Dhe Tin, sapaan yang biasa
diberikan untuknya. Dia sudah sibuk sejak fajar. Perempuan paruh baya itu
tampak cekatan mempersiapkan bahan-bahan yang akan diolah menjadi hidangan khas
kampung Temulus bothok besusul.
Hari ini bukan hari biasa.
Saudara-saudaranya akan datang dari berbagai daerah yaitu ada yang dari Pati, Blora,
dan Kudus. Mereka akan berkumpul di rumah peninggalan orang tua, mengenang masa
kecil dan merawat tali silaturahmi yang sempat renggang karena kesibukan
masing-masing. Dhe Tin, sebagai saudara perempuan, merasa punya tanggung jawab
untuk menyambut mereka sehangat mungkin yaitu bukan hanya dengan pelukan,
tetapi juga dengan masakan yang penuh kenangan.
“Bothok besusul, masakan lawas yang tak pernah gagal menyatukan hati,” bisiknya pada diri sendiri sambil mulai menyiapkan bumbu. Di atas tampah, sudah tertata rapi bahan-bahannya yaitu lombok merah dan hijau, bawang putih, brambang atau bawang merah, beberapa butir kemiri, garam secukupnya, dan tentu saja kelapa parut dari kelapa muda. Di dalam bak, besusul segar yang dibeli hari kemarin dari tetangga. Hari ini diolah jadi hidangan istimewa dia bersama saudaranya pada masa kecil.
Dengan sabar, Dhe Tin menghaluskan
semua bumbu di cobek batu besar peninggalan orang tuanya. Setiap rempah yang ia
haluskan mengalirkan kenangan yaitu dapur kayu penuh asap, suara gelak tawa saudara-saudaranya saat kecil, dan tangan hangat ibu yang selalu telaten membungkus bothok besusul dengan daun pisang.
Setelah bumbu halus, ia
mencampurkannya dengan kelapa parut dan besusul. Ia aduk perlahan, memberi
sedikit air agar adonan tidak kering. Lalu satu per satu ia bungkus dengan daun
pisang yang telah dipanaskan sebentar di atas api agar lentur. Tangannya tak
henti bergerak, membungkus dan menyematkan lidi dengan rapi. Dandang besar pun
segera dipanaskan, dan uap mulai naik membawa aroma harum yang memikat.
Tak lama suara mobil terdengar
dari depan rumah. Dhe Tin melongok lewat jendela dapur. Benar saja, mobil
pertama datang membawa saudaranya dari Pati bersama keluarga kecilnya. Disusul
oleh Mobil dari Blora, dan motor dari Kudus. Wajah-wajah yang dulu hanya
terlihat lewat layar ponsel kini hadir nyata dengan senyum dan pelukan hangat.
“Wah, baunya khas ini! Mbak Dhe
Tin masak bothok ya?” seru saudaranya, Mas Munasri, sambil menaruh koper di
ruang tamu.
“Ya jelas, Mas. Kan ini makanan
yang kita semua suka. Biar mengenang masakan masa lalu,” jawab Dhe Tin sembari
menyodorkan teh hangat.
Menjelang siang, bothok
besusul matang. Dhe Tin mengangkatnya satu per satu dari kukusan dan
menatanya di atas tampah lebar. Aroma gurih yang tercampur harumnya daun pisang
memenuhi seluruh ruangan.
Mereka duduk lesehan, seperti
dulu saat masih kecil. Satu persatu bungkus bothok dibuka. Rasa gurih
kelapa, pedasnya bumbu, dan lembutnya ikan besusul langsung meledak di lidah,
membawa pulang semua kenangan yang sempat terbang oleh waktu.
“Ini... rasa yang nggak pernah
bisa dibeli di restoran mana pun,” ujar Mbak Mus, saudara perempuan nya,
dengan mata berkaca-kaca. “Rasanya kayak peluk dari Ibu.”
Dhe Tin tersenyum, tak berkata
banyak. Baginya, semua lelah terbayar lunas dengan momen sederhana ini. Di
balik rasa bothok, tersimpan cinta dan kerinduan, serta keinginan tulus
untuk menyatukan kembali saudara-saudara yang telah lama berpisah arah.
Hari minggu bukan hanya perut
yang kenyang. Tapi hati pun penuh. Dan di rumah tua yang penuh cerita itu, daun
pisang, kelapa, dan besusul telah menjalankan tugasnya yaitu menjadi jembatan
rasa, jembatan kasih.
Cepu, 15 April 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar