Saya bersama empat ibu-ibu
berangkat menuju rumah sakit untuk menjenguk teman. Bu Eli teman kami yang
sedang sakit. Kami mendengar bahwa Bu Eli habis dioperasi dan dirawat membuat
kami merasa perlu segera menjenguknya. Kami sebagai perwakilan atas nama
keluarga besar esmega. Kami tidak membawa buah tangan berupa makanan atau
minuman, hanya sebuah amplop sebagai tanda kepedulian dan doa agar Bu Eli lekas
sembuh.
Sesampainya di rumah sakit kota
Bojonegoro, kami berjalan melewati lorong-lorong. Suasana rumah sakit selalu
menghadirkan rasa haru, melihat orang-orang yang sedang berjuang melawan
penyakit mereka. Suara perawat yang sibuk bekerja, bau khas rumah sakit, serta
wajah-wajah penuh harapan di setiap sudut mengingatkan kami bahwa sehat adalah
anugerah yang sangat berharga.
Saat kami sampai di depan kamar
perawatan Bu Eli. Kami melirik ke dalam sebelum membuka pintu. Tak seperti
kebanyakan pasien yang ditemani keluarganya, Bu Eli hanya sendirian. Tidak ada
sanak saudara atau kerabat yang menemaninya. Hanya ada segelas susu, buah, air
mineral di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Hati kami langsung
terasa nyeri melihatnya dalam keadaan seperti itu. Bu Eli terbaring di tempat
tidur hanya ditemani televisi untuk menghilangkan kesunyian.
Begitu melihat kami masuk, Bu Eli
tersenyum lemah. Wajahnya tampak pucat, tapi matanya berbinar seakan bahagia
karena ada yang datang menemuinya.
"Masya Allah, kalian
datang!" katanya dengan suara pelan tetapi penuh kehangatan.
Kami segera mendekat dan duduk di
sekitar tempat tidurnya. Kami saling berjabat tangan bergantian, menggenggam
tangannya dengan lembut.
"Bagaimana kabarnya, Bu
Eli?" tanya bu Yanti.
Bu Eli tersenyum tipis.
"Alhamdulillah, sedikit lebih baik. Tapi masih harus banyak
istirahat."
Kami melirik sekeliling kamar,
memastikan apakah ada keluarganya di luar. Tidak ada. Hanya kesunyian yang
terasa.
"Bu Eli, kenapa sendirian?
Mana keluarga?" tanya Bu Fitri dengan lembut.
Bu Eli menarik napas pelan.
"Suamiku kemarin pulang. Anak-anak di rumah Cepu. Mereka bilang akan
datang, tapi mungkin belum bisa saat ini. Sejak kemarin, aku hanya ditemani
perawat yang sesekali masuk untuk mengecek kondisiku."
Kami semua terdiam. Ada perasaan
haru yang menyelimuti hati kami.
"Apa selama ini keluarga
tidak ada yang datang menjenguk?" tanya Bu Isna pelan.
Bu Eli menggeleng. "Tidak
ada. Tapi tidak apa-apa, aku mengerti. Mereka pasti sibuk."
Saya merasakan dada sesak.
Sungguh, tak bisa dibayangkan bagaimana rasanya sakit dan sendirian di rumah
sakit tanpa ada keluarga yang menemani. Rasa sepi dan rindu pasti bercampur
menjadi satu.
Bu Ning menggenggam tangan Bu Eli
erat. "Bu Eli, sekarang kami di sini. Anggap saja kami keluarga. Kami akan
mendoakan selama yang kami bisa."
Air mata Bu Eli tampak
menggenang, tapi ia cepat-cepat tersenyum. "Terima kasih. Kehadiran kalian
benar-benar menghangatkan hatiku."
Kami pun mengobrol ringan untuk
menghiburnya. Bu Eli bercerita tentang awal sakitnya, bagaimana ia mulai merasa
linu hingga akhirnya harus dioperasi. Ia mengaku sangat merindukan hari-hari
sehatnya, saat bisa beraktivitas bebas tanpa harus bergantung pada orang lain.
"Ternyata sakit itu
benar-benar ujian," katanya lirih. "Saya baru sadar betapa
berharganya bisa berjalan tanpa rasa sakit, bisa makan tanpa kesulitan, bisa
tidur nyenyak tanpa harus terbangun karena nyeri. Dulu, hal-hal kecil itu saya
anggap biasa saja. Sekarang saya sadar bahwa sehat adalah nikmat yang sering
terlupakan."
Kami semua mengangguk setuju. Memang benar, ketika sehat
kita sering kali lupa bersyukur kapada Allah Subhanahu Wata’alla. Saat tubuh
diuji, kita menyadari betapa berharganya kesehatan.
Bu Ning kemudian berkata, "Itulah sebabnya kita harus
selalu bersyukur. Kadang kita baru menyadari nikmat saat sudah kehilangannya.
Sehat itu mahal, Bu Eli, dan sakit ini mungkin cara Allah Subhanahu Wata’alla mengingatkan
kita untuk lebih mendekat kepada-Nya."
Bu Eli mengangguk pelan.
"Iya, selama di sini aku jadi lebih banyak berdoa, lebih banyak mengingat
Allah. Aku sadar bahwa sakit ini bukan hanya cobaan, tapi juga jalan untuk
semakin dekat kepada-Nya."
Kami pun menghiburnya dengan
kata-kata semangat dan doa. Sebelum berpamitan, kami menyerahkan amplop yang
sudah kami siapkan.
"Ini sedikit bantuan dari keluarga
esmega, Bu Eli. Semoga bisa membantu keperluan selama di rumah sakit,"
kata Bu Yanti.
Bu Eli tampak terharu. Ia
menggenggam amplop itu dengan kedua tangannya. "Terima kasih banyak. Bukan
hanya karena ini, tapi karena kalian sudah datang, sudah menyempatkan waktu
untuk menjengukku. Kehadiran kalian lebih berharga dari apa pun."
Kami semua tersenyum dan
menggenggam tangannya satu per satu sebelum berpamitan. Saat berjalan keluar
kamar, kami merasa lega bisa memberikan sedikit kebahagiaan kepada Bu Eli.
Di lorong rumah sakit, aku
melihat banyak pasien lain. Beberapa hanya ditemani perawat, beberapa tampak
termenung menatap langit-langit. Pemandangan itu membuat hatiku semakin sedih.
Di depan rumah sakit, kami
berlima duduk sejenak. Banyak motor terparkir dan mobil-m0bil berjajar
sepanjang jalan. Tempat parkir penuh.
"Aku jadi berpikir, kita
harus lebih sering menjenguk orang sakit," kata Bu Fitri.
"Iya," sahut Bu Ning.
"Menjenguk bukan hanya untuk mereka, tapi juga untuk kita sendiri. Agar
kita bisa belajar bersyukur dan tidak menyia-nyiakan kesehatan."
"Kita juga harus lebih peka
terhadap orang-orang di sekitar kita," tambah Bu Isna. "Mungkin ada
tetangga atau saudara yang sakit, tapi tak ada yang menemani. Jangan sampai
mereka merasa sendirian."
Kami semua mengangguk setuju.
Dengan perasaan penuh hikmah, kami pun melangkah pulang, membawa pelajaran
berharga dari kunjungan hari ini. Saya berjanji dalam hati, mulai sekarang akan
lebih sering menjenguk orang sakit, bukan hanya sebagai bentuk kepedulian, tapi
juga sebagai pengingat bahwa sehat adalah anugerah yang tak boleh disia-siakan.
Salam selat.
Cepu, 28 Maret 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar