Jumat, 28 Maret 2025

Amplop di Bulan Suci

Karya: Gutamining Saida

Selepas tarawih di musala, saya berjalan pulang dengan hati yang tenteram. Udara Ramadan begitu sejuk, bulan bersinar terang dan suara tadarus masih menggema di kejauhan. Dalam perjalanan menuju kamar, saya merasakan ada yang mengikuti dari belakang.

Saya menoleh sekilas dan benar saja, anak perempuan saya dengan senyum yang tersungging di bibirnya, berjalan mendekati saya. Ada sesuatu yang ia sembunyikan di tangannya dan tatapan matanya penuh makna.

Sesampainya di kamar sebelum saya sempat bertanya. Dia menyelipkan sebuah amplop putih ke tangan saya dengan gerakan cepat.

"Ini untuk Umi. Tidak boleh ditolak. Titik!" katanya tegas, lalu segera berbalik dan pergi ke kamarnya.

Saya hanya terpaku, memandangi punggungnya yang menghilang di balik pintu. Ada rasa penasaran yang tiba-tiba menyeruak. Apa yang sedang anakku lakukan? Kenapa harus ada amplop dan kenapa harus dengan kata-kata seperti itu?

Dengan hati yang berdebar, saya duduk di tepi tempat tidur, memegang amplop putih itu dengan jemari yang sedikit gemetar. Rasanya amplop itu cukup tebal. Seakan berisi sesuatu yang sangat berarti.

Saya menarik napas dalam-dalam, lalu mulai membuka lipatan kertas yang ada di dalamnya. Begitu mata saya menangkap deretan tulisan tangan yang sudah tak asing, air mata langsung menggenang di pelupuk.

Membaca surat itu, dada saya terasa sesak oleh haru. Air mata jatuh tanpa bisa saya tahan, membasahi pipi yang sudah berkerut oleh usia. Saya membaca pelan-pelan dengan meresapi maknanya. 

Saya melirik ke dalam amplop dan menemukan sejumlah uang. Anak saya telah menyisihkan sebagian rezekinya untuk saya. Ini bukan tentang jumlahnya, tetapi tentang ketulusan yang saya rasakan begitu mendalam.

Saya terisak, bukan karena jumlah uang yang diberikan, tetapi karena rasa syukur yang meluap-luap dalam hati. Allah Subhanahu Wata’alla telah memberikan anak-anak yang bukan hanya tumbuh menjadi pribadi yang bertanggung jawab, tetapi juga penuh kasih sayang.

Saya ingin langsung menemuinya, memeluknya erat dan mengatakan bahwa saya bangga padanya. Saya tahu, jika saya lakukan itu sekarang, mungkin dia akan malah menangis juga.

Saya hanya duduk diam dalam kamar, merenungi betapa besar nikmat yang Allah Subhanahu Wata’alla berikan kepada saya. Saya tidak pernah meminta balasan atas apa yang telah saya lakukan untuk anak-anak. Allah Subhanahu Wata’alla membalasnya dengan cara-Nya yang indah. Allah Subhanahu Wata’alla lewatkan hati dan kasih sayang anak-anak tercinta.

Saya sujud syukur dalam doa yang lebih lama dari biasanya. Saya meminta kepada Allah Subhanahu Wata’alla agar selalu menjaga anak-anak saya, memberikan mereka kebahagiaan, melindungi mereka dari segala kesulitan dan menjadikan mereka anak-anak yang istiqamah di jalan-Nya.

Ketika saya bangkit dari sujud, hati saya terasa lebih ringan, lebih penuh dengan rasa syukur. Ramadan ini terasa begitu istimewa, bukan karena materi, tetapi karena cinta yang terjalin dalam keluarga kami.

Saya akan melihat anak saya dengan senyum yang berbeda. Senyum seorang ibu yang bangga, yang bersyukur kepada Allah Subhanahu Wata’alla dan yang merasa dicintai dengan begitu tulus.

Saya sengaja mengabadikan momen ini dalam tulisan bukan maksud pamer. Melainkan sebagai kenangan, menginspirasi generasi akan datang. Semoga catatan ini bukan sekedar catatan pribadi tapi sebagai dorongan bagi siapapun yang membaca untuk selalu mengingat, menghormati dan membahagiakan orang tua selagi kesempatan itu masih ada. Semoga anak-anakku menjadi anak sholeh dan sholehah. Aamiin.

Cepu. 28 Maret 2025


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar