Karya : Gutamining Saida
Pagi itu, suasana di ruang guru cukup ramai. Obrolan ringan antar guru, tawa kecil menjadi pengiring aktivitas awal hari. Di antara semua kehangatan itu, ada satu momen kecil yang tiba-tiba menarik perhatian saya kedatangan Bu Ning, rekan sejawat kami, dengan sebuah tas kresek dari rumah.
"Ini, teman-teman, saya bawa gethuk mawur khas Cepu, cobain ya!" katanya sambil tersenyum cerah.
Mata saya langsung berbinar. Gethuk mawur! Sudah lama saya tidak menikmati makanan tradisional yang satu ini. Saya pun mendekat dan mengambil satu bungkus yang masih hangat, dibalut daun pisang yang disemat rapi dengan tusuk gigi. Harumnya langsung menguar begitu saya pegang. Parutan kelapa yang putih dan segar tampak menutupi potongan ketela yang berantakan tapi menggoda.
Begitu saya sampai di meja kerja, saya dikejutkan oleh sebuah pemandangan kecil yang tak saya duga ternyata di atas meja saya sudah ada satu bungkus gethuk yang sama, diletakkan oleh seseorang entah siapa, mungkin Bu Ning atau teman lain yang tahu saya suka makanan tradisional.
Saya sempat terdiam, tersenyum kecil. Dalam hati saya berkata, “Wah, ternyata sudah ada. Kalau begitu, yang saya ambil tadi lebih baik dikembalikan.”
Dengan langkah ringan, saya memutar arah dan kembali ke meja Bu Ning. Saya letakkan bungkus yang saya ambil tadi dengan pelan di atas mejanya.
“Bu, sudah ada di meja. Tadi saya tidak tahu, makanya ambil lagi. Ini saya kembalikan, biar teman lain juga bisa kebagian,” ucap saya dengan senyum.
Bu Ning membalas dengan ramah, “Wah, iya Bu, tadi saya yang taruh di meja njenengan. Makasih ya sudah dikembalikan. Kadang kalau kita buru-buru, memang suka nggak sadar.”
Saya hanya mengangguk. Momen kecil seperti itu mungkin tampak sepele, tapi entah kenapa, hati saya hangat. Ada nilai kejujuran, perhatian, dan kebersamaan yang mengalir diam-diam. Bahkan dari sekadar bungkusan makanan.
Lalu, apa sebenarnya gethuk mawur?
Gethuk mawur adalah makanan khas dari ketela pohon atau singkong yang ditumbuk tidak sampai halus. Mawur, dalam bahasa Jawa, berarti ‘berhamburan’ atau ‘tersebar’, maka ketelanya tidak dibentuk padat dan rapi, melainkan dibiarkan sedikit bercecer. Teksturnya unik, rasa gurihnya menonjol karena kelapa parut yang dicampur dengan sedikit garam, dan aromanya wangi karena dibungkus daun pisang. Gethuk ini sederhana tapi kaya cita rasa. Sekali mencicip, bisa ketagihan.
Saya duduk perlahan di kursi dekat jendela, membuka bungkus gethuk saya yang ternyata sudah disiapkan sejak tadi. Saya mencuil sepotong kecil dengan tangan. Lembut, gurih, dan sedikit kasar teksturnya masih terasa. Rasanya membawa saya pada kenangan masa kecil.
Gethuk ini bukan sekadar jajanan pasar. Ia membawa serta kenangan masa lalu. Dulu Ibu saya sering membelikan gethuk mawur sepulang dari pasar tradisional. Kami biasa menikmatinya di pagi hari, di beranda rumah yang sederhana, sambil menyeruput teh panas. Saat itu saya belum tahu apa istimewanya. Tapi hari ini, duduk di ruang guru sambil menikmati gethuk buatan tangan tulus yang dibawa oleh Bu Ning, saya benar-benar paham bahwa makanan ini menyimpan rasa rindu dan nilai kebersamaan.
Saya melirik ke arah Bu Ning yang sedang membagikan bungkus-bungkus gethuk lainnya ke rekan guru. Wajahnya berseri-seri, seperti sedang membagikan kebahagiaan yang dibawanya dari rumah. Saya mendekat dan berkata, “Bu Ning, ini gethuknya enak banget. Gurihnya pas, kelapanya gurih sekali.”
Beliau tersenyum. “Alhamdulillah, Bu Saida. Itu belinya di dekat rumah. Saya tadi hanya bantu bungkus dan bawa ke sekolah. Katanya, makanan seperti ini jangan dilupakan.”
Saya mengangguk, sepenuh hati. Memang, di tengah serbuan jajanan kekinian, gethuk mawur tetap punya tempat. Ia bukan hanya mengenyangkan, tapi mengingatkan bahwa kebaikan bisa dibagi lewat hal sederhana. Semoga bermanfaat dan menginspirasi.
Cepu, 18 Juni 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar