Senin, 14 April 2025

Bothok Besusul

Karya: Gutamining Saida

Dhe Tin, sapaan yang biasa diberikan untuknya. Dia sudah sibuk sejak fajar. Perempuan paruh baya itu tampak cekatan mempersiapkan bahan-bahan yang akan diolah menjadi hidangan khas kampung Temulus  bothok besusul.

Hari ini bukan hari biasa. Saudara-saudaranya akan datang dari berbagai daerah yaitu ada yang dari Pati, Blora, dan Kudus. Mereka akan berkumpul di rumah peninggalan orang tua, mengenang masa kecil dan merawat tali silaturahmi yang sempat renggang karena kesibukan masing-masing. Dhe Tin, sebagai saudara perempuan, merasa punya tanggung jawab untuk menyambut mereka sehangat mungkin yaitu bukan hanya dengan pelukan, tetapi juga dengan masakan yang penuh kenangan.

“Bothok besusul, masakan lawas yang tak pernah gagal menyatukan hati,” bisiknya pada diri sendiri sambil mulai menyiapkan bumbu. Di atas tampah, sudah tertata rapi bahan-bahannya yaitu lombok merah dan hijau, bawang putih, brambang atau bawang merah, beberapa butir kemiri, garam secukupnya, dan tentu saja kelapa parut dari kelapa muda. Di dalam bak, besusul segar yang dibeli hari kemarin dari tetangga. Hari ini diolah jadi hidangan istimewa dia bersama saudaranya pada masa kecil.

Dengan sabar, Dhe Tin menghaluskan semua bumbu di cobek batu besar peninggalan orang tuanya. Setiap rempah yang ia haluskan mengalirkan kenangan yaitu dapur kayu penuh asap, suara gelak tawa saudara-saudaranya saat kecil, dan tangan hangat ibu yang selalu telaten membungkus bothok besusul dengan daun pisang.

Setelah bumbu halus, ia mencampurkannya dengan kelapa parut dan besusul. Ia aduk perlahan, memberi sedikit air agar adonan tidak kering. Lalu satu per satu ia bungkus dengan daun pisang yang telah dipanaskan sebentar di atas api agar lentur. Tangannya tak henti bergerak, membungkus dan menyematkan lidi dengan rapi. Dandang besar pun segera dipanaskan, dan uap mulai naik membawa aroma harum yang memikat.

Tak lama suara mobil terdengar dari depan rumah. Dhe Tin melongok lewat jendela dapur. Benar saja, mobil pertama datang membawa saudaranya dari Pati bersama keluarga kecilnya. Disusul oleh Mobil dari Blora, dan motor dari Kudus. Wajah-wajah yang dulu hanya terlihat lewat layar ponsel kini hadir nyata dengan senyum dan pelukan hangat.

“Wah, baunya khas ini! Mbak Dhe Tin masak bothok ya?” seru saudaranya, Mas Munasri, sambil menaruh koper di ruang tamu.

“Ya jelas, Mas. Kan ini makanan yang kita semua suka. Biar mengenang masakan masa lalu,” jawab Dhe Tin sembari menyodorkan teh hangat.

Menjelang siang, bothok besusul matang. Dhe Tin mengangkatnya satu per satu dari kukusan dan menatanya di atas tampah lebar. Aroma gurih yang tercampur harumnya daun pisang memenuhi seluruh ruangan.

Mereka duduk lesehan, seperti dulu saat masih kecil. Satu persatu bungkus bothok dibuka. Rasa gurih kelapa, pedasnya bumbu, dan lembutnya ikan besusul langsung meledak di lidah, membawa pulang semua kenangan yang sempat terbang oleh waktu.

“Ini... rasa yang nggak pernah bisa dibeli di restoran mana pun,” ujar Mbak Mus, saudara perempuan nya, dengan mata berkaca-kaca. “Rasanya kayak peluk dari Ibu.”

Dhe Tin tersenyum, tak berkata banyak. Baginya, semua lelah terbayar lunas dengan momen sederhana ini. Di balik rasa bothok, tersimpan cinta dan kerinduan, serta keinginan tulus untuk menyatukan kembali saudara-saudara yang telah lama berpisah arah.

Hari minggu bukan hanya perut yang kenyang. Tapi hati pun penuh. Dan di rumah tua yang penuh cerita itu, daun pisang, kelapa, dan besusul telah menjalankan tugasnya yaitu menjadi jembatan rasa, jembatan kasih.

Cepu, 15  April 2025

 


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar