Karya : Gutamining Saida
Hari Pahlawan selalu menjadi momen yang penuh makna bagi bangsa Indonesia. Setiap tanggal 10 November, suasana di sekolah selalu terasa berbeda. Bendera merah putih berkibar lebih gagah dari biasanya. Tahun ini, saya ingin menjadikan momen Hari Pahlawan sebagai kesempatan terbaik untuk menanamkan nilai nasionalisme dan keteladanan pada siswa. Sebagai guru Ilmu Pengetahuan Sosial, saya merasa momentum ini sangat tepat untuk membangun kesadaran sejarah dan menumbuhkan semangat cinta tanah air.
Beberapa hari sebelum peringatan Hari Pahlawan, saya sudah menyiapkan rencana pembelajaran khusus. Tujuannya sederhana yaitu agar siswa tidak hanya mengenal nama-nama pahlawan, tetapi juga memahami perjuangan dan keteladanan mereka. Saya ingin setiap anak menemukan inspirasi dari kisah nyata para pejuang bangsa, bukan sekadar hafal nama dan tanggal perjuangan.
Saya mulai kegiatan dengan memberikan tugas sederhana. Melalui grup kelas, saya meminta siswa mencari satu gambar pahlawan nasional yang mereka kagumi. Bersama gambar itu, mereka saya minta menuliskan deskripsi singkat mengenai siapa pahlawan tersebut dan apa jasanya bagi Indonesia. Beberapa hari sebelumnya mereka saya minta untuk menelusuri berbagai sumber. Saya berharap proses mencari itu juga menjadi pengalaman belajar mandiri.
Hari Senin tiba, dan kebetulan bertepatan dengan upacara peringatan Hari Pahlawan di sekolah. Setelah upacara selesai, suasana masih terasa khidmat. Lagu-lagu perjuangan masih terngiang di telinga, dan beberapa siswa tampak masih terbawa suasana haru. Di kelas, saya memulai pelajaran dengan menanyakan:
“Siapa di antara kalian yang pernah merasa ingin seperti pahlawan?”
Beberapa tangan terangkat. Ada yang menjawab ingin seperti Cut Nyak Dien karena keberaniannya, ada juga yang ingin seperti Soekarno karena kecerdasannya dalam memperjuangkan kemerdekaan. Saya tersenyum melihat semangat itu tumbuh dalam diri mereka.
Setelah itu, saya menjelaskan kegiatan hari ini. Setiap siswa akan membuat karya yang berisi biodata pahlawan, perjuangan, nilai keteladanan, dan semboyan inspiratif yang dapat memotivasi orang lain. Saya juga menyediakan gunting, lem, dan beberapa alat tulis warna agar mereka bisa berkreasi sebebas mungkin.
“Buatlah semenarik mungkin. Karya kalian nanti akan kita pajang di dinding kelas sebagai galeri kepahlawanan,” saya menambahkan dengan antusias.
Suasana kelas pun berubah menjadi hidup. Siswa mulai membuka ponsel untuk melihat kembali gambar pahlawan yang sudah mereka pilih. Ada yang sibuk menggunting, ada yang menulis dengan huruf besar di bagian atas kertas bertuliskan nama pahlawannya. Saya berjalan berkeliling, memperhatikan satu per satu hasil kerja mereka. Beberapa siswa tampak begitu teliti menulis biodata dan kisah perjuangan. Ada yang menulis tentang Jenderal Sudirman dengan kalimat penuh kekaguman: “Meski sakit, beliau tetap memimpin perang gerilya demi kemerdekaan bangsa.” Ada pula yang memilih R.A. Kartini dan menulis semboyan yang menyentuh hati: “Cahaya tidak akan padam meski diterpa gelap, seperti semangat Kartini yang terus menyala.”
Saya tidak berhenti kagum dengan kreativitas mereka. Kertas-kertas yang semula kosong kini berubah menjadi karya penuh warna, sarat makna, dan berisi pesan moral mendalam. Ada gambar-gambar pahlawan yang digunting dengan rapi, dihiasi pita, bahkan diberi bingkai kecil dari kertas lipat. Beberapa siswa tampak saling membantu, menukar spidol atau saling memberi saran agar hasilnya lebih bagus. Suasana kelas terasa begitu hangat dan penuh kerja sama.
Salah satu siswa, Vano yang biasanya kurang aktif di pelajaran IPS, hari itu terlihat sangat bersemangat. Ia memilih pahlawan Bung Tomo. Dengan wajah serius ia menulis semboyan di bagian bawah kertas:
“Perjuangan tidak akan berakhir selama kita masih mencintai negeri ini.”
Saya tersenyum dan menepuk bahunya, “Bagus sekali, Semangatmu hari ini seperti Bung Tomo saat berorasi.”
Waktu dua jam pelajaran berlalu tanpa terasa. Hasil karya pun selesai satu per satu. Saya meminta mereka mengumpulkan karya di papan pajangan yang sudah saya siapkan di dinding kelas. Suasana kelas kini penuh warna, penuh semangat kepahlawanan. Karya mereka pahlawan nasional seperti Pangeran Diponegoro, Pattimura, Ki Hajar Dewantara, sampai pahlawan perempuan seperti Martha Christina Tiahahu dan Dewi Sartika semuanya terkumpul rapi dengan tulisan tangan anak-anak yang penuh ketulusan.
Saya meminta beberapa siswa maju untuk membacakan semboyan yang mereka tulis. Ada yang terbata-bata karena gugup, tapi setiap kata yang keluar begitu jujur dan menyentuh.
“Jangan takut berbuat baik untuk negeri, karena sekecil apa pun perbuatanmu akan dikenang,” ucap salah satu siswa dengan lantang. Kelas pun memberi tepuk tangan meriah.
Saat kegiatan berakhir, saya menutup pelajaran dengan refleksi bersama. Saya bertanya, “Apa yang kalian rasakan setelah mengenal lebih dekat pahlawan bangsa?”
Salah satu siswa menjawab, “Saya jadi sadar, Bu, bahwa menjadi pahlawan tidak harus berperang. Kita bisa jadi pahlawan dengan belajar sungguh-sungguh dan berbuat baik setiap hari.”
Jawaban itu membuat hati saya hangat. Saya tahu, nilai yang ingin saya tanamkan telah sampai.
Kelas 8H bukan sekadar ruang belajar, tapi menjadi tempat lahirnya kesadaran baru tentang arti perjuangan. Saya merasa bangga sebagai guru IPS, karena bisa menjadikan momen Hari Pahlawan bukan hanya seremonial, tapi pengalaman belajar yang menyentuh hati. Melihat wajah-wajah siswa yang tersenyum puas di akhir pelajaran, saya yakin semangat para pahlawan masih hidup, berdenyut dalam jiwa generasi penerus bangsa.
Cepu, 12 November 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar