabat saya mengingatkan  bahwa hidup, tumbuh, dan mati adalah urusan Allah Subhanahu Wata'alla, bahkan pada makhluk sekecil mentok sekalipun. Saya yang tadi sibuk menghitung bulan dan menimbang waktu, tiba-tiba merasa tersadar: Ya Allah, betapa sering saya berpikir terlalu sempit… terlalu duniawi.

Saya langsung mengucap istighfar beberapa kali. Dalam hati, saya berbisik penuh penyesalan. 
“Ampuni saya , ya Allah… saya terlalu banyak mengira-ngira apa yang Engkau rahasiakan. Terlalu banyak berharap pada angka, padahal Kau tak pernah terikat hitungan manusia.”

Sahabat saya tidak sedang menguliahi. Ia hanya menjawab dengan jujur, dengan iman yang kuat. Tapi lewat jawabannya, Allah memberi saya pelajaran berharga. Bahwa tidak semua hal bisa diukur dengan matematika manusia. Matematika Allah jauh lebih luas, lebih rumit, dan lebih bijak dari semua rumus yang bisa kita pelajari.

Kadang kita lupa, bahwa rezeki datang bukan karena rencana, tapi karena rahmat. Bahwa hasil panen bukan karena pupuk dan jadwal, tapi karena izin-Nya. Bahwa umur manusia dan hewan sekalipun bukanlah sesuatu yang bisa kita tentukan, meskipun kita bisa memprediksi.  Kesuksesan, pertumbuhan, bahkan kematangan dalam hidup, semua itu adalah rahasia Allah semata.

Status sahabat saya bukan hanya penawaran barang dagangan. Itu adalah jendela yang Allah buka untuk menyadarkan saya. Lewat anak mentok, lewat harga sepuluh ribu, lewat pertanyaan biasa, dan lewat jawaban yang penuh iman, saya merasa dituntun kembali pada hakikat sebagai hamba Allah bahwa kita tidak memiliki apa-apa, bahkan terhadap hal yang tampak kecil.

Saya membalas sahabat saya  dengan ucapan terima kasih. Bukan karena ia menjual dagangan, tapi karena ia telah menyalakan kembali kesadaran yang mulai pudar. Barangkali ia tidak menyadari bahwa jawabannya barusan telah menyentuh satu titik rapuh dalam diri saya. 

Saat ini saya belajar satu hal yaitu jangan pernah anggap remeh hal kecil. Karena dari hal yang kecil, Allah bisa mengajarkan makna yang besar. Kita hanya perlu hati yang terbuka, dan rasa syukur yang jujur.

Terima kasih, sahabat. Terima kasih karena tidak menjawab dengan angka, tapi dengan keimanan. Terima kasih karena mengingatkan saya, bahwa Allah tidak butuh hitungan kita. Justru kitalah yang butuh pengingat dari-Nya. Bahkan meski lewat seekor mentok kecil.
Cepu, 18 Juli 2025 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar