Jumat, 29 November 2024

Kesabaran Bu Ningsih

 



Karya: Gutamining Saida

Di sebuah desa kecil yang asri, jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, seorang guru bernama Bu Ningsih setiap pagi berjuang menempuh perjalanan sejauh 15 kilometer menuju tempatnya mengajar. Jalan berliku, berbatu, dan sesekali berlobang seribu menjadi teman setianya. Namun, semangatnya tak pernah pudar karena ia tahu bahwa pendidikan adalah kunci bagi anak-anak desa untuk menggapai mimpi.

Bu Ningsih telah mengabdikan diri sebagai pendidik di SMP satu kurang lebih dari satu dekade. Meski lelah fisik sering dirasakan, ia selalu merasa bahagia melihat murid-muridnya tersenyum ketika memahami pelajarannya. Sayangnya, pada suatu pagi, tubuhnya mulai memberontak. Nyeri di tulang punggung yang ia rasakan selama beberapa bulan terakhir semakin parah. Setiap kali ia harus mengendarai motornya melewati jalan bergelombang, rasa sakit itu seperti menusuk hingga ke tulang belakang. Ia tahu, ini bukan sesuatu yang bisa diabaikan.

Dengan berat hati, Bu Ningsih memutuskan untuk berkonsultasi dengan dokter. Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa ia menderita masalah serius pada tulang punggungnya. Dokter menyarankan agar ia mengurangi aktivitas berat, termasuk perjalanan jauh setiap hari. Saran ini menjadi pukulan berat baginya. Ia tak ingin meninggalkan anak didiknya, namun kesehatan juga tidak bisa dikompromikan.

Setelah berdiskusi panjang dengan keluarganya, Bu Ningsih akhirnya memutuskan untuk mengajukan mutasi ke sekolah yang lebih dekat dengan tempat tinggalnya. Keputusan itu ia ambil dengan hati yang berat, namun ia yakin ini adalah langkah terbaik untuk kesehatannya.

Hari berikutnya, ia menghadap kepala sekolah dengan membawa hasil diagnosis dokter sebagai bukti. Dengan penuh rasa hormat, Bu Ningsih menyampaikan permohonan mutasinya. Kepala sekolah, yang sudah lama mengenal Bu Ningsih, tampak terkejut sekaligus sedih. Namun, ia memahami kondisi tersebut dan memberikan izin. “Saya akan sangat merasa kehilangan seorang guru di sini, Bu Ningsih. Tapi kesehatan adalah yang utama. Segeralah buat surat permohonan mutasi dan ajukan ke dinas,” ujar kepala sekolah dengan nada lirih.

Bu Ningsih segera membuat surat permohonan mutasi dan melengkapinya dengan dokumen pendukung, termasuk surat keterangan dari dokter. Ia berharap prosesnya akan berjalan lancar. Pada hari yang telah ditentukan, ia pergi ke dinas pendidikan kabupaten dengan membawa berkas tersebut.

Namun, kenyataan tidak selalu berjalan sesuai harapan. Saat tiba di dinas, ia mendapat kabar bahwa pengajuan mutasinya harus menunggu tanda tangan bupati. Sayangnya, bupati sedang cuti untuk keperluan pemilihan kepala daerah (pilkada). Proses administratif pun tertunda hingga waktu yang tidak ditentukan. Bu Ningsih merasa kecewa, namun ia tahu bahwa tak ada gunanya marah atau menyerah. Ia pulang dengan perasaan campur aduk, mencoba mencari cara untuk bertahan hingga proses mutasi selesai.

Hari-hari berikutnya terasa berat bagi Bu Ningsih. Ia tetap menjalankan tugasnya sebagai guru, meski rasa sakit di punggung sering kali membuatnya hampir menyerah. Setiap pagi, ia berusaha menguatkan diri untuk menempuh perjalanan yang melelahkan. Di sekolah, ia tetap memberikan yang terbaik untuk murid-muridnya, meski tubuhnya menjerit kesakitan.

Di sela-sela waktu luangnya, Bu Ningsih terus memantau perkembangan proses mutasi. Ia sesekali menghubungi petugas dinas untuk menanyakan kabar. Jawaban yang ia terima selalu sama. Sabar adalah satu-satunya pilihan yang ia miliki. Dalam kesunyian malam, ia sering merenung dan berdoa, berharap Allah Subhanahu Wata’alla memberikan kekuatan dan kemudahan baginya.

Cepu, 29 November 2024

Tidak ada komentar:

Posting Komentar