Karya :Gutamining Saida
Udara di halaman SMPN 3 Cepu terasa segar. Langit cerah seolah turut menyambut semangat warga sekolah yang akan mengikuti senam “Anak Sehat”. Siswa-siswi berkumpul dengan rapi, membentuk barisan yang panjang dari sisi utara ke selatan. Musik senam mulai menggema dari pengeras suara, menandakan kegiatan akan segera dimulai. Satu per satu gerakan dipandu oleh teman instruktur dari sekelas yang berdiri di depan.
Bapak dan Ibu guru juga ikut andil dalam kegiatan pagi itu. Mereka berdiri di belakang barisan siswa, bersemangat mengikuti irama lagu dan gerakan senam. Di antara para guru, ada sosok Bu Wiwik yang selalu ceria dan penuh pengamatan. Gerakan senamnya tak kalah lincah dari siswa. Namun, di tengah-tengah gerakan memutar badan dan mengangkat tangan ke atas, pandangan matanya terpaku pada sesuatu.
Matanya meluncur ke arah deretan pot besar di sisi timur halaman. Di sana, bunga bogenviel berwarna ungu dan merah muda tumbuh subur dalam pot beton yang berbaris rapi. Tapi yang menarik perhatian Bu Wiwik bukan bunga-bunga itu. Di antara dua pot bogenviel, ada sebuah tas kecil berwarna abu yang terlihat mencolok. Tas itu tampak imut, model tenteng, dan diletakkan dengan hati-hati di atas pohon bunga bogenviel yang cantik.
Bu Wiwik spontan berseru, "Lho, itu tas siapa ya? Di pohon bunga bogenviel?"
Saya yang berdiri tak jauh darinya langsung menoleh ke arah yang disebutkan. Benar saja, ada tas mungil warna abu-abu. Tanpa sadar, saya ikut bertanya, "Loh itu tas milik Bu Indri ya?"
Bu Indri, yang kebetulan berdiri di dekat kami, hanya tersenyum. Senyumnya tipis, seperti menyimpan sesuatu yang lucu, tapi tak ingin banyak bicara.
"Senam kok ya bawa tas, Bu?" tanya saya lagi, kali ini dengan nada sedikit kepo, karena jujur saja, tak biasa melihat tas diletakkan di area terbuka saat kegiatan fisik seperti ini.
Bu Indri masih tersenyum, lalu menjawab ringan, “Itu tas, isinya banyak uangnya, kaca mata juga.”
Saya sontak tertawa, “Ooooh…” begitu saja respon saya, sambil membayangkan isi tas yang katanya penuh uang dan kacamata itu.
Rupanya, tas tersebut ditaruh di sana dengan alasan keamanan. Diletakkan di dekat pot besar yang tidak banyak dilalui siswa agar tak terinjak atau terambil secara tidak sengaja. Dengan begitu, Bu Indri bisa senam dengan tenang tanpa was-was memikirkan tasnya.
Melihat itu, kami semua jadi tertawa kecil. Bu Wiwik pun melanjutkan gerakan senam sambil sesekali melirik ke arah pot, seolah memastikan tas “berharga” itu tetap aman.
“Bu Indri ini memang unik ya,” celetuk Bu Arti, guru IPA. “Orang lain biasanya simpan tas di ruang guru, ini malah di atas pot bunga.”
Bu Indri hanya tertawa, “Lha daripada nanti tertinggal di kelas, saya taruh dekat sini saja. Kelihatan, gampang diambil lagi.”
Saya yang mendengar jadi berpikir, memang kadang cara sederhana bisa jadi solusi praktis. Di antara tawa itu, muncullah komentar jenaka dari Pak Bambang, guru IPS yang ikut senam tadi.
“Wah, itu namanya senam sambil melatih kewaspadaan. Badan sehat, tas pun selamat!”
Tawa pecah kembali. Meski hanya kejadian kecil, suasana pagi itu jadi penuh keceriaan. Cerita tentang tas kecil warna abu berubah jadi topik ringan yang menghangatkan suasana.
"Bu, itu tadi tas siapa?" tanya seorang siswi sambil menunjuk ke arah pot.
"Rahasia," jawab Bu Indri sambil tersenyum lebar.
Anak-anak tertawa, dan satu di antaranya berbisik, “Pasti isinya harta karun.”
Momen sederhana itu mengajarkan kami bahwa setiap kegiatan di sekolah, sekecil apa pun, bisa menjadi kenangan yang indah. Ada keceriaan, ada kekonyolan kecil, dan ada kebersamaan yang mempererat hubungan antarguru maupun antara guru dan siswa.
Saat senam selesai, saya sempat melihat Bu Indri berjalan menuju tasnya yang masih setia tergeletak di antara pot bogenviel. Dengan tenang, ia menenteng tas itu, lalu mengajak kami menuju ruang guru.
Tas abu itu mungkin bukan barang istimewa. Tapi di pagi yang penuh gerak dan tawa itu, tas tersebut telah menjadi bagian dari cerita yang akan terus dikenang.
Cepu, 3 April 2025
Tidak ada komentar:
Posting Komentar