Sabtu, 12 Juli 2025

Gas dan Doa Yang Menyala


Karya : Gutamining Saida 
Menjadi istri dan ibu rumah tangga sering kali identik dengan bisa segalanya mulai dari urusan dapur hingga tanggung jawab anak-anak. Namun tidak bagi saya. Ada satu hal yang selalu saya andalkan sepenuhnya pada suami yaitu memasang tabung gas elpiji. Bukan karena saya tidak mampu, tetapi karena memang belum pernah belajar. Ada rasa takut, trauma lama saat dulu mencoba dan terdengar suara mendesis. Sejak saat itu, saya mundur, menyerah, dan selalu berharap suami ada di rumah saat gas habis.

Setiap hari, saya memasak dua kali pagi dan malam. Sudah menjadi rutinitas selepas Subuh dan setelah Magrib. Kami hanya bertiga di rumah suami, saya dan anak. Namun kebutuhan untuk menyediakan makanan tetap sama pentingnya.

Kemarin suami pamit ke kota Tegal untuk antar cucu-cucu yang selesai liburan. Sebelum berangkat, beliau sempat mengecek tabung gas.
“Nanti cukup saya sampai pulang nggak, ya?” gumamnya sambil menimbang tabung.

Nada khawatir itu seolah pertanda. Beliau tahu, kalau gas habis saat dia tidak di rumah, saya akan kelimpungan. Saya hanya tersenyum, tak berpikir akan benar-benar terjadi.

Baru hari pertama gas sudah habis. Saya coba lagi, tak juga keluar api. Gasnya habis.

Saya duduk terdiam di kursi makan, memandangi kompor. Mau minta tolong tetangga? Malu. Seorang ibu rumah tangga tidak bisa pasang gas? Terlalu sederhana untuk disebut “masalah”, tetapi cukup membuat saya gelisah.
Saya sadar, saya tidak bisa seperti ini terus. Menunggu suami pulang masih empat hari lagi. Terlalu lama untuk hanya makan seadanya.

Lalu saya berdoa lirih dalam hati, “Ya Allah, bantu saya. Kalau bisa, kirimkan seseorang yang bisa menolong…”
Doa itu ternyata tidak lama berbalas. Selesai salat subuh  Bu Utomo, tetangga sebelah rumah. 
Saya spontan cerita sambil tersenyum kaku, “Mau masak, gasnya habis. Bingung saya…”
Tanpa banyak tanya, Bu Utomo tersenyum, “Sini, biar saya bantu pasangkan.”

Saya lega. Cepat-cepat saya ajak menuju dapur. Dalam waktu tak sampai lima menit, dengan cekatan Bu Utomo memasang regulator, memastikan tak ada bunyi aneh atau kebocoran. Kompor pun menyala.

“Sudah, coba dicek dulu. Aman,” katanya sambil membersihkan tangannya. 
“Masya Allah… Bu, makasih banget. Saya sampai nggak tahu harus bilang apa. Rasanya lega sekali.”
“Lain kali kalau butuh bantuan, bilang saja ya. Kita tetangga, saling bantu.”

Saya mengangguk berkali-kali, terharu. Dalam hati saya sadar, pertolongan datang lewat tangan orang baik. Doa yang saya panjatkan semalam Allah jawab dengan cara yang sederhana tetapi sangat berarti.

Tak hanya kompor yang menyala hari itu, tetapi juga semangat saya. Saya pun bertekad suatu hari saya harus bisa belajar memasang gas sendiri. Bukan untuk menggantikan peran suami, melainkan untuk menjadi pribadi yang lebih berani dan mandiri.

Nasi dan sayur kembali tersaji di meja makan.Merasa  lebih dari sekadar makanan, ada rasa syukur yang menghangatkan dada. Bahwa di tengah keterbatasan saya, Allah tetap hadir. Lewat tangan Bu Utomo, gas kembali menyala, dan saya kembali percaya bahwa selama ada niat dan doa, pasti ada jalan.
Cepu, 13 Juli 2025 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar