Karya : Gutamining Saida 
Ada satu titik dalam kehidupan manusia ketika segala sesuatu terasa menekan. Dunia seakan menutup rapat ruang gerak, memberi beban di dada, dan menyesakkan napas. Pikiran bercabang ke banyak arah, hati resah oleh berbagai masalah, dan tubuh pun terasa lelah karena harus menanggung beban yang tidak terlihat oleh mata orang lain. Pada momen inilah, manusia sering kali merasakan titik terendah dalam kehidupannya.  Justru di sanalah letak puncak nikmat itu tersembunyi yakni ketika seseorang masih mampu tersenyum dan dengan lirih mengucapkan Alhamdulillah.
Ucapan sederhana itu bukan sekadar kata, melainkan bentuk ketundukan dan kesadaran. Bahwa sebesar apa pun masalah yang menghimpit, Allah Subhanahu Wata'alla masih memberikan kekuatan untuk bertahan. Tersenyum di tengah kesesakan bukan berarti tidak ada beban, melainkan bukti bahwa hati masih hidup dan masih diberi kemampuan untuk mengendalikan diri. Senyum itu adalah cahaya kecil yang lahir dari keyakinan, bahwa semua yang terjadi pasti ada hikmahnya.
Rasa sesak oleh dunia sering datang tiba-tiba. Bisa dari urusan pekerjaan yang tidak kunjung selesai, ekonomi yang terasa sempit, hubungan sosial yang renggang, atau kesehatan yang menurun. Semua itu seakan menjadi dinding tebal yang menghalangi langkah. Namun, orang beriman tidak berhenti di situ. Ia tahu bahwa setiap ujian selalu disertai janji pertolongan dari Allah Subhanahu Wata'alla . Maka meskipun dadanya terasa penuh, ia memilih untuk menenangkan diri dengan mengucapkan syukur.
“Alhamdulillah,” ucapnya pelan, seakan meneguhkan hati. Kata itu menjadi kunci untuk membuka pintu kesabaran. Ia sadar bahwa nikmat Allah Subhanahu Wata'alla jauh lebih besar daripada masalah yang sedang dihadapi. Udara yang masih bisa dihirup, langkah yang masih bisa ditapakkan, keluarga yang masih menemani, semua itu adalah anugerah yang sering kali terlupa. Saat dunia terasa menyesakkan, mengingat nikmat kecil seperti ini justru mampu melapangkan hati.
Senyum yang terukir dalam kesempitan hidup bukanlah senyum kepura-puraan. Itu adalah senyum keikhlasan. Senyum yang menandakan bahwa hati masih percaya pada rencana Allah Subhanahu Wata'alla. Kadang manusia hanya melihat detik ini, hari ini, bahkan hanya masalah yang ada di depan mata.  Allah Subhanahu Wata'alla sudah menyiapkan jalan keluar yang tidak pernah disangka. Keyakinan akan adanya hikmah membuat seseorang mampu melewati ujian dengan tegar.
Balik pada akhirnya itulah yang diyakini. Setiap kesulitan akan berakhir, setiap luka akan sembuh, dan setiap air mata akan berganti dengan kebahagiaan. Dunia hanyalah tempat singgah sementara, yang penuh dengan ujian dan cobaan. Sedangkan tujuan akhir manusia adalah kembali kepada Allah Subhanahu Wata'alla dengan hati yang tenang. Maka, sesak oleh dunia justru menjadi pengingat agar tidak terlalu bergantung pada dunia, melainkan kembali mendekat pada Sang Pencipta.
Puncak nikmat sejati bukanlah ketika semua keinginan tercapai, bukan pula ketika hidup tanpa masalah. Puncak nikmat justru hadir ketika manusia berada di tengah badai, namun masih bisa menegakkan kepala, menarik napas, dan berkata dalam hati: “Ya Allah, aku percaya, Engkau tidak akan membebani hamba-Mu melebihi batas kemampuannya.” Keyakinan ini membuat hati menjadi lapang meski dunia terasa sempit.
Betapa indahnya ketika seseorang mampu tersenyum di tengah tangis, mengucap syukur di tengah kehilangan, dan tetap yakin pada pertolongan Allah Subhanahu Wata'alla meski jalan keluar belum terlihat. Senyum itulah yang akan menjadi saksi bahwa hati masih teguh, iman masih terjaga, dan jiwa masih berpegang pada tali-Nya. Maka benar adanya, saat kita merasakan sesak oleh dunia namun masih bisa tersenyum, itulah tanda kita sedang meraih puncak nikmat kehidupan.
Cepu, 7 September 2025 

Tidak ada komentar:
Posting Komentar