Karya : Gutamining Saida
Senin pagi saya membuka ponsel dan tanpa sengaja melihat story dari seorang teman. Ia membagikan momen saat mengantar anaknya kembali ke pondok pesantren. Seketika, hati saya tercekat. Gambaran itu begitu familiar, begitu dekat, dan membawa pikiran saya kembali ke masa-masa beberapa tahun silam. Masa di mana saya menjalani suka duka menjadi orang tua santri dan masa-masa penuh perjuangan, doa dan air mata.
Ingatan saya melayang ke hari-hari pertama melepas anak ke pondok. Saya masih ingat betapa besar harapan saya saat itu. Saya ingin anak-anak menjadi pribadi yang bukan hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki akhlak yang baik dan kuat dalam nilai-nilai agama. Saya tahu, untuk mewujudkan impian itu, diperlukan langkah besar panjang dan salah satunya adalah dengan melepasnya menimba ilmu di pondok pesantren.
Tapi siapa sangka, langkah itu ternyata tidak semudah yang dibayangkan. Hari pertama mengantarnya ke pondok, saya menyembunyikan gelisah dalam senyum. Saya peluk tubuh kecilnya, mencium keningnya dalam-dalam, seolah ingin menitipkan seluruh kekuatan dan keberanian lewat pelukan itu. Waktu itu dia masih begitu kecil lulus dari MI, wajahnya polos, matanya berbinar-binar antara antusias dan takut. Tangannya menggenggam erat tas saya seolah belum rela dipisahkan dari dunia kecilnya yang selama ini aman di rumah.
Setelah serah terima dan berkenalan dengan pengasuh pondok, saya harus berpamitan. Dia masih mencoba tegar. Tapi saat saya melangkah pergi dan menoleh untuk terakhir kalinya, saya lihat ia berdiri di balik jendela, matanya berkaca-kaca, bibirnya bergetar menahan isak. Dan di situlah, saya tak sanggup lagi menahan tangis. Saya melangkah menjauh dengan dada yang terasa sesak, air mata tumpah ruah, berusaha kuat tapi hati seolah direnggut.
Sejak hari itu, hidup saya tak lagi sama. Rindu menjadi makanan sehari-hari. Tiap malam, saya merenung, bertanya-tanya bagaimana keadaannya, apa ia cukup makan, apakah dia bisa tidur nyenyak, apakah ia menangis diam-diam di malam hari.
Setiap ada jadwal jenguk, hati saya selalu berbunga. Tapi perjalanan ke pondok bukanlah hal yang mudah. Kadang butuh berjam-jam untuk sampai ke sana. Melewati jalan yang berkelok, menahan kantuk, dan menempuh jarak jauh. Tapi semua lelah itu hilang begitu melihat bayangan anak saya dari kejauhan.
Lucunya, kadang waktu perjalanan tidak sebanding dengan waktu bertemu. Saya bisa menempuh empat hingga lima jam perjalanan hanya untuk bertemu beberapa menit. Seringkali waktu jenguk dibatasi, apalagi kalau sedang banyak tamu atau ada kegiatan khusus di pondok. Tapi tetap, momen itu sangat berharga. Bisa memandang wajahnya, mendengar suaranya, melihat senyumnya meskipun singkat, adalah anugerah tak ternilai.
Ada momen yang paling menyayat, yaitu ketika harus berpisah lagi. Setelah bercakap-cakap sebentar, Makan bersama dengan makanan kesukaan yang saya bawakan dari rumah. Saya harus berpamitan lagi. Dan seperti biasa, ia akan menahan air mata. Terkadang dia hanya diam menunduk, menggenggam ujung bajunya, tak ingin berpisah. Hati saya pun runtuh berkeping-keping. Di situlah, seperti biasa saya akan menenangkannya. Saya bisikkan nasihat, pesan, dan doa tujuannya agar ia kuat, agar ia betah, agar ia selalu dalam lindungan Allah Subhanahu Wata'ala .
"Hati - hati jaga diri, semoga diberi kemudahan kelancaran dalam menuntut ilmu. Semoga menjadi anak sholeh. Aamiin." Kalimat itu selalu menjadi penutup perjumpaan kami.
Hari demi hari berlalu. Tangis lambat laun berubah menjadi kekuatan. Saya melihat anak saya tumbuh menjadi pribadi yang tangguh. Dari jauh saya menyaksikan perubahan demi perubahan. Ia mulai terbiasa dengan kehidupan pondok, mulai mencintai aktivitas keagamaannya, mulai mandiri. Saat ia pulang, ia menceritakan suasana teman - temannya saat di pondok, mengajari saya tentang kehidupan di lingkungan pondok, mengingatkan saya tentang waktu sholat, bahkan menasihati adiknya dengan bijak. Dan saat itu, saya menangis lagi. Tapi kali ini bukan karena sedih, melainkan karena haru dan syukur kepada Allah Subhanahu Wata'ala yang tak terhingga.
Menjadi orang tua santri bukan hal yang mudah. Tapi di balik lelah, rindu, dan air mata itu, ada pahala besar yang sedang ditabung. Ada cinta yang dirajut dalam diam. Ada doa yang dipanjatkan setiap malam. Dan ada harapan yang pelan-pelan mulai menjadi nyata.
Setiap kali melihat story teman tentang anak-anak mereka di pondok saya tersenyum, meneteskan air mata bahagia. Rasa-rasanya, saya sudah melewati fase itu. Tapi kenangannya akan selalu tinggal, terpatri dalam hati. Sebab di sanalah saya belajar bahwa menjadi orang tua bukan hanya tentang memberi, tapi juga tentang melepaskan dia dengan ikhlas dan cinta.
Cepu, 14 April 2025
-
Siip
BalasHapus