Hari Jumat, suasana kelas 7F terasa
berbeda. Dari pengeras suara terdengar pengumuman yang sudah sangat akrab di
telinga, “Siswa-siswi dipersilakan mengambil jatah MBG.” Setiap kali pengumuman
itu terdengar, para siswa sudah tahu bahwa kegiatan makan rutin yang mereka
nantikan akan segera dimulai. Beberapa petugas dari tiap kelas menuju ke ruang
Sasana Krida mengambil jatah MBG.
Di kelas 7F, para siswa tampak
mulai sibuk dengan aktivitas masing-masing. Ada yang langsung berdiri mengambil
tempat duduk yang menurut mereka paling nyaman, dan ada pula yang malah sibuk
berlarian keluar kelas dengan alasan meminta izin. Beberapa anak datang kepada
saya sambil berkata, “Bu, saya izin membeli sendok,” atau, “Bu, saya izin
membeli minum.”
Hal semacam ini sudah menjadi
pemandangan yang biasa. Entah mengapa, meskipun jam istirahat sudah tersedia
untuk mempersiapkan segala sesuatu, tetap saja ada beberapa siswa yang kurang
siap. Mereka baru tersadar ketika kegiatan MBG hendak dimulai. Seandainya
mereka sudah menyiapkan semua peralatan saat istirahat, tentu kegiatan bisa
berjalan lebih lancar.
Dari sekian banyak siswa yang
masih sering terburu-buru, hari itu perhatian saya tertuju pada tiga siswi yang
berbeda dari biasanya. Mereka adalah Naila, Callista, dan Rena.
Ketiganya tampak duduk di bangku mereka dengan rapi, senyum menghiasi wajah,
dan yang lebih mengejutkan yaitu mereka sudah menyiapkan sendok makan
masing-masing. Bukan sembarang sendok, tetapi sendok yang sama persis modelnya.
“Eh, lihat dong, Bu, sendok
kami!” ujar salah satu dari mereka sambil mengangkat sendok ke udara.
Saya mendekat, penasaran dengan
apa yang mereka maksud. Ternyata benar, sendok yang mereka bawa memang seragam.
Dua sendok pegangannya berwarna pink ada gambar lucu yang satu berwarna biru dengan
bahan dari melamin. Mereka kemudian tertawa kecil, saling menunjukkan sendok
itu seolah-olah sedang memamerkan barang berharga.
“Kami sengaja, Bu,” kata Rena
sambil tersenyum lebar. “Iya, Bu, ini namanya COOPELAN bertiga. Kami janji bawa
sendok yang sama biar kompak,” tambah Callista dengan mata berbinar. Naila ikut
mengangguk mantap, wajahnya penuh kebanggaan karena berhasil menepati janji
kecil bersama teman-temannya.
Mendengar cerita itu, hati saya
terasa hangat. Di tengah hiruk pikuk anak-anak yang masih berlarian membeli
minum atau membeli sendok ke kantin, ternyata ada sekelompok kecil siswa yang
justru menunjukkan kekompakan dan persiapan matang. Sungguh kontras sekali.
Saya pun spontan meminta mereka
mengulurkan sendok yang dibawa. Mereka bertiga serentak mengangkat sendok ke
depan, membentuk semacam simbol persahabatan yang sederhana namun bermakna.
Tanpa berpikir panjang, saya mengambil ponsel dan memotret momen itu. Ketiganya
tampak ceria, wajah mereka bersinar penuh kegembiraan.
“Wah, keren sekali kalian! Kompak
banget,” puji saya.
Tawa pun pecah. Beberapa teman
sekelas yang lain ikut menoleh ke arah mereka, sebagian berkomentar iri, “Asik
banget, mereka bawa sendok samaan.” Ada juga yang menimpali, “Besok aku juga
mau ikut COOPELAN!”
Suasana kelas yang tadinya agak
gaduh berubah menjadi lebih hangat. Semua tampak menikmati suasana kebersamaan
MBG, bukan hanya sekadar makan bersama, tetapi juga berbagi cerita kecil yang
membuat pengalaman itu semakin bermakna.
Di balik keriangan, saya berpikir
bahwa kegiatan MBG ternyata tidak sekadar memenuhi kebutuhan gizi siswa. Lebih
dari itu, kegiatan ini mampu menjadi ruang kebersamaan yang unik. Ada cerita
lucu, ada persahabatan yang semakin erat, bahkan ada kreativitas kecil seperti
yang dilakukan Naila, Callista, dan Rena.
Momen sederhana seperti membawa
sendok dengan model yang sama, jika dilihat sepintas memang sepele. Namun, dari
situlah nilai-nilai kebersamaan tumbuh. Ketiganya menunjukkan bahwa
persahabatan bisa diwujudkan lewat hal kecil yaitu sendok yang seragam. Sikap
mereka juga memberi teladan bahwa persiapan adalah hal penting, berbeda dengan
beberapa teman yang masih sering tergesa-gesa dan kurang siap.
Saya jadi teringat bahwa
anak-anak seusia mereka masih dalam tahap mencari identitas dan jati diri.
Mereka senang membentuk kelompok kecil, senang punya kesamaan dengan teman
dekat, dan merasa bangga ketika bisa tampil beda dari yang lain. COOPELAN sendok
itu menjadi simbol kecil persahabatan mereka, yang kelak mungkin akan selalu
mereka ingat meskipun sudah naik kelas delapan atau bahkan lulus.
Setelah semua siap, kegiatan MBG
pun berjalan lancar. Siswa menikmati makanan mereka dengan lahap. Sesekali
terdengar gelak tawa, candaan antar teman, dan obrolan ringan yang membuat
suasana kelas semakin hidup. Saya memperhatikan wajah-wajah mereka, penuh
kebahagiaan yang sederhana.
Saya merasa bersyukur bisa
menjadi bagian dari perjalanan mereka. Bahagia sekali melihat anak-anak bisa
menikmati kebersamaan, meskipun hanya melalui sendok dan makanan sederhana. Kelas
7F memberikan saya pelajaran berharga. Bahwa kebahagiaan tidak harus besar,
tidak harus mewah. Terkadang, kebahagiaan bisa lahir dari sendok yang sama, dan
dari tawa lepas di tengah kesederhanaan.
Momen MBG dengan “COOPELAN sendok
bertiga” itu akan selalu menjadi kenangan indah, bukan hanya bagi Naila,
Callista, dan Rena, tetapi juga bagi saya yang berkesempatan melihatnya secara
langsung. Semoga menginspirasi.
Cepu, 22 Agustus 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar