Minggu, 05 Oktober 2025

Pasar Rakyat Mengodaku





Karya : Gutamining Saida 
Matahari belum benar-benar tenggelam di ufuk barat. Langit tampak lembayung, warnanya berbaur antara jingga dan ungu muda. Angin sore berembus lembut, membawa aroma tanah dan dedaunan kering dari pepohonan di pinggir jalan. Jum’at sore yang biasanya saya gunakan untuk beristirahat setelah seharian di sekolah, kali ini terasa berbeda. Anak perempuan saya, dengan senyum khasnya yang penuh semangat, tiba-tiba mengajak saya pergi ke pasar rakyat di desa Pengkok.

Acara itu diadakan dalam rangka memperingati HUT ke-80 Provinsi Jawa Timur, berlangsung selama tiga hari, mulai tanggal 3 sampai 5 Oktober 2025. “Ayo mii, jalan-jalan sebentar saja.  Ada pasar rakyat nformasinya rame, banyak UMKM ikut bazar!” bujuknya dengan nada penuh antusias.

Saya sempat ragu sejenak, tapi akhirnya luluh juga. Siapa yang bisa menolak ajakan anak sendiri yang wajahnya berbinar seperti itu. Kami pun berangkat menjelang senja, lokasi pasar rakyat tidak terlalu jauh dari rumah.

Begitu memasuki area pasar rakyat, suasananya langsung menyapa dengan hiruk-pikuk. Di kanan kiri jalan, sekitar empat puluh tenda UMKM berdiri berjajar rapi. Spanduk-spanduk kecil bergoyang tertiup angin, menampilkan tulisan-tulisan kreatif: “Jajanan Tradisional Asli Desa Ngradin”, "Jajanan Desa Dengok", “Tas Rajut Handmade”, “Kerajinan Batik Bojonegoro”, dan masih banyak lagi.

Saya melangkah pelan, menikmati suasana yang ramai tapi menyenangkan. Di sisi kanan jalan, deretan penjual makanan tampak sibuk melayani pembeli. Ada aroma gorengan tahu isi yang menggoda, bau sate yang terbakar di atas arang, yang baru saja matang.

Namun anehnya, saya tidak terlalu tertarik. Entah mengapa, meski berbagai jajanan tampak menggoda mata, perut saya belum benar-benar memanggil. “Mii, mau minum teh es? Atau jeruk peras?” tanya anak saya sambil menunjuk salah satu stand minuman kekinian. Saya hanya tersenyum dan menggeleng. “Tidak usah dulu, nanti saja,” jawab saya.

Kami melanjutkan langkah, berbelok menuju deretan stand suvenir dan kerajinan tangan. Di sana mata saya langsung terpaku pada berbagai benda unik diantaranya tas rajut berwarna pastel, topeng kayu khas Jawa Timur, gelang manik-manik, hingga kain batik dengan motif yang menawan. Saya berhenti cukup lama di salah satu stand yang menampilkan batik khas Bojonegoro. Warna dasarnya cokelat keemasan, warna biru motif daun jati dengan dasar hitam berpadu dengan motif daun jati yang halus dan elegan.

Saya memperhatikan dengan seksama. “Mirip batik Blora, ya, mii?” kata anak saya sambil memegang ujung kain itu. Saya tersenyum kecil. “Iya, hampir sama. Tapi motifnya ini… lebih tegas, seperti menggambarkan jati yang kokoh dan anggun,” jawab saya sambil menelusuri lembut permukaan kain. Dalam hati, saya mulai terpikat.

Awalnya saya hanya ingin melihat-lihat, tapi penjualnya ramah dan pandai berbicara. “Ibu, ini batik Bojonegoro yang paling banyak dicari loh, motifnya langka. Bisa dipakai untuk baju, bisa juga untuk kado,” katanya dengan senyum meyakinkan. Akhirnya, tanpa berpikir panjang, saya mengeluarkan dompet. “Baiklah, saya beli satu lembar,” ujar saya sambil tertawa kecil pada diri sendiri.

Kami pun melangkah lagi ke area kuliner. Di sinilah godaan sebenarnya dimulai. Barisan meja dipenuhi aneka kue kering dan camilan tradisional yaitu  rengginang, peyek kacang, kembang goyang, kerupuk, stik keju, keripik singkong, sambal pecel dan madumongso. Aroma gurih dan manis bercampur di udara.

Harga-harganya juga tidak membuat gentar. Mulai dari seribu rupiah saja, kata si penjual dengan bangga. Saya menelan ludah. “Wah, murah-murah, ya…” gumam saya pelan. Tanpa sadar tangan saya mulai meraih satu bungkus rengginang. “Coba ini, ini juga enak,” timpal anak saya sambil menambahkan satu bungkus stik ke dalam kresek.

Awalnya hanya niat mencicipi sedikit, tapi ternyata kami berdua terjebak dalam godaan rasa. Setiap langkah, selalu ada sesuatu yang menarik perhatian yaitu keripik pare yang katanya tidak pahit, kue semprong renyah isi wijen, dan permen jahe buatan rumahan. Kami tertawa sambil saling mengingatkan, “Sudah cukup ya, jangan beli lagi.” Tapi langkah berikutnya, kami berhenti lagi di stand lain. Begitulah, sampai akhirnya tanpa sadar tangan kami sudah penuh dengan tas kresek berisi jajanan.

Ketika keluar arena pasar, saya menatap anak saya yang kini membawa tiga tas plastik besar, wajahnya berseri tapi sedikit menyesal. “Aduh, Mii  kita khilaf?” katanya sambil tertawa.

Saya tertawa juga. “Iya, Nak. Awalnya cuma mau lihat-lihat, eh malah menguras isi dompet.” Kami berdua terbahak di pinggir jalan, antara menyesal dan bahagia. Ada rasa lelah di kaki, tapi hati terasa ringan. Uang mungkin berkurang, tapi pengalaman sore itu sungguh berharga.

Di perjalanan pulang, kami berjalan pelan sambil menikmati udara malam yang mulai sejuk. Jalan desa yang tadinya ramai kini mulai sepi, hanya terdengar suara jangkrik dari kejauhan. Saya menoleh pada anak saya, lalu tersenyum. “Kadang, kebahagiaan sederhana itu datang dari hal kecil seperti ini, ya,” ujar saya pelan. Ia mengangguk sambil tersenyum. “Iya, Mii. Yang penting kita senang bareng.”

Sesampainya di rumah, kami membuka satu per satu isi belanjaan. Meja makan berubah jadi seperti lapak kecil yaitu  rengginang, kembang goyang, stik, batik baru, dan beberapa botol minuman yang tadi sempat dibeli anak saya diam-diam. Kami menertawakan diri sendiri lagi. “Khilaf yang manis,” kata saya sambil mencicipi peyek. Sore itu, kami belajar satu hal bahwa kadang niat yang sederhana bisa berubah jadi kisah kecil yang indah, apalagi jika dijalani bersama orang yang kita sayangi.
Cepu, 5 Oktober 2025 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar