Selepas tarawih di musala, saya
berjalan pulang dengan hati yang tenteram. Udara Ramadan begitu sejuk, bulan
bersinar terang dan suara tadarus masih menggema di kejauhan. Dalam perjalanan
menuju kamar, saya merasakan ada yang mengikuti dari belakang.
Saya menoleh sekilas dan benar
saja, anak perempuan saya dengan senyum yang tersungging di bibirnya, berjalan
mendekati saya. Ada sesuatu yang ia sembunyikan di tangannya dan tatapan
matanya penuh makna.
Sesampainya di kamar sebelum saya
sempat bertanya. Dia menyelipkan sebuah amplop putih ke tangan saya dengan
gerakan cepat.
"Ini untuk Umi. Tidak
boleh ditolak. Titik!" katanya tegas, lalu segera berbalik dan pergi
ke kamarnya.
Saya hanya terpaku, memandangi
punggungnya yang menghilang di balik pintu. Ada rasa penasaran yang tiba-tiba
menyeruak. Apa yang sedang anakku lakukan? Kenapa harus ada amplop dan kenapa
harus dengan kata-kata seperti itu?
Dengan hati yang berdebar, saya
duduk di tepi tempat tidur, memegang amplop putih itu dengan jemari yang
sedikit gemetar. Rasanya amplop itu cukup tebal. Seakan berisi sesuatu yang
sangat berarti.
Saya menarik napas dalam-dalam,
lalu mulai membuka lipatan kertas yang ada di dalamnya. Begitu mata saya
menangkap deretan tulisan tangan yang sudah tak asing, air mata langsung
menggenang di pelupuk.
Membaca surat itu, dada saya
terasa sesak oleh haru. Air mata jatuh tanpa bisa saya tahan, membasahi pipi yang
sudah berkerut oleh usia. Saya membaca pelan-pelan dengan meresapi maknanya.
Saya melirik ke dalam amplop dan
menemukan sejumlah uang. Anak saya telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk
saya. Ini bukan tentang jumlahnya, tetapi tentang ketulusan yang saya rasakan
begitu mendalam.
Saya terisak, bukan karena jumlah
uang yang diberikan, tetapi karena rasa syukur yang meluap-luap dalam hati.
Allah Subhanahu Wata’alla telah memberikan anak-anak yang bukan hanya tumbuh
menjadi pribadi yang bertanggung jawab, tetapi juga penuh kasih sayang.
Saya ingin langsung menemuinya,
memeluknya erat dan mengatakan bahwa saya bangga padanya. Saya tahu, jika saya
lakukan itu sekarang, mungkin dia akan malah menangis juga.
Saya hanya duduk diam dalam
kamar, merenungi betapa besar nikmat yang Allah Subhanahu Wata’alla berikan
kepada saya. Saya tidak pernah meminta balasan atas apa yang telah saya lakukan
untuk anak-anak. Allah Subhanahu Wata’alla membalasnya dengan cara-Nya yang
indah. Allah Subhanahu Wata’alla lewatkan hati dan kasih sayang anak-anak tercinta.
Saya sujud syukur dalam doa yang
lebih lama dari biasanya. Saya meminta kepada Allah Subhanahu Wata’alla agar
selalu menjaga anak-anak saya, memberikan mereka kebahagiaan, melindungi mereka
dari segala kesulitan dan menjadikan mereka anak-anak yang istiqamah di
jalan-Nya.
Ketika saya bangkit dari sujud,
hati saya terasa lebih ringan, lebih penuh dengan rasa syukur. Ramadan ini
terasa begitu istimewa, bukan karena materi, tetapi karena cinta yang terjalin
dalam keluarga kami.
Saya akan melihat anak saya
dengan senyum yang berbeda. Senyum seorang ibu yang bangga, yang bersyukur kepada
Allah Subhanahu Wata’alla dan yang merasa dicintai dengan begitu tulus.
Saya sengaja mengabadikan momen
ini dalam tulisan bukan maksud pamer. Melainkan sebagai kenangan, menginspirasi
generasi akan datang. Semoga catatan ini bukan sekedar catatan pribadi tapi
sebagai dorongan bagi siapapun yang membaca untuk selalu mengingat, menghormati
dan membahagiakan orang tua selagi kesempatan itu masih ada. Semoga anak-anakku
menjadi anak sholeh dan sholehah. Aamiin.
Cepu. 28 Maret 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar