Jumat, 28 Maret 2025

Hikmah Menjengguk Bu Eli

Karya: Gutamining Saida

Saya bersama empat ibu-ibu berangkat menuju rumah sakit untuk menjenguk teman. Bu Eli teman kami yang sedang sakit. Kami mendengar bahwa Bu Eli habis dioperasi dan dirawat membuat kami merasa perlu segera menjenguknya. Kami sebagai perwakilan atas nama keluarga besar esmega. Kami tidak membawa buah tangan berupa makanan atau minuman, hanya sebuah amplop sebagai tanda kepedulian dan doa agar Bu Eli lekas sembuh.

Sesampainya di rumah sakit kota Bojonegoro, kami berjalan melewati lorong-lorong. Suasana rumah sakit selalu menghadirkan rasa haru, melihat orang-orang yang sedang berjuang melawan penyakit mereka. Suara perawat yang sibuk bekerja, bau khas rumah sakit, serta wajah-wajah penuh harapan di setiap sudut mengingatkan kami bahwa sehat adalah anugerah yang sangat berharga.

Saat kami sampai di depan kamar perawatan Bu Eli. Kami melirik ke dalam sebelum membuka pintu. Tak seperti kebanyakan pasien yang ditemani keluarganya, Bu Eli hanya sendirian. Tidak ada sanak saudara atau kerabat yang menemaninya. Hanya ada segelas susu, buah, air mineral di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Hati kami langsung terasa nyeri melihatnya dalam keadaan seperti itu. Bu Eli terbaring di tempat tidur hanya ditemani televisi untuk menghilangkan kesunyian.

Begitu melihat kami masuk, Bu Eli tersenyum lemah. Wajahnya tampak pucat, tapi matanya berbinar seakan bahagia karena ada yang datang menemuinya.

"Masya Allah, kalian datang!" katanya dengan suara pelan tetapi penuh kehangatan.

Kami segera mendekat dan duduk di sekitar tempat tidurnya. Kami saling berjabat tangan bergantian, menggenggam tangannya dengan lembut.

"Bagaimana kabarnya, Bu Eli?" tanya bu Yanti.

Bu Eli tersenyum tipis. "Alhamdulillah, sedikit lebih baik. Tapi masih harus banyak istirahat."

Kami melirik sekeliling kamar, memastikan apakah ada keluarganya di luar. Tidak ada. Hanya kesunyian yang terasa.

"Bu Eli, kenapa sendirian? Mana keluarga?" tanya Bu Fitri dengan lembut.

Bu Eli menarik napas pelan. "Suamiku kemarin pulang. Anak-anak di rumah Cepu. Mereka bilang akan datang, tapi mungkin belum bisa saat ini. Sejak kemarin, aku hanya ditemani perawat yang sesekali masuk untuk mengecek kondisiku."

Kami semua terdiam. Ada perasaan haru yang menyelimuti hati kami.

"Apa selama ini keluarga tidak ada yang datang menjenguk?" tanya Bu Isna pelan.

Bu Eli menggeleng. "Tidak ada. Tapi tidak apa-apa, aku mengerti. Mereka pasti sibuk."

Saya merasakan dada sesak. Sungguh, tak bisa dibayangkan bagaimana rasanya sakit dan sendirian di rumah sakit tanpa ada keluarga yang menemani. Rasa sepi dan rindu pasti bercampur menjadi satu.

Bu Ning menggenggam tangan Bu Eli erat. "Bu Eli, sekarang kami di sini. Anggap saja kami keluarga. Kami akan mendoakan selama yang kami bisa."

Air mata Bu Eli tampak menggenang, tapi ia cepat-cepat tersenyum. "Terima kasih. Kehadiran kalian benar-benar menghangatkan hatiku."

Kami pun mengobrol ringan untuk menghiburnya. Bu Eli bercerita tentang awal sakitnya, bagaimana ia mulai merasa linu hingga akhirnya harus dioperasi. Ia mengaku sangat merindukan hari-hari sehatnya, saat bisa beraktivitas bebas tanpa harus bergantung pada orang lain.

"Ternyata sakit itu benar-benar ujian," katanya lirih. "Saya baru sadar betapa berharganya bisa berjalan tanpa rasa sakit, bisa makan tanpa kesulitan, bisa tidur nyenyak tanpa harus terbangun karena nyeri. Dulu, hal-hal kecil itu saya anggap biasa saja. Sekarang saya sadar bahwa sehat adalah nikmat yang sering terlupakan."

Kami semua mengangguk setuju. Memang benar, ketika sehat kita sering kali lupa bersyukur kapada Allah Subhanahu Wata’alla. Saat tubuh diuji, kita menyadari betapa berharganya kesehatan.

Bu Ning kemudian berkata, "Itulah sebabnya kita harus selalu bersyukur. Kadang kita baru menyadari nikmat saat sudah kehilangannya. Sehat itu mahal, Bu Eli, dan sakit ini mungkin cara Allah Subhanahu Wata’alla mengingatkan kita untuk lebih mendekat kepada-Nya."

Bu Eli mengangguk pelan. "Iya, selama di sini aku jadi lebih banyak berdoa, lebih banyak mengingat Allah. Aku sadar bahwa sakit ini bukan hanya cobaan, tapi juga jalan untuk semakin dekat kepada-Nya."

Kami pun menghiburnya dengan kata-kata semangat dan doa. Sebelum berpamitan, kami menyerahkan amplop yang sudah kami siapkan.

"Ini sedikit bantuan dari keluarga esmega, Bu Eli. Semoga bisa membantu keperluan selama di rumah sakit," kata Bu Yanti.

Bu Eli tampak terharu. Ia menggenggam amplop itu dengan kedua tangannya. "Terima kasih banyak. Bukan hanya karena ini, tapi karena kalian sudah datang, sudah menyempatkan waktu untuk menjengukku. Kehadiran kalian lebih berharga dari apa pun."

Kami semua tersenyum dan menggenggam tangannya satu per satu sebelum berpamitan. Saat berjalan keluar kamar, kami merasa lega bisa memberikan sedikit kebahagiaan kepada Bu Eli.

Di lorong rumah sakit, aku melihat banyak pasien lain. Beberapa hanya ditemani perawat, beberapa tampak termenung menatap langit-langit. Pemandangan itu membuat hatiku semakin sedih.

Di depan rumah sakit, kami berlima duduk sejenak. Banyak motor terparkir dan mobil-m0bil berjajar sepanjang jalan. Tempat parkir penuh.

"Aku jadi berpikir, kita harus lebih sering menjenguk orang sakit," kata Bu Fitri.

"Iya," sahut Bu Ning. "Menjenguk bukan hanya untuk mereka, tapi juga untuk kita sendiri. Agar kita bisa belajar bersyukur dan tidak menyia-nyiakan kesehatan."

"Kita juga harus lebih peka terhadap orang-orang di sekitar kita," tambah Bu Isna. "Mungkin ada tetangga atau saudara yang sakit, tapi tak ada yang menemani. Jangan sampai mereka merasa sendirian."

Kami semua mengangguk setuju. Dengan perasaan penuh hikmah, kami pun melangkah pulang, membawa pelajaran berharga dari kunjungan hari ini. Saya berjanji dalam hati, mulai sekarang akan lebih sering menjenguk orang sakit, bukan hanya sebagai bentuk kepedulian, tapi juga sebagai pengingat bahwa sehat adalah anugerah yang tak boleh disia-siakan. Salam selat.

Cepu, 28 Maret 2025

 



 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar