Karya: Gutamining Saida
Delapan bulan lalu, saya diuji
oleh Allah Subhanahu Wata’alla dengan rasa sakit yang tak terduga. Tubuh terasa
lemah, ada bagian yang seolah tak bisa lagi diajak kompromi. Awalnya saya
merasa cemas dan khawatir. Sejumlah dugaan dan rasa sakit mulai membayangi
pikiran. Namun justru dari titik itulah, saya kembali bersimpuh dalam
keheningan malam. Saya mencari, mendekat, berlari kepada Allah Subhanahu
Wata’alla yang selama ini mungkin telah saya abaikan dalam hiruk-pikuk dunia.
Sakit ini bukan hanya menyentuh
fisik, tapi juga hati. Setiap kali rasa nyeri, panas itu datang, saya menangis.
Tapi tangisan itu bukan semata karena rasa sakitnya, melainkan karena saya
sadar. Saya telah terlalu lama lalai. Saya telah terlalu jauh dari Allah
Subhanahu Wata’alla . Padahal hanya kepada-Nya saya bergantung hidup.
Di sepertiga malam, saya mulai
membangun kembali hubungan yang dulu sempat renggang. Saya duduk dalam gelap,
bersujud dengan hati yang penuh luka. Lisan yang tak berhenti memohon. Saya
menangis, bukan hanya karena sakit yang menyesakkan. Tapi karena saya merasa
begitu hina telah melupakan Allah
Subhanahu Wata’alla yang selama ini menjaga saya tanpa pamrih.
"Ya Allah... maafkan saya.
Saya kembali pada-Mu. Saya tidak kuat tanpa pertolongan-Mu..."
Itulah kalimat yang sering saya
bisikkan di sela-sela sujud panjang. Malam-malam tak lagi sepi, karena kini
penuh tangisan dan curahan hati. Saya menceritakan segalanya kepada-Nya.
Tentang lelah, kesakitan, penyesalan, dan keinginan saya untuk sembuh yaitu bukan
hanya secara jasmani, tetapi juga ruhani.
Ajaibnya, semakin saya dekat
kepada-Nya, semakin ringan pula sakit yang saya rasakan. Saya mulai bisa tidur
lebih nyenyak. Nafas terasa lebih lega. Hati jauh lebih tenang. Sakit itu
perlahan-lahan mereda, dan bahkan nyaris hilang.
Saya tahu itu bukan semata karena
obat dan terapi. Itu karena Allah Subhanahu Wata’alla mendengarkan saya. Itu
karena Allah Subhanahu Wata’alla menjawab jerit hati saya. Seperti manusia pada
umumnya, saat rasa sakit itu perlahan menghilang, saya mulai sibuk kembali
dengan rutinitas. Saya lupa bagaimana rasanya menangis dalam sujud. Saya mulai
jarang curhat kepada Allah Subhanahu Wata’alla. Saya kembali lalai, padahal
saya telah merasakan betapa indahnya saat hati begitu dekat dengan-Nya.
Seperti sebuah tamparan kasih
sayang dari Allah Subhanahu Wata’alla rasa sakit itu datang lagi. Kali ini,
berbeda tempat di bagian tubuh yang laim. Rasa sakitknya sama. Saya kembali
merasa tersayat. Saya merasa seperti ditarik lagi ke tempat semula, tempat di
mana saya benar-benar merasa membutuhkan Allah Subhanahu Wata’alla.
Awalnya saya bertanya,
"Kenapa lagi, Ya Allah?"
Kemudian hatiku menjawab,
"Karena engkau mulai menjauh lagi,"
Tersentak, saya kembali menangis.
Bukan karena rasa sakit yang baru saja datang, tapi karena saya sadar, Allah Subhanahu
Wata’alla masih sayang kepada saya. Allah Subhanahu Wata’alla tidak membiarkan
saya terlalu lama larut dalam kesibukan yang menjauhkan diri dari-Nya. Allah
Subhanahu Wata’alla memberiku teguran, sebuah sentilan lembut namun sangat
berarti yaitu melalui rasa sakit.
Seketika, saya merasa begitu
dicintai oleh Allah Subhanahu Wata’alla. Sakit ini bukan kutukan. Ini adalah
jalan untuk kembali. Sebuah undangan agar saya datang lagi ke pelukan Allah
Subhanahu Wata’alla.
Saya mencoba untuk tidak lagi
lalai. Saya menyadari bahwa sehat ataupun sakit, lapang ataupun sempit, saya
harus tetap dekat kepada Allah Subhanahu Wata’alla. Bukan hanya saat butuh,
bukan hanya saat tubuh lemah dan hati goyah. Tapi juga saat bahagia, saat
segalanya tampak baik-baik saja.
Teguran Allah Subhanahu Wata’alla
melalui sakit membuat saya lebih peka terhadap betapa rapuhnya saya tanpa
pertolongan-Nya. Saya belajar bahwa kesehatan bukan hanya anugerah, tapi juga
pengingat agar saya tak pernah menyombongkan diri. Bahwa sakit bukan hukuman,
melainkan panggilan kasih yang penuh cinta.
Kini di setiap sujud menjadi
lebih bermakna. Setiap sakit yang datang, saya syukuri. Karena hal ini menjadi
jalan untuk saya kembali kepada yang Maha Penyayang. Selama saya terus
melangkah mendekat kepada-Nya, saya tak akan pernah benar-benar sendiri.
Cepu, 6 April 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar