Karya: Gutamining Saida
Di sebuah desa kecil yang asri,
jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, seorang guru bernama Bu Ningsih setiap pagi
berjuang menempuh perjalanan sejauh 15 kilometer menuju tempatnya mengajar.
Jalan berliku, berbatu, dan sesekali berlobang seribu menjadi teman setianya.
Namun, semangatnya tak pernah pudar karena ia tahu bahwa pendidikan adalah
kunci bagi anak-anak desa untuk menggapai mimpi.
Bu Ningsih telah mengabdikan diri
sebagai pendidik di SMP satu kurang lebih dari satu dekade. Meski lelah fisik
sering dirasakan, ia selalu merasa bahagia melihat murid-muridnya tersenyum
ketika memahami pelajarannya. Sayangnya, pada suatu pagi, tubuhnya mulai
memberontak. Nyeri di tulang punggung yang ia rasakan selama beberapa bulan
terakhir semakin parah. Setiap kali ia harus mengendarai motornya melewati
jalan bergelombang, rasa sakit itu seperti menusuk hingga ke tulang belakang.
Ia tahu, ini bukan sesuatu yang bisa diabaikan.
Dengan berat hati, Bu Ningsih
memutuskan untuk berkonsultasi dengan dokter. Hasil pemeriksaan menunjukkan
bahwa ia menderita masalah serius pada tulang punggungnya. Dokter menyarankan
agar ia mengurangi aktivitas berat, termasuk perjalanan jauh setiap hari. Saran
ini menjadi pukulan berat baginya. Ia tak ingin meninggalkan anak didiknya,
namun kesehatan juga tidak bisa dikompromikan.
Setelah berdiskusi panjang dengan
keluarganya, Bu Ningsih akhirnya memutuskan untuk mengajukan mutasi ke sekolah
yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya. Keputusan itu ia ambil dengan hati
yang berat, namun ia yakin ini adalah langkah terbaik untuk kesehatannya.
Hari berikutnya, ia menghadap
kepala sekolah dengan membawa hasil diagnosis dokter sebagai bukti. Dengan
penuh rasa hormat, Bu Ningsih menyampaikan permohonan mutasinya. Kepala
sekolah, yang sudah lama mengenal Bu Ningsih, tampak terkejut sekaligus sedih.
Namun, ia memahami kondisi tersebut dan memberikan izin. “Saya akan sangat merasa
kehilangan seorang guru di sini, Bu Ningsih. Tapi kesehatan adalah yang utama.
Segeralah buat surat permohonan mutasi dan ajukan ke dinas,” ujar kepala
sekolah dengan nada lirih.
Bu Ningsih segera membuat surat
permohonan mutasi dan melengkapinya dengan dokumen pendukung, termasuk surat
keterangan dari dokter. Ia berharap prosesnya akan berjalan lancar. Pada hari
yang telah ditentukan, ia pergi ke dinas pendidikan kabupaten dengan membawa
berkas tersebut.
Namun, kenyataan tidak selalu
berjalan sesuai harapan. Saat tiba di dinas, ia mendapat kabar bahwa pengajuan
mutasinya harus menunggu tanda tangan bupati. Sayangnya, bupati sedang cuti
untuk keperluan pemilihan kepala daerah (pilkada). Proses administratif pun
tertunda hingga waktu yang tidak ditentukan. Bu Ningsih merasa kecewa, namun ia
tahu bahwa tak ada gunanya marah atau menyerah. Ia pulang dengan perasaan
campur aduk, mencoba mencari cara untuk bertahan hingga proses mutasi selesai.
Hari-hari berikutnya terasa berat
bagi Bu Ningsih. Ia tetap menjalankan tugasnya sebagai guru, meski rasa sakit
di punggung sering kali membuatnya hampir menyerah. Setiap pagi, ia berusaha
menguatkan diri untuk menempuh perjalanan yang melelahkan. Di sekolah, ia tetap
memberikan yang terbaik untuk murid-muridnya, meski tubuhnya menjerit
kesakitan.
Di sela-sela waktu luangnya, Bu
Ningsih terus memantau perkembangan proses mutasi. Ia sesekali menghubungi
petugas dinas untuk menanyakan kabar. Jawaban yang ia terima selalu sama. Sabar
adalah satu-satunya pilihan yang ia miliki. Dalam kesunyian malam, ia sering
merenung dan berdoa, berharap Allah Subhanahu Wata’alla memberikan kekuatan dan
kemudahan baginya.
Cepu, 29 November 2024
Tidak ada komentar:
Posting Komentar